Buagh buagh buagh…
Nico meninju wajah dan perut Jeffry beruntun hingga ia ambruk. Jeffry sendiri baru keluar dari kelas, ia tak sempat membela diri dan terjatuh dengan sekali pukul. Nico tidak berhenti hinga puas melihatnya babak belur.
Tian melihat keributan di koridor dekat tangga. Ia mendekatinya dan bertanya dengan mahasiswa yang berbisik-bisik. Katanya ada yang berkelahi dan salah satunya adalah anak dekan. Tian menerobos kerumunan dan melihat Nico memukuli Jeffry. Nico duduk di atas perut Jeffry yang terlentang dan menujunya brutal. Wajah Nico babak belur hampir tak sadarkan diri.
"Br*ngsek kau!" Nico dengan emosi yang membuncah tak dapat dihentikan, seolah amarah menyelimuti seluruh perasaannya. Ia mengangkat kepalan tangannya dan bersiap meninju lagi.
Hap!
Seseorang mencegah lengannya dari atas. Nico tertegun, ia menoleh.
"Si sialan yang satunya lagi rupanya, cih ."
"Kau pikir Maya akan senang melihatmu seperti ini?"
Nico melempar tangan Tian. Ia bangkit dan ganti mencengkeram kerah Tian, namun pria itu tetap menunjukkan wajah datar, tanpa ekspresi.
"Kau yakin tangan kotormu ini tidak mengotori kerah bajuku?"
"Kebetulan sekali, mood ku sedang buruk hari ini. Kau mau coba tinjuku?"
"Aku sudah mengira kau orang yang temperamental tapi aku tidak mengira kau separah ini."
"Apa?"
Tian melempar tangannya hingga Nico melepaskan cengkeraman tangan dari kerahnya.
"Jangan sok dekat denganku, Sialan." Tian melenggang pergi dari kerumunan. "Kau lanjutkan saja aktivitasmu."
Tangan Nico lemas. Ia baru sadar bahwa orang-orang mengerumuninya dan menggunjingnya. Dilihatnya Jeffry yang sudah teler tak sadarkan diri. Satpam penjaga datang dan memapah Jeffry untuk dibawa ke unit kesehatan.
"Bukankah dia anak dekan?"
"Pantesan berani mengacau."
"Ia tidak punya malu apa? Bisa-bisanya bertengkar di kampus."
"Cowo kok banyak drama queen."
"Dia kira sinetron apa. Memalukan sekali."
Nico terdiam di tengah-tengah. Orang-orang berbisik keras seolah menggunakan mikrofon. Ia hanya bisa diam dan menerobos keluar dari mereka yang tidak tahu apapun tentang hidupnya itu. Ia berlari menaiki tangga hingga tidak sadar sampai di lantai berapa ia. Nico duduk di kursi panjang dekat pagar kaca, biasanya di sebut ruang baca. Dimana ada sebuah ruangan terbuka di tengah-tengah namun dibatasi kaca. Tak sengaja Maya melihatnya duduk merenung di sana.
"Woy Nico!" Maya menepuk pundaknya dari belakang, berniat mengejutkannya. Namun malah ia yang terkejut karena melihat punggung tangan Nico lecet. Maya duduk di sampingnya dan khawatir.
Tidak sengaja, Tian menyaksikan keduanya dari luar ruang baca. Ia behenti sejenak, lalu berbalik arah dan menuruni tangga. Ia melangkah menuju klub olahraga di lantai bawah.
Tak! Tak! Tak!
Terdengar suara shuttlekook menatap raket dengan keras.
"Ada apa denganmu? Kenapa bermain kasar sekali? Kau punya masalah?" Rimba berhenti main dan maju sampai ke net. Dia menunjuk-nunjuk Tian yang dari tadi men-smash shuttlekok-nya dengan keras.
"Aku sudahan, lah. Capek."
Rimba melihat Tian yang berjalan ke tempat duduk penonton, ia menyadari anak itu tengah dalam mood yang menyebalkan untuk diajak bicara. Dilihtanya Ella yang berlari mendekati Tian sembari membawa minuman untuknya.
