Chereads / Perasaan Lain / Chapter 3 - BAB 2

Chapter 3 - BAB 2

"Ayah!" Maria berlari kecil meninggalkan ketiga kakaknya.

Tomo langsung keluar dari kiosnya demi menyambut Maria. Ia rentangkan tangannya dan bersimpuh di tanah. Lalu, mengangkat tinggi-tinggi putrinya yang baru pulang sekolah.

Tak terasa sudah setahun berlalu. Maria kini sudah kelas 1. Sedangkan Tama, Rian dan Reni sudah kelas 2.

Tiba-tiba, Tomo mengaduh kesakitan.

"Aduh!" Tomo segera menurunkan putrinya. Pinggangnya terasa nyeri.

"Maria! Kamu ini sudah besar!" Tama menyentil dahi Maria.

"Hahaha! Nggak papa. Ayah yang mau. Kalian sudah makan?"

"Sudah!" jawab Maria. "Kami beli nasi tiga ribu, Yah!"

"Iyakah?"

"Em. Enak!" seru Maria.

"Iya-iya!"

"Yah!" panggil Reni.

"Iya, Ren?"

"Pak Heru ngantar apa hari ini?" tanya Reni sambil mencari karung.

Seperti biasa Reni, Rian, Tama dan Maria akan membantu sepulang sekolah. Mereka akan mengupas bahan makanan yang dibawakan oleh pak Heru.

"Wortel, Kentang, Cabai, Jahe, Kunyit sama baju dari istrinya. Untuk Reni dan Maria."

"Baju?!" tanya Maria penuh semangat. Ia segera mendekati Reni.

Mereka berdua segera membuka kantung plastik bening yang berisi dress. Keduanya membentang baju yang seragam itu. Senyum mereka merekah.

"Kakak ayo kita ke toilet umum!" ajak Maria yang tak sabar mencoba dress itu.

Rian langsung merebut dan menyerahkannya pada Tama. Maria langsung merengut kesal.

"Ini baju bagus. Sayang dipakai di pasar!" omel Rian.

"Benar apa yang kakakmu bilang," ucap Tomo ketika Maria menatapnya penuh harap. "Lusa kan kita mau ke makam nenek. Banyak keluarga yang akan datang. Jadi baju itu bisa dipakai."

"Ck!" Maria langsung menarik Reni pergi dari sana.

Rian menggeleng. Ia segera membuka karung yang berisi bahan makanan dari pak Heru. Dia dan Tama akan memulai pekerjaan mereka.

xxxxx

Esok harinya di sekolah.

"Anak haram! Anak haram!" ledek anak-anak yang lain pada Tama.

"Awas jangan dekat-dekat! Kata ibuku, ibu dia mati karena sakit. Entar kita ketularan!"

Maria dan Reni yang tengah menuju kantin dari toilet. Menghentikan langkahnya.

"Jangan ganggu kak Tama!" teriak Maria dan langsung menghajar anak-anak itu.

"Maria!" Reni langsung berlari. Namun telat, karena rambut Maria sudah dijambak duluan.

"Jangan sakiti Maria!" teriak Rian dari ujung lorong. Ia langsung berlari ikut nimbrung.

xxxx

Di ruangan BK. Tomo dan Budi menatap keempat anak mereka yang penuh luka cakar. Rambut dan seragam yang berantakan.

"Mereka duluan yang bilang kak Tama anak Haram! Kan kak Tama anak Ayah. Sutomo!" omel Maria. "Bukan anaknya Haram!"

Tawa pun pecah di antara orang dewasa yang ada di sana. Kepolosan Maria membuat ketegangan di sana berkurang.

"Seperti yang Maria bilang. Tama anak kami. Saya harap sekolah bertindak tegas akan kejadian ini. Tentang Maria dan mereka yang melakukan kekekarasan. Kami tak ada masalah jika mereka dihukum sesuai peraturan."

"Dihukum?! Tapi Maria kan nggak salah!" rengek gadis itu. "Mereka duluan yang salah, Yah!"

"Maria!" tegur Sutomo.

"Pak!" Maria menatap Budi dengan mata berkaca-kaca. "Bapak sayang Maria kan? Kata bapak. Maria anak bapak juga. Iya kan?"

"Tom," bujuk Budi yang tak tega.

"Jangan manjain dia!" ucap Tomo final.

Budi menatap Maria. Ia benar-benar tak tega. Lalu, dirinya mulai berjongkok.

"Biar kakak-kakakmu yang kerjain. Mereka pasti mau." Budi berbisik.

"Pak! Bisa suruh mereka berjemur saja?" tanya Sutomo. Budi langsung menoleh. "Kalau yang lain. Maria pasti tak jera dan menyuruh ketiga kakaknya menjalani hukuman."

"Ayah!" teriak Maria tak terima.

Guru BK tersebut mengangguk setuju. Karena sudah sering Maria yang lupa mengerjakan PR. Namun, salah satu dari ketiga kakaknya yang akan membersihkan wc atau taman sekolah.

xxxx

Enam tahun kemudian.

Maria menatap langit terik seperti biasa. Ia benar-benar sudah bosan dengan hukuman yang diterimanya. Selain, berjemur, lari mengelilingi lapangan atau dipukul telapak tangannya dengan penggaris. Tak ada lagi hukuman yang bisa dia terima.

"Kalau bukan karena syarat Rian, Reni dan Pratama. Mana bisa anak itu masuk sekolah ini," ujar salah satu guru pada guru yang lain.

"Benar. Kok bisa kakak-kakaknya pintar, baik. Adiknya begini."

"Kudengar sih mereka angkat semua."

"Tama juga?"

"Em. Tama itu anak teman ayahnya yang sudah ninggal."

"Oh! Kasihan ya!"

Tak lama bel pun berbunyi. Anak-anak keluar dan sesekali melirik ke lapangan. Lalu memutar mata jengah. Lagi-lagi Maria.

"Lama banget!" omel Maria pada ketiga kakaknya.

Rian langsung menyentil dahi adeknya itu. Tama segera membuka air minum dan diserahkan pada sang adik yang sudah terduduk lemas di lapangan. Sedangkan Reni asyik mengelap keringat Maria dengan sapu tangannya.

"Bolos ke mana kemarin?" tanya Rian pada Tama dan Reni.

Pasalnya, ini karena Tama dan Reni yang langsung pulang setelah olimpiade SAINS. Makanya Maria nekat bolos dan pergi bareng mereka. Sedangkan Rian harus kembali karena ada rapat antar ketua OSIS.

"Main PS di warnet," jawab Tama santai.

"Terus?"

"Nggak ada," jawab Reni takut.

"Kalian!" teriak Rian geram. Ia langsung pergi ninggalin mereka.

"Marah lagi deh!" ucap Maria santai.

"Kamu sih!" omel Reni.

"Mar!" panggil Tama.

"Ng?"

"Kamu nggak niat berubah gitu?" tanya Tama.

"Niat!" seru Maria sambil berdiri. "Kamen Rider!"

"Jangan pernah panggil gua kakak lagi!" omel Reni dan langsung pergi begitu saja.

"Lah! Padahal dia ikut senang-senang juga kemarin!"

Tama menghela napas. "Apa jadinya kalau ayah tau?"

"Jangan!"

"Jangan apa?!"

Maria langsung tertegun. Ia berbalik dan mendapati Sutomo sudah berkacak pinggang.

"Astaga Maria! Belum naik kelas dua, ini sudah hukuman ke sembilan puluh empat kalinya?!" Sutomo segera menarik Maria. "Pokoknya kamu harus dihukum dengan cara keluarga!"

"Nggak ayah! Jangan! Tolong ayah!"

"Hati-hati Ayah!" seru Tama semangat.

xxxxx

Tiga tahun kemudian.

Maria sudah menjadi gadis cantik. Anak badung itu sudah mengurangi intensitas kenakalannya sejak dihukum dengan cara hukuman keluarga. Meminum jamu super pahit dengan takaran segelas besar buatan sang ayah secara turun-temurun. Sebenarnya itu jamu keluarga yang biasa diminum oleh keturunan keluarga dari Sutomo. Namun, Maria sangat membencinya.

"Masih lama jadinya kak?" tanya Maria sambil mengintip ke ruang tamu. Ia melihat Tama yang tengah menjahit baju baru untuk adiknya itu.

Sejak istri pak Heru meninggal. Maria dan Reni tak pernah mendapat baju bagus lagi. Akhirnya dengan modal tekad dan kebiasaan memerhatikan mendiang yang gemar menjahit. Tama meminta kedua mesin itu.

Lalu, Pak Heru memberikannya dengan senang hati. Karena, dari pada dibuang. Lebih baik diberi kepada yang membutuhkan. Apalagi niat Tama untuk membuat pakaian Reni dan Maria.

"Tangkap!" ucap Tama pada Maria sambil melempar baju yang sudah selesai dijahit dan digosok olehnya.

Maria langsung masuk ke dalam dan berganti pakaian. Senyumnya merekah sempurna melihat dress buatan kakaknya dari seprai yang sudah robek dan bolong-bolong. Itupun kumpulan dari para tetangga.

"Gimana?" tanya Tama, ketila pintu terbuka.

"Suka! Maria suka! Makasih, Kak!" serunya sambil berputar riang.

"Yang aku mana?" tanya Reni.

"Sabar!" ucap Tama yang tengah memilah kain yang warnanya masih cerah. Agar terlihat benar-benar seperti baju baru.

"Kak Rian! Cantik kan?" tanya Maria sambil berputar di depan kakaknya.

"Cantik," puji Rian.

"Oh iya! Ngomong-ngomong baju seragam sekolah untuk mereka sudah siap?" tanya Rian.

"Sudah. Itu! Besok tinggal kita bawa ke sekolah." Tama menunjuk tumpukan baju di sudut ruangan.

"Jatahku ada kan?" tanya Reni.

"Ada! Yang kita sudah dicuci dan dijemur ayah tadi pagi."

"Kirain nggak ada. Capek-capek aku negosiasi harga kainnya. Masak nggak dapet jatah."

"Makanya! Itunya jangan besar-besar!" ledek Maria yang langsung kabur, setelah selesai bicara.

"Maria!" teriak Reni sambil mengejar adeknya.

"Oh iya! Maria kan senang main peran teater. Gimana kalau Maria jadi artis, kamu jadi desainer pakaiannya, aku yang mencari pekerjaannya terus Reni yang nego harga. Gimana?" usul Rian.

"Boleh!" jawab Tama.

"Deal berarti kan?"

"Deal! Reni sudah tau?"

"Belum. Gampanglah itu."