"Bagaimana? Sudah ingat? Sudah ingat, Tuan yang Ahli Digilir?!" kata-katanya penuh penekanan. Amy menyunggingkan senyum sinis. "Sebelum kau memandang orang murahan, harusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa kau sendiri sudah bernilai mahal?"
Nico tercengang melihatnya. Ia hanya bisa mematung mendengarkan kata kata cerdas Maya yang mampu membuat mulut kotor nan najis si Jeffry diam seribu bahasa. Ia tahu kalau gadis itu memang tangguh. Bahkan dia yang mendengarnya pun sangat ingin menonjoknya. Ia tersenyum puas melihat Jeffry kalap menjawabnya.
"Nico," panggil Maya.
"Eh? Ada apa?" Nico mendekat.
"Kau bilang kau yang meninjunya?"
"I…itu?"
Maya melirik tajam ke arahnya.
"Kenapa kau membiarkannya hidup? Kau harusnya meninjunya sampai mati?!"
"Ha?!" Jeffry menelan ludah. "Apa yang kau katakan? Dasar cewek bang*at!"
Nico maju mendekat lalu meraih kerah Jeffry yang wajahnya masih agak bonyok. Kemudian tanpa aba-aba…
Buagh!
Jeffry terkapar di sana.
***
"Sejak kapan kau jadi sekeren ini?" Nico menyeruput minuman soda kalengnya.
"Aku kan memang keren," Maya percaya diri.
"Tipe seperti Jeffry kalau di film film pasti sudah kena karma. Sayangnya ini bukan ftv apalagi indosuar yang kena azab."
"Lebih bagus kalau tiba-tiba kena penyakit mematikan lalu di detik-detik terakhir dia menemuiku dan meminta pengampunan."
"Habis itu, jenazahnya terbang atau masuk selokan."
Keduanya tertawa terbahak membahas hal-hal konyol yang baru baru ini ramai di televisi dan sosial media. Mereka duduk di depan supermarket dan minum sekaleng soda untuk menghilangkan penat.
"Nico, kenapa kau memukul si ba*ingan itu kemarin?"
Nico tersedak.
"Aku tidak marah denganmu. Aku malah bersyukur. Tapi kau tahu kan harusnya kau tidak boleh memukulnya begitu saja. Aku tidak mengkhawatirkannya tapi bagaimana kalau kau kena masalah?"
Nico tertawa.
"Jangan khawatirkan itu. Tadi itu benar benar plotwist tau. Aku benar benar puas memukulnya." Nico tertawa.
Maya tersenyum. Ia mengingat lagi kata-kata Jeffry tadi.
"Apa kau digilir oleh mereka, ha ha?"
Ia juga mengingat bagaimana dulu Jeffry mengkhianatinya dan berhubungan diam diam dengan sahabatnya sendiri saat masih SMA. Saat itu ia hanya bisa menangis, marah, menjadi pendiam hingga kakak laki-lakinya mengkhawatirkannya setengah mati karena ia tidak mau keluar untuk aktivitas. Sampai akhirnya kakaknya menyerah dan membiarkannya merenung di kamar.
Maya menghela napas mengingatnya.
"Apa kau memikirkan kata-kata Jeffry yang tadi?"
"Tidak kok."
"Kata-kata yang buruk boleh di dengar tapi jangan dimasukkan ke otak, karena bisa membuat saraf-saraf tidak sehat."
"Apa?" Maya tersenyum, ia tahu Nico tengah menghiburnya. "Garing tau jokes mu."
"May, sebenarnya aku menemuimu tadi karena aku mau minta tolong?"
"Ha? Lagi?!"
Maya bisa menebaknya. Nico hanya bisa mengengeh, ia merasa bersalah tapi tidak ada jalan lain.
"Kenapa kau tidak cari pacar betulan saja sih?"
"Tidak seru."
"Dasar," Maya menyipitkan matanya lalu kembali meminum minumannya.
***
Maya berjalan pulang dari pekerjaannya bersama Nico. Malam itu area apartemen sangat sepi. Entah mengapa ia merasa merinding, bukan karena hantu tapi karena bajunya yang terlalu terbuka. Ia mengenakan gaun berwarna ungu muda cantik yang panjangnya setengah paha. Lengannya terbuka dan ia agak kedinginan.
Maya melangkah biasa, namun tiba-tiba ia merasa ada orang yang mengikutinya. Namun ia berusaha positive thinking. Namun ia tertegun setelah membalikkan badan. Dirinya mendapati tiga pria berjejer di hadapannya. Wajahnya memucat. Matanya melebar menatap dirinya tengah bertatap dengan pria-pria asing yang menakutkan.
Firasat buruknya menjadi kenyataan. Otaknya berkecamuk pikiran-pikiran aneh yang mulai menyebar kemana-kemana. Ia takut, resah, bingung. Berharap mempunyai kekuatan super untuk melarikan diri dari sana.
"Hey, manis. Apa kau sudah terbiasa pulang larut begini?" kata salah satu dari mereka sembari tertawa nakal, mirip seringaian serigala buas.
"Si..siapa mereka?" batin Maya bergidik ngeri.
"Siapa kalian? Mau apa kau dasar penjahat!"
"Kuharap kau memilih kata yang lebih pantas dari itu, Sayang."