"Mari kita lihat. Mungkin ada drama yang patut ditonton, hehe." Rimba tersenyum lebar mirip seperti joker sembari melihat Tian dan Ella dari jauh.
"Ini untukmu, Kak," kata Ella sembari menyodorkan sebotol air mineral.
"Kau tidak lihat aku bawa minuman sendiri?" Tian menunjukkan botol yang ia bawa.
Ella mengangguk pelan, kecewa.
"Pergilah. Aku sedang kesal hari ini. Aku tidak mau melampiaskannya pada junior."
"Baiklah"
"Oh ya. Kau sudah bicara dengan benar pada Maya?"
Ella menggeleng pelan. Ia melipat bibirnya ke dalam.
Tian menghela napas. "Pergilah. Mood ku sedang buruk sekarang."
Ella menunduk merasa bersalah. Ia pergi dari sana dan melanjutkan lagi permainannya. Rimba yang tadinya melihatnya dari jauh mendekati Tian.
"Kau ada masalah?"
"Main sana. Jangan ganggu aku."
"Pasti ada yang tidak aku ketahui nih. Kau bertengkar dengan Ella? Coba lihat sana, dia main sangat keras. Dia banyak berkeringat hari ini."
Tian menoleh sembari menjauhkan sedikit badannya dari Rimba. Matanya menyipit, sedikit sarkas.
"Rimba, jujur saja. Kenapa kau selalu membahas Ella padaku? Kau benar-benar berpikir aku menyukainya? Atau kau sendiri yang menyukainya?"
"Ah itu…" Rimba mengalihkan tatapannya.
"Kalau kau menyukainya ajak saja dia pacaran. Kau bilang dia tipemu kan? Tidak usah pedulikan aku, tenang saja, dia bukan tipeku sama sekali!" Tian mengambil botol minuman dan ponselnya kemudian keluar dari lapangan.
"Tian! Bukan begitu! Tian!" Rimba menghela napas, ia merasa bersalah. tidak seharusnya ia mengganggu singa yang marah.
***
Di lobi perpustakaan Maya tengah duduk dengan membawa beberapa buku di tangannya. Ia menghubungi seseorang.
"Halo Kak Olla," sapanya.
"Iya, May. Kenapa?"
"Hari ini aku ijin tidak ikut latihan. Aku ke perpustakaan sore ini, setelah itu aku langsung bekerja. Aku minta maaf tidak datang hari ini."
"Iya, May. Tidak apa-apa. Suaramu terdengar sengau. Apa kau sakit?"
"Tidak kok. Aku baik-baik saja."
Maya sedikit down hari ini. Ia banyak menunduk dan diam. Di kelas dia juga tidak terlalu aktif. Ella bahkan menjauh darinya, mereka duduk berjauhan saat di kelas dan di kantin, entah apa alasannya. Seharian ini Maya mengerjakan tugas-tugas kuliah, menjaga jarak dari Nico dan juga klub. Ia berusaha untuk tetap biasa meskipun dirinya tidak bisa biasa saja.
Ia bangkit dari duduknya sembari memasukkan buku dalam tas. Ia berjalan keluar gedung perpustakaan. Namun sialnya ia tidak sengaja berpapasan dengan Jeffry. Maya memasang sikap acuh dan dingin seolah tidak mengenalnya. Ia melewatinya begitu saja.
"Ayo bicara," Jeffry tiba-tiba menghadangnya.
Maya melewatinya seolah tidak mendengar apapun. Namun Jeffry memegang lengannya, menghentikannya.
"Kubilang ayo bicara!"
Maya menghempaskan tangan Jeffry. Jeffry sendiri terkejut, Maya menjadi kasar padanya, berbeda dari sebelumnya.
"Darimana kau mengenalnya?" cecar Jeffry. "Kenapa kau jadi berani padaku? Kau merasa hebat, huh?"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Jangan pura-pura bodoh. Pria yang namanya Nico, yang memukulku kemarin. Aku dengar dia anak dekan. Sekarang kau memanfaatkan orang dalam untuk balas dendam denganku? Rendahan sekali, ck ck."
Maya tersenyum sarkas. Jeffry terkejut melihat reaksinya.
"Jeffry, kau tahu? Kau itu….benar-benar tidak tahu diri." Maya menunjuk dadanya sembari melototinya. Ia menekan seluruh kalimat yang ia lontarkan "Aku tahu kau bodoh, tapi coba pikirkan sekali lagi. Kita adalah mantan pacar di SMA, aku memutuskanmu karena selingkuh. Jadi apa yang membuatmu tidak terima? Kau tidak bisa menimbang bahwa sebelumnya itu kesalahanmu? Mungkinkah kau tidak terima hidupku terlihat baik-baik saja? Atau kau bosan dengan gadis-gadis bodoh yang kau kencani? Atau kau masih menyukaiku dan berusaha memikatku lagi dengan trik konyolmu itu? Sebenarnya apa motifmu? Aku benar-benar bodoh memahami orang bodoh sepertimu. Jadi kutegaskan sekali lagi, kita ini bukan teman, tapi itu hakmu jika kau menganggapku musuh. Kukatakan sekali lagi, enyahlah dari hadapanku, br*ngsek!"
Maya menahan amarahnya yang meluap-luap. Dirinya berusaha berkepala dingin meskipun tangannya mengepal memanas. Jeffry menggertakkan giginya.
"Jadi kau senang sekarang?"
Maya memilih diam, tak berniat menjawab pertanyaannya.
"Jadi kau senang dan merasa hebat sekarang? Karena kau kencan dengan anak dekan? Kau memanfaatkannya?"
"Kenapa kau sensitif dengan itu? Kenapa kau mengurusi hidupku? Kau cuma penasaran atau iri karena hidupku lebih baik? Apa kau sudah mengkonfirmasi bahwa itu informasi fakta? Kau bahkan termakan hoax yang lalu lalang. Menyedihkan."
"Ha? Apa kau marah karena aku mengataimu pendek? Ini zaman milenial, sadarlah, May! Sangat memalukan kalau kau marah gara-gara hal sepele?"
"Sepele?" Maya geram."Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Melihat perempuan hanya dari fisik mereka? Tapi syukurlah, sekarang pacarmu kan Ella, setidaknya dia tidak memalukan untuk diajak kencan,kan? Jadi kenapa kau masih menggerutu? Kau mau membuatku cemburu atau bagaimana?"
"May kau benar-benar…."
Maya mengangkat tangannya memberi tanda agar Jeffry diam.
"Sudahlah, Jeff. Seperti yang kubilang tadi. Hentikan ini semua. Menjauhlah dari hidupku dan aku akan menjauh darimu. Kau bahagia dengan pacarmu dan aku bahagia dengan keadaanku. Dan untuk sikap kekanak-kanakkanmu di kafe, akan kumaafkan. Kuharap kita tidak bertemu lagi setelah ini, pura-puralah tidak mengenalku di kampus atau di luar kampus. Oh ya satu lagi, aku bukanlah Maya yang dulu, ingat itu baik-baik. Selamat tinggal."
Setelah berbicara panjang lebar dengan tenang, Maya meninggalkan Jeffry dengan elegan. Ia tebak pria bodoh itu tidak menyangka Maya akan mengatakan semua itu dengan lantang, tanpa basa-basi. Dia sudah banyak berubah.
Jeffry termangu di tempatnya sembari tersenyum miris, merasa kalah dari Maya. Ia berbalik dan mengejarnya, dilihatnya Maya yang terpaku melihat seorang pria yang berjalan agak jauh darinya. Ia menarik lengan Maya.
"Aku tidak menyukai temanmu! Aku mengajaknya pacaran baru kemarin saat kejadian di kantin. Tapi dia langsung mau kuajak kencan saat itu juga, padahal aku hanya ingin memanas-manasimu. Aku cuma pura-pura! Aku memanfaatkan temanmu yang j*lang itu! Kau puas!"