"Siapa yang victim, siapa yang playing victim," gumam Maya.
Tiba-tiba entah dari sudut mana, Jeffry datang dan mendekat melewati orang-orang yang berkerumun di sana melihat Ella menangis dan Maya yang disalahkan.
"Ayo pergi dari sini," Jeffry meraih tangan Ella dan membawanya pergi dari sana.
Orang-orang makin berprasangka pada Maya bahwa dia adalah biang keladi dan gadis sok polos yang merebut pacar orang lain. Maya menunduk lalu melangkah pergi dari sana meskipun beberapa orang meneriakinya.
"Pelakor!"
"Kecil-kecil pelakor ya."
"Harusnya bercermin dulu kalau mau merebut laki-laki temennya sendiri."
"Dia tidak ada apa-apanya dibanding Ella yang cantik dan baik."
"Ella seperti malaikat, sedangkan dia malaikat pencabut nyawa."
Maya menghela napas dan memasang muka datar, orang-orang makin memakinya yang wajahnya yang polos bisa melakukan hal yang seperti itu. Maya berlalu dari sana sembari pura-pura tak mendengar apapun.
Ia melangkah melewati koridor dan sampai di depan tangga lalu turun dari lantai itu. Ia memang bertujuan untuk keluar dari gedung fakultas dan ke perpustakaan. Tugas kuliah masih banyak, ia tidak ada waktu untuk memikirkan semua yang orang tuduhkan padanya, toh itu bukan urusannya.
Sesampainya di perpustakaan ia mengambil buku di rak dengan acak lalu duduk di area paling sudut, paling sepi. Ia membuka bukunya lalu fokus menatapnya, hanya menatapnya. Pikirannya kemana-mana, matanya melihat lembaran buku di sana namun perasaannya tidak ada di sana. Ia terus terngiang kejadian barusan.
"Malaikat pencabut nyawa? Bodoh sekali mereka. Disekolahkan tinggi-tinggi tapi hanya kepikiran nama jelek itu? Apa tidak ada julukan yang lain apa? Cih, norak sekali." gumam Maya, ia cemberut sembari membuat gerakan bibir 'nye nye nye'.
Tiba-tiba seseorang menyerobot bukunya dari atas. Maya terkejut dan mendongak. Harinya yang buruk kini tambah buruk setelah melihat senior paling menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan Nico.
"Kau waras hari ini?" Nico duduk di sampingnya sembari menaruh bukunya di atas meja. "Bukunya kebalik woi!" Nico puas menertawakannya, ia memegang perutnya dan tertawa tanpa membuat suara. Ia tidak mau dimarahi petugas karena membuat gaduh.
Maya tertangkap melamun, ia menutupi wajahnya yang memerah malu. Ia benar-benar bad mood hari ini, ditambah lagi bad day yang sangat membuat jengkel.
"Kau kenapa hari ini?" tanya Nico.
"Tidak apa-apa."
"Oke. Ceritakan."
"Aku kan bilang tidak apa-apa."
"Justru itu, berarti ada apa-apa."
"Ha? Ada teori yang seperti itu?"
"Ada. Teori perempuan." Nico menahan tawanya. "Eh tidak deh. Kau kan bukan perempuan. Tapi anak kecil yang imuuuuut."
Nico mengelus puncak kepalanya sembari mengacaknya pelan. Maya marah-marah.
"Aishh kau ini!"
Petugas mendengar suara Maya dan mendekat ke arah merekas sembari meletakkan jari telunjuk di bibir, mengisyaratkan untuk tidak membuat gaduh. Maya mengengeh dan minta maaf.
"Daripada kau menyia-nyiakan buku suci ini dengan membacanya terbalik di sini, lebih baik kita makan sesuatu. Kau sudah makan siang?"
"Belum. Aku belum sarapan."
"Apa?! Kau kan kecil! Harusnya makan yang makan banyak, Nak!"
"Sialan kau!"
Petugas kembali dan memelototi mereka. Nico meminta maaf dan menarik lengan Maya untuk berdiri dan pindah dari sana. Setelah keluar mereka berjalan santai entah mau kemana.
"Apa adikku yang manis ini benar-benar belum makan dari pagi?" Nico merangkul bahunya, Maya hanya diam, malas meladeninya.
"Belum ya belum. Traktir aku, kau kan kaya."
"O baiklah, Nona. Jangan lupa masuk tagihan hutang ya. Terima kasih telah berlangganan pada dompet tebal saya." Nico berbicara dengan gaya bak panggilan otomatis di jaringan seluler.
Maya makin tak tahan, ia melepaskan diri dari tangan berat Nico dan mendorongnya.
"Dasar senior tidak berguna. Apa kau benar-benar orang kaya, dasar pelit!" umpatnya. Maya cemberut.
Namun bukannya prihatin, Nico makin semangat menggodanya.
"Kalau begitu ayo makan di luar. Di kafe Nando saja, kalau disitu kita pasti dapat gratis. Ha ha."
"Dasar licik. Kau mau membuat temanmu sendiri bangkrut?"
"Tenang. Kalau bangkrut aku akan membelikan toko baru untuknya."
"Apa? Dasar!" Maya tertawa mendengar guyonannya. "Tidak masuk akal. Ha ha."
"Bukankah itu lucu. Ha ha."
Keduanya tertawa terbahak.
Dari jauh, Jeffry tidak sengaja melihat mereka berdua. Ia melihat Maya tertawa lebar. Entah mengapa ia tidak nyaman.
"Apa dia tertawa seperti itu pada semua pria?" kesalnya. Jeffry lalu menghampiri mereka.
Dari jauh Nico menyadari seseorang berjalan mendekat ke arah mereka. Ia menggertakkan gigi begitu mengetahui itu Jeffry. Sebelum Maya melihatnya, ia harus membawanya pergi dari sana.
"May, ayo lewat arah sana saja." Nico menggandengnya dan berbalik arah.
Maya yang tidak terlalu peduli lewat arah mana, hanya manggut-manggut. Namun terlambat, Jeffry mengejarnya dan meneriakkan namanya. Mereka berdua terpaksa berhenti dan menoleh, terutama Maya yang mendengar seseorang memanggil dia.
"Kau marah karena kejadian tadi, May?" tanya Jeffry.
"Apa? Kejadian apa maksudnya?" suara Nico meninggi. Ia melotot ke arah Jeffry.
"Oh kau tidak tahu, ya? Ejek Jeffry.
"Bukan apa-apa, kok. Ayo pergi saja," ajak Maya.
"Tunggu, May." Nico mendekat ke arah Jeffry. "Apa yang kau lakukan pada Maya, huh?"
"Apa? Mau memukulku lagi?" tantang Jeffry. "Kau hampir membuatku pingsan sekarang mau membuatku mati, huh?"
Maya terkejut mendengarnya. Ternyata bukan Tian, Nico-lah yang lebih dulu memukul Jeffry. Namun, Maya pura-pura tak menghiraukannya.
"May, sebenarnya dia ini siapamu, sih? Pacar? Terus yang kemarin (Tian)? Dan yang di kafe (Oska)? Apa kau digilir oleh mereka, ha ha?"
"Apa?!" Nico sudah tidak tahan lagi. Ia mencengkeram kerah Jeffry, kali ini lebih kuat. "Coba katakan lagi baj*ngan! Katakan lagi br*ngsek sialan!!" teriaknya.
Beberapa orang yang lewat menatap mereka dan menjauh, khawatir jika terjadi perkelahian.
"Beraninya mulut najismu itu berbicara begitu pada perempuan? Apa ibumu tahu kau seperti ini pada perempuan? Apa mulutmu tak pernah sekolah? Harusnya kau malu, bisa-bisanya mahasiswa mengatakan itu pada perempuan!!" emosi Nico membuncah. Ia mengangkat kepalan tangan dan bersiap memukul wajah Jeffry yang bonyok itu lagi.
"Kenapa kau bawa-bawa ibuku, sialan?! Apa kau benar-benar pacarnya?!"
"Pacar atau tidak, bukan urusanmu! Aku kasihan padamu karena tidak bisa move on dari mantan, menyedihkan sekali."
"Apa?!" kini Jeffry juga meraih kerah Nico, keduanya bertatapan sengit seolah akan adu banteng.
"Berhenti!" teriak Maya. Ia menarik Nico mundur agar keduanya berdiri berjauhan.
Maya maju ke depan dan berdiri tepat di depan Jeffry. Matanya menajam, ekspresinya dingin dan datar. Jeffry sadar, Maya kini benar-benar marah.
"Bisa kau ulang lagi?"
"Apanya? Bagian yang kau digilir tadi? Kenapa? Tidak terima? Bukankah itu kenyataan huh?"
Nico hendak maju lagi, namun Maya menahannya dengan merentangkan tangan kirinya. Seolah memberi perintah bahwa ia yang akan menyelesaikannya sendiri.
"Marah? Apa aku terlihat marah?" Maya menyilangkan kedua tangannya depan dada. Lalu tertawa pelan.
"Apa yang kau tertawakan?" Jeffry bingung melihat reaksinya.
"Kau tahu, Jeff? Kata-kata 'digilir' mu itu…bukan aku. Tapi kau!"
Jeffry tersentak, begitu juga Nico yang mendengarnya.
"Apa katamu?" Jeffry membuncah.
"Kau sepertinya amnesia, biar kuingatkan. Di kelas sebelas dulu, kau pernah berduaan dengan kakak kelas kita bernama Wita, di kamar mandi perempuan. Apa yang kalian lakukan di sana? Kau pasti sangat handal sampai bisa menyelinap ke sana. Lalu, beberapa bulan setelahnya kau juga mendekati siswi kelas sebelah bernama Anita, kalian berciuman di gedung olahraga indoor saat semuanya sedang sibuk bersih-bersih di lapangan outdoor, kan? Dan satu lagi. Itu loh yang paling populer, setelah kau pacaran denganku, kau berselingkuh dengan sahabatku, dan hampir tidur dengannya di uks sebelum akhirnya kau ketahuan olehku, kan?"
Jeffry terdiam.
"Bagaimana? Sudah ingat?" Amy menyunggingkan senyum sinis. "Sudah ingat, Tuan yang Ahli Digilir?!" kata-katanya penuh penekanan.
"Sebelum kau memandang orang murahan, harusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa kau sendiri sudah bernilai mahal?"