Salah satu dari mereka memegang pergelangan Maya dengan kasar hingga tangannya memerah. Maya meronta. Namun pria-pria itu tetap memegangi kedua lengannya dan memaksanya untuk menurut. Maya yang kecil tak kuasa melawan mereka yang berotot besar. Tubuhnya terseret mengikuti langkah mereka meskipun dengan kaki terseok seok di tanah.
"Lepaskan aku!"
Maya berteriak dan berusaha melepaskan diri meski sia-sia. Ia ketakutan.
"Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya. Bagaimana ini? Apa yang akan terjadi padaku? Ayah ibu maafkan aku, aku belum membanggakan kalian. Tolong kirim malaikat untuk menolongku ya Tuhan." batinnya.
Matanya berkaca-kaca. Ia berteriak minta tolong, namun di sekitarnya sangat sepi seperti pemakaman. Apakah semua orang benar-benar sudah tidur? Atau teriakannya yang kurang keras? Maya pasrah.
Maya didorong masuk ke semak semak. Ia memejamkan mata. Peluh memenuhi tubuhnya yang gemetaran. Ia meringkuk di sudut.
Tempat ini adalah tempat ia menemukan seorang pria aneh yang babak belur kemarin. Ia berfikir, Mungkin di tempat ini memang banyak terjadi kekerasan. Dan sekarang ini Maya adalah salah satu korban. Ia menatap pria-pria beringas di depannya yang terus memandangi dengan penuh nafsu. Maya merangkak mundur sebisa mungkin. Kakinya tak kuasa berdiri walau hanya sekedar menopang tubuhnya. Mereka semakin mendekat.
Tiba-tiba, seorang pria berdiri menghalangi gangster itu dari Maya. Pria berkaus putih dengan jaket di tangannya. Dengan lantang pria itu mengajak mereka berkelahi. Maya terkejut dengan kemunculannya yang mendadak, sekaligus bersyukur.
"Lagi-lagi kau Oska Si Muka Es. Bernyali juga ya, Bocah," Kata gangster itu sembari meregangkan jari-jari tangannya bersiap meninju.
"Jangan berani kalian menyentuhnya."
"Haha coba lihat dia seperti pahlawan kesiangan saja!" mereka tertawa. "Apa kau tidak takut setelah yang terjadi kemarin?"
"Aku tidak takut dengan sampah sepertimu," ekspresi Oska datar tanpa emosi.
"Kau tidak diajari sopan santun oleh ibumu, Huh!"
"Sayang sekali. Karena...ibuku sudah lama mati."
Maya tercengang mendengar percakapan mereka. Namun yang bisa ia lakukan hanya diam dan meringkuk ketakutan di belakang pria itu.
"Sebaiknya kau siap-siap merengek di selokan, Bocah!"
"Aku..." Suara pria itu mendadak tertahan. Ia merasakan sakit di kepalanya. "Pukul saja. Aku tidak akan melawan."
Pria itu membalikkan badan dengan sempoyongan. Tanpa melihat ke arah Maya, ia meletakkan jaketnya di kaki Maya. Maya terdiam lemah sembari menatapnya.
Dia lagi? Ditempat yang sama? Apa dia akan mati karena di pukuli? Aku tidak tahu apa yang aku lakukan setelah ini. Bagaimana ini? Dia membantuku dan dipukuli? Maya panik di sela-sela perkelahian tiga lawan satu. Maya hampir menangis.
Beberapa saat kemudian. Pria-pria gangster itu pergi dan meninggalkan Oska yang sudah babak belur. Maya segera menghampirinya. Ia panik melihat keadaannya.
"Kau baik-baik saja?"
Ia mengguncang-guncang tubuh Oska yang terkulai lemah di tanah dengan wajah babak belur. Maya menyalahkan dirinya sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada rekan kerjanya itu. Benar benar payah, begitu pikirnya.
"Jawab aku! Kau baik-baik saja? Tolong bangunlah jangan mati. Kumohon jangan mati!" Maya menangis.
Oska membuka matanya perlahan. Matanya agak buram dan telinganya agak berdenging. Ia berusaha mendudukkan dirinya yang tak berdaya karena pukulan-pukulan brutal yang hampir menewaskannya tadi. Namun ia tidak mau terlihat lemah di depan gadis itu. Maya akan khawatir kalau dia tidak baik baik saja sekarang.
"Memang siapa yang akan mati?" Oska menyapu ujung bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Kau sudah sadar" Maya berhenti menangis. "Kenapa kau membiarkan dirimu dipukuli? Kenapa kau diam saja tadi? Kenapa kau tidak lari saja?"
"Berhenti bertanya. Kau membuat kepalaku tambah pusing."
Mereka terdiam membisu. Suasana membeku seolah keduanya enggan mengeluarkan kata lagi. Cahaya remang-remang dari sinar rembulan dan angin yang sesekali mampir diantara keheningan. Helai rambut mereka terbawa oleh semilir angin.
"Kau terluka." Maya meraih tasnya dan merogohnya mencari obat.
Oska diam diam menatap Maya yang tengah sibuk mengorek-ngorek isi tasnya
"Aku hanya punya plester." Maya merasa bersalah.
"Bolehkah aku bertanya?" tanya Oska.
"Apa?"
"Kau pergi ke mana dengan baju seperti itu?"
"Itu…" Maya mengalihkan pandangannya. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan kok."
"Memang apa yang aku pikirkan?"