Chereads / The Gladiol / Chapter 33 - Petinggi Bangsa

Chapter 33 - Petinggi Bangsa

"Kau gila? Tentu saja aku ada di sini!" Rataka menyeruput kuah mi terakhir di mangkuknya. "Aku ada di sini untuk membantumu menghabiskan mi instan milikmu, ha ha ha."

"Apa kau kesini hanya minta makan? Dasar rakus!" Direktur sebal melihat Rataka yang datang dengan tangan kosong, malah minta dibuatkan mi instan di kantornya. "Kau kira kontorku ini restoran apa? Bocah tidak tahu malu!"

"Kau kan juga tahu bagaimana rasanya mi instan yang enak ini, kan? Andai saja sudah ada yang menciptakan mi sejak zaman perang, aku pasti akan baik-baik saja meski kena luka tusuk di jantung 10 kali per hari."

"Itu karena kau bodoh. Kau kelewat percaya diri karena amerta."

"Kita harus berterima kasih kepada orang-orang cerdas revolusioner," kata Rataka sembari sibuk makan telur yang tenggelam di kuah mi-nya. "Berkat mereka zaman jadi lebih baik. Bukankah hal-hal itu hanya kita yang bisa merasakannya? Orang-orang yang terlahir pasca perang tidak akan mengerti."

"Astaga. Sepertinya kau sebentar lagi mati," tawa direktur renyah terdengar.

"Apa?!"

"Kau berbicara seolah-olah sudah merasakan seluruh kenikmatan duniawi dan bersiap meninggalkan dunia ini."

"Kau ini tahu apa? Lagipula kau tidak sepertiku. Lihat wajahku yang tampan ini. Aku selamanya di usia dua puluhan. Kulitku halus dan tentu saja aku punya sponsorship yang membuatku kaya raya" Rataka melirik direktur. "Aku bisa meniduri wanita mana saja dengan ini, artis sekalipun."

"Dasar murahan. Kau sangat menjijikkan ketika berbicara dengan mulutmu itu." Direktur tak bisa berkata apa-apa lagi. "Siapa yang akan bertanggung jawab jika kau menghamili seluruh wanita di bumi ini? Aku tidak sudi jadi sponsorshipmu."

"Dasar katrok. Kau tidak tahu 'itu'?"

"Ha?"

"'Itu' yang membuat wanita tidak akan hamil saat bermain se…"

"Aishhh sudah-sudah. Sialan kau membahas beginian dengan kakek tua. Kau pikir aku ini apa?"

Rataka tertawa puas menggodanya.

"Aku sudah cukup bahagia dan hidup lama di dunia. Holan berada di kepolisian, Ardana mengurus perusahaan, dan tanpa kuminta, Dio berada di rumah sakit. Mereka semua melakukan pekerjaan dengan baik, mereka juga hidup dengan baik. Aku ingin semua anggota keluargaku bahagia, tidak peduli mereka darah dagingku atau bukan." Direktur mengatakannya dengan wajah yang turun. "Meski begitu, tidak semua penurut. Arvy keluar dari studinya, membuka bar walau ayahnya melarang keras. Amy menolak kuliah, memilih tinggal terpisah dari ayahnya dan sekarang ini entah apa yang dikerjakannya di luar sana. Bukankah mereka adalah anak nakal yang memang dibutuhkan dalam keluargaku yang kaku seperti ini? Ha ha."

Rataka mendengarkannya dengan seksama. Ia menghargai perasaan direktur dengan serius kali ini. Ia adalah orang yang paling mengutamakan kasih sayang dari apapun.

"Syukurlah kau sudah mendapatkan semuanya. Kau juga berubah, dulu kau orang yang keras, berhati baja dan benci perubahan. Saat kau melihat cucu-cucumu tumbuh dewasa, sepertinya kau bukan lagi orang yang kaku."

Direktur tersenyum. "Tahun kemarin saat Dio mulai magang di rumah sakit, semua anggota keluarga datang untuk makan malam keluarga, termasuk Arvy yang setengah hati menaggapinya. Nadia dan Raviza (istri Ardana) belum sadar dari koma. Ah aku harap cucuku yang satu itu (Arvy) membawa gadis yang disukainya dan menunjukkannya pada ibunya (Raziva)."

Rataka terkejut direktur menyebut nama putri dan menantunya. Sudah lama mereka tak membincangkan ini.

"Anu Direktur, aku belum menemukan keberadaan Ramon maupun markas sekte itu."

"Sejak Amy masuk ke keluarga ini usia 9 tahun, dan kini ia berusia 20 tahun. Selama itu Nadia terbujur di ranjang dingin. Begitu juga Raviza, menantuku yang cantik dan lemah lembut, satu-satunya wanita yang paling disayangi putraku Ardana, bahkan terbaring lebih lama dari Nadia." Direktur berkaca-kaca.

Rataka menundukkan kepala. "Maafkan aku, Direktur."

"Kau tidak perlu meminta maaf, Taka. Ramon pasti bersembunyi di suatu tempat yang sangat dekat dengan kita hingga tak terdeteksi dimanapun. Tugasmu adalah tetap melindungi orang-orangku sampai Ramon muncul di hadapan kita. Jangan gegabah dan membahayakan dirimu sendiri. Aku tahu kau amerta, tapi cuma kau yang kumiliki sekarang. Tetaplah seperti ini seterusnya."

Rataka mengangguk hormat. Ia sendiri tidak tega melihat Direktur Satria mengatakan hal tersebut. Meski Rataka sudah memahami tugasnya, Direktur tetap mengatakannya tanpa basa-basi. Ia sadar Direktur semakin melemah. Dahulu sebelum Nadia terjangkit kutukan itu, perintah direktur adalah mengincar Ramon, mengetahui bahwa isteri Ardana lebih dulu terjangkit. Namun semua itu sia-sia. Sekte Segitiga Merah itu benar-benar cerdik. Mereka bukan lawan biasa, mereka tidak menyerang dengan tangan kosong apalagi tanpa rencana. Karena itu direktur mengubah perintahnya dari menyerang menjadi bertahan. Rataka adalah tangan kanannya untuk melindungi keluarganya. Secara direktur adalah salah satu petinggi kaum penyegel mantra terdahulu, karena itu Rataka melayaninya. Hanya mereka berdua yang tersisa dari perang mematikan malam itu.

***

Setelah dari ruang operasi, Dr. Yohan mencuci tangannya. Ia kembali ke ruangannya dan membuka laptop. Mendadak ia teringat pertanyaan ragu-ragu dari Dio sebelumnya.

"Orang ber-sel unik yang pernah Dokter temui itu…bolehkah aku tahu?"

Ingatannya melayang di hari itu.

Yohan yang masih menjadi mahasiswa, berjalan santai melewati jalan agak lebar menuju kampusnya. Dulunya ia adalah mahasiswa yang biasa saja, mengenakan kacamata, bercelana denim, berjaket cokelat dan tidak lupa ransel hitamnya. Seperti penampilan anak cerdas kuru buku pada umunya.

Hingga suatu pagi saat berangkat, ia memegang sebuah buku catatan kecil. Ia tengah menghafal istilah-istilah medis untuk ujian semester. Hingga sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan darinya. Awalnya dia berjalan agak menepi karena mobil ugal-ugalan itu, lalu terdengar suara tabrakan yang sangat keras. Yohan menoleh ke belakang, betapa terkejutnya dirinya melihat darah mengailir dari balik ban depan mobil. Benturannya sangat keras seolah meremukkan tulang manusia.

Sayangnya tidak banyak orang di sana. Hanya ada tiga empat orang, Yohan berlari dan menghampiri korban. Ia seorang pria yang berusia dua puluhan, namun sepertinya beberapa tahun lebih tua darinya. Yohan berjongkok dan memeriksa denyut nadinya. Sebagai mahasiswa kedokteran ia memiliki insting yang cepat menolong seseorang.

"Tuan! Tuan!" teriaknya. "Tolong siapapun hubungi ambulans, cepat!"

Yohan melihat pria itu terlentang dengan kepala bersimbah darah dan beberapa luka gores di tangan dan lehernya. Ia hendak memberikan CPR namun betapa terkejutnya tiba-tiba pria itu terbangun. Kedua matanya melebar dan ia hendak bangkit.

"Jangan bergerak dulu, Tuan!"

Namun pria itu tak mendengarkan Yohan. Ia bangun dan berdiri hingga membuat terkejut orang-orang yang mengerumuninya. Mereka berbisik bahwa pria itu akan mati jika memaksa pergi. Saat hendak meninggalkan tempat kejadian, Yohan menghentikannya dengan menarik tangannya agar tetap di sana untuk menunggu ambulans, namun betapa terkejutnya ia, luka-luka goresan yang berada di tangan dan leher pria itu menutup dengan sendirinya tanpa meninggalkan bekas seolah tak pernah ada.

"Tuan, lu…luka anda…"

Pria itu melempar tangan Yohan ke udara. Tatapannya tajam dan datar.

"Ah mahasiswa kedokteran, ya."

"B…bagaimana anda..."

Pria itu tersenyum satire. "Sepertinya kita akan bertemu lagi suatu hari nanti."

"A..apa?"

Pria itu melenggang pergi.

Yohan yang melihat kejadian diluar nalar itu pun terhenyak. Padahal darah mengalir di pelipis hingga pipi, bahkan bercecer tertinggal di aspal. Namun pria sakti itu tak memikirkannya sebagai hal yang krusial, seolah-olah sudah biasa terjadi. Saat ambulans datang orang-orang yang berada di sana menjelaskan pada petugas medis bagaimana korban pergi dan menolak dirawat. Orang-orang di tempat kejadian ricuh. Sedang Yohan masih terdiam mematung. Pikriannya kacau dan kemana-mana.

"Apakah benar-benar ada manusia seperti itu di dunia ini?" pikirnya saat itu.

Tanpa dirinya sadari, dari jauh pria itu menatap Yohan yang masih mematung di tempat sembari memandangi genangan darah di aspal.

Pria itu adalah Rataka.