'brak!'
Anak-anak dalam kelas langsung menoleh. Mereka terkejut dengan kehadiran anak kelas 1 di kelas mereka.
"Kak Rian!" teriak Maria.
Rian langsung berdiri ketika Maria mendekat. "Kenapa? Ini masih jam sekolah!"
"Jam kosong pula! Guru kan lagi rapat."
"Maria!" suara menggelegar itu langsung membuang bulu kuduk Maria berdiri.
"Gawat! Si pembunuh berdarah dingin dateng!" Maria berusaha sembunyi ke lemari penyimpanan alat-alat kebersihan kelas.
Rian segera mencekal dan menyentil dahi Maria. Matanya menatap tajam adiknya yang ikut membalas tatapannya itu.
"Ayo!"
"Nggak! Nggak mau!" teriak Maria.
"Maria!"
"Nggak! Aaaa! Kalu tau gini aku ke kak Tama aja!"
"Enak aja! Bisa-bisa aku kena semprot juga," jawab Tama sambil membawa beberapa buku. "Ini ulangan kami."
"Nah! Kak Tama aja kak Rian bantu! Itukan ulangan yang harusnya dikumpul pagi-pagi bukan? Mentang-mentang gurunya nggak tau, jadi nitip sama kak Rian!"
"Enak aja! Ini aku ambil dari kantor untuk mereka koreksi. Yang mereka nanti kami koreksi di kelas kami!"
"Maria!"
Maria tertegun ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu Ia segera bersembunyi di belakang Rian.
"Kakak! Bantu! Tolong!" Rian menggeleng. Sedangkan Tama menarik adiknya paksa. "Kalian jahat!"
Maria segera pergi dengan guru killer itu. Rian kembali duduk dan Tama mencari kursi kosong agar bisa duduk di dekat Rian.
"Ngapain?" tanya Rian.
"Apa kita laporin ke ayah aja? Biar dihukum lagi tuh anak?"
"Nggak usah ngerepotin ayah. Biar kita aja yang urus tu anak."
xxxxx
Di rumah Maria memberontak. Namun tangan dan kakinya dicekal oleh kedua kakaknya dan Budi. Sedangkan Tomo memegang wajah putrinya. Memaksa gadis itu untuk meminum jamu.
"Ng?" Maria tak lagi memberontak. Ia bahkan menelannya sampai habis. "Lumayan juga ternyata."
"Dah dibilangin juga," ucap Reni.
"Tapi ya, Kak. Kakak kok sakit sampai nggak bisa masuk sekolah tiap haid. Kenapa aku nggak?" tanya Maria. Sedangkan empat orang pria itu segera pergi dari sana. Kuping mereka sedikit risih mendengar kata-kata tabu itu.
"Entahlah. Mungkin memang tiap orang beda." Reni kembali fokus dengan layar yang ada di depannya. Sebagai Wakil Bendahara 4 OSIS. Ia mendapatkan banyak sekali tugas.
"Ck! Kalian sekarang dah nggak sayang Maria lagi!" Maria langsung berlari ke kamar. Ia benar-benar kesal, karena diabaikan oleh Reni.
Reni membuang napas kasar. Sebenarnya kalau bukan karena usul dari Rian. Untuk mengambil beasiswa jalur prestasi untuk kuliah nanti. Dirinya juga enggan begini.
Perekonomian mereka buruk. Job jahit Tama juga tak banyak. Job model pakaian Maria di toko-toko kecil juga sedikit. Dan bila digabungi. Uang penghasilan ayah, bapak, Tomo dan Maria. Hanya mampu membiaya kuliah dua di antara mereka.
Sedangkan Reni dan Rian sudah berhutang banyak pada Maria dan Tama. Yang merelakan uang tabungan mereka untuk biaya masuk Rian dan Reni untuk masuk SMA.
"Jangan terlalu dipikirkan. Entar lagi dia balik lagi," ujar Tama sambil mengemil keripik yang dibelinya tadi sepulang sekolah.
"Tam! Katanya sekolah ngirim orang untuk lomba fashion?" tanya Rian sambil mendekati mereka yang tengah duduk di atas tikar. Jangan harap ada sofa di sana.
"Iya. Maria udah aku daftarin. Aku juga dah daftar sebagai desainernya."
"Syukurlah. Kira belum tau."
"Tapi itu baru jadi kandidat yang akan dikirim lomba kan?" tanya Reni.
"Betul. Tapi semoga aja dapat. Lumayan loh sepuluh juta. Setidaknya Maria bisa beli kasur baru."
Reni dan Rian mengangguk setuju. Kasur kapuk Maria tak pernah diganti sejak dulu. Selain sudah tambal sana dan sini. Namun, tinggi badannya sudah tak lagi bisa ditampung di sana.
"Nggak sekalian beli untuk mu?"
"Nggak lah. Dah biasa tidur di tikar juga." Tama merebahkan diri di atas tikar.
Dulu, waktu kecil. Maria dan Tama tidur di kamar yang sama. Setelah beranjak dewasa. Tama memilih tidur di ruang tamu. Padahal sang ayah mengajaknya tidur bersama di kamar.
"Enak tau." Tama menatap langit-langit ruang tamu, kamar dia dan juga ruang makan itu.
"Iya-iya!" jawab Reni cepat. Ia nggak mau ambil pusing.
Rian juga hanya diam tak menanggapi. Ia ikut membaringkan diri.
"Aku jadi bersyukur sekarang."
"Kenapa?" tanya Tama dengan mata yang masih menatap langit-langit itu.
"Karena ngeliat lu. Pasti tetap aja ngerasa nggak enakan kan?"
"Iya. Tapi aku tetap bersyukur. Ada ayah dan Maria yang mau menerima. Kalau nggak ... entah jadi apa aku di sana."
"Hidup-hidup!" ucap Reni sambil melihat kedua orang yang tengah merebahkan diri di sampingnya.
"Oh iya, Ren! Besok temani ke pasar ya?" tanya Tama.
"Boleh. Asal ...."
"Aku tau. Kalau ada sisanya aku buatin. Tapi bukan baju ya? Kayaknya sisanya bakal dikit. