Chereads / The Gladiol / Chapter 38 - Shoot

Chapter 38 - Shoot

"Aku akan di sini sampai kau pulang sekolah. Setelah itu kita bergantian, aku juga akan ke kampus. Kita haru berpikir rasional saat ini. Kita sudah besar, tidak boleh membebani ayah. Kakek dan Dr. Yohan juga pasti akan sering berkunjung ke sini. Pulanglah, sarapan dan tidur sebentar. Aku sudah menghebungi Kak Arvy untuk menjemputmu. Sekarang, cuci mukalah dulu."

Dio memegang kedua bahu kecil Amy, adiknya itu lebih tenang dan menunduk, mendengarkan setiap nasihat kakaknya yang memang ada benarnya. Semuanya tidak akan terselesaikan dengan emosi sesaat.

Amy mendekat ke samping ayah, menggenggam tangannya yang dingin. Dio menghela napas berat.

"Ayah…aku janji akan jadi anak yang baik dan rajin belajar. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh sampai mengalahkan Dio. Aku pergi dulu, Yah. Aku akan kembali nanti."

Dio tersenyum tipis melihatnya. Amy mendekati kakaknya yang tersenyum lembut padanya. Ia memeluknya dan menangis lagi.

"Menangislah. Kau jadi terlihat seperti remaja pada umunya sekarang." Dio menepuk-nepuk punggungnya.

Amy keluar ruangan dan berjalan gontai menuju pintu keluar utama rumah sakit. Sebuah mobil putih terparkir di sana. Seseorang keluar, itu adalah Arvy.

"Kita pulang dulu, nanti aku akan mengantarkanmu sekolah."

Amy mengangguk lama dan masuk ke mobil. Ia duduk di samping kursi kemudi. Di sepanjang jalan keduanya terdiam. Pikiran Amy melayang entah kemana, dirinya melamun. Sedang Arvy berusaha mencari topik.

"Kau kelas 10 ya, hemmmm berarti usiamu kira-kira 15? 16?" terka Arvy tiba-tiba.

Amy menoleh sinis "Apa kita harus membicarakan usia sekarang?"

"Usiaku 21 tahun."

"Siapa juga yang peduli. Dasar orang dewasa yang payah." Amy menyandarkan kepalanya ke jendela.

"Kau suka pizza?"

"Aku tidak selera makan."

"Bagaimana kalau nasi goreng?"

Amy sengaja diam tak menanggapinya.

Arvy tiba-tiba menepikan mobilnya dan berhenti di kafe fast food. Ia keluar dari mobil dan membeli makanan di sana.

"Sudah kubilang aku tidak lapar kan," gerurtunya ketika melihat Arvy keluar dan masuk ke kafe.

Setelah melihatnya keluar dari cafe, Amy menyandarakan kepalanya dan pura-pura tidak peduli. Arvy masuk ke mobil dan memberikan burger king padanya.

"Makanlah. Kau belum makan dari kemarin, kan?"

"Memangnya siapa yang lapar!" sentaknya. Namun perutnya berkata sebaliknya.

Kruuuuukk

"Sepertinya perutmu tidak baik-baik saja." Arvy tertawa kecil.

"Apa yang kau tertawakan?! jangan sok akrab denganku! Mentang-mentang kau dekat dengan Dio, cih!"

Arvy seolah sudah biasa dengan sifat keras kepalanya adik Dio. Amy akhirnya menerimanya dan memakannya sampai tak tersisa. Arvy tersenyum melihatnya karena keponakannya itu makan dengan lahap. Ia tak percaya melakukan ini, padahal dia bukan tipe yang handal menghibur orang lain.

"Kau makan dengan lahap. Kukira kau cacingan." candanya, Arvy tertawa.

"Ha?!"

"Tidak tidak. Aku cuma bercanda. Jangan marah." Arvy makin menahan tawanya.

"Ada apa sih dengan orang ini? Bukankah dia tipe orang yang dingin dan datar? Kenapa karakternya tiba-tiba berubah?" batin Amy. "Tapi dia…auranya…"

Amy merasakan dan melihat aura Arvy yang berwarna indah dan langka. Ungu tipis yang sangat muda, hampir membaur dengan putih.

"Aura ini… mungkinkah dia…." terka Amy dalam hati. "Indigo?"

"Apa Dio sialan itu yang menyuruhmu?" tanya Amy sarkas.

"Arvy sembari memakan burgernya menjawab jujur. "Iya."

"Kenapa kau jujur sih?" sebalnya.

Beberapa jam sebelumnya Dio memang mengubungi Arvy untuk meminta tolong menjemput Amy sekaligus menghiburnya. Tentu saja ia tidak paham, mereka berdua sendiri tidak pernah mengobrol sebagai keluarga apalagi mengobrol santai.

***

Pria yang menusuk Holan ditahan di kantor polisi selama 48 jam untuk mendapatkan bukti konkrit sebelum benar-benar dibawa ke penjara. Ia berada di ruangan kedap suara dan isolasi.

Seorang pria yang menggunakan topi, masker dan berbaju polisi mendekat ke ruangan isolasi tersebut. Ia mengintipnya dari kaca kecil berbentuk persegi panjang veritkal di pintu. Ia masuk lalu mengunci pintunya dari dalam. Penjahat itu terkejut karena dia tidak nampak seperti polisi sungguhan. Penjahat itu khawatir. Ia melirik cctv dan rupanya cctv itu tidak mengeluarkan titik merah, tanda cctv tersebut tak menyala. Dirinya yang awalnya duduk, berdiri dengan waspada. Pikiran seorang kriminal sejalan dengan kriminal lainnya.

"Siapa kau?" tanya penjahat itu.

"Sepertinya kau sadar lebih cepat dari dugaanku," pria asing itu memicing lalu membuka maskernya.

"Kali ini tuanmu memilih bidak yang lebih cerdas dari sebelumnya."

"Apa? Jangan-jangan kau…"

"Aku datang untuk melenyapkanmu," ia tersenyum memicing.

"Rupanya benar. Tugasku tidak hanya sampai di sini, kau adalah musuh sesunguhnya yang ingin petinggi lenyapkan."

"Ah si Salmon sialan itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku benar-benar merindukannya. Apa dia tidak merindukanku?" pria itu tertawa remeh.

"Dasar Psikopat!"

"Bukan aku! Tapi kau, Br*ngsek!" dalam sekejap matanya menajam, memicing dan ada kilatan biru di sana. Pria itu mendekat, tangannya perlahan naik ke leher pria itu. Ia mencekiknya.

Dia adalah Rataka.

***

Dio keluar sejenak dari ruangan ayahnya untuk menyegarkan pikirannya. Dirinya maupun Amy tidak ada yang tidur semalaman. Amy menangis di sisi ayah, sedang Dio terus menenangkannya sembari memeluk bahunya. Ia sedikit lega Amy berada di sekolah sekarang.

"Hoaaaaam." Dio menguap lebar sembari menutup mulutnya. Ia melangkah ke toilet pria.

Rataka datang dengan tangan berlumuran darah. Ia mengelapnya dengan tisu di sepanjang koridor rumah sakit yang sepi, kemudian masuk ke ruangan Holan dan berdiri di sampingnya sembari menatap serius wajah sahabatnya yang tertidur pulas di sana. Masih ada sisa darah di punggung tangannya.

"Aku tidak akan membiarkanmu mati."

Rataka memandangi wajahnya dengan serius. Wajahnya tertekuk seolah mau perang.

Tiba-tiba jari-jari tangan Holan bergerak. Perlahan matanya terbuka. Ia melihat Rataka berdiri di sana.

"Rataka…Ada apa dengan wajahmu?" candanya pelan. "Tidak biasanya kau terlihat tegang begitu." Holan mengengeh.

Rataka menatapnya nanar meski melihatnya telah siuman. Wajahnya semakin datar.

"Kau tersenyum? Dasar gila."

Rataka membuang muka. Holan melirik tangan kirinya yang berdarah.

"Kau tahu, katanya orang kidal hidupya singkat."

Rataka memasukkan tangannya ke saku celana, menyembunyikan tangannya. Ia hanya diam menanggapi Holan.

"Setiap aku mengalami hal diluar kendaliku di kepolisian, bahwa aku bisa saja mati karena ditusuk atau ditembak, yang kupikirkan hanyalah, Amy, Dio dan Nadia. Ternyata aku hanyalah manusia biasa yang terikat pada kehidupan dan kenangan. Sakti apanya bull*hit. Orang lain terlalu berekspektasi lebih padaku sejak dulu. Tubuhku sudah semakin rentan. Aku cuma ingin menemukan orang sialan yang memantrai isteriku agar aku bisa melepaskan segelnya. Aku tidak yakin akan mampu bertahan hingga saat itu. Aku hanya ingin membebaskan isteriku dari kutukan, aku ingin membebaskan anak-anakku dari penderitaan, aku juga ingin membebaskanmu…Rataka."

Degh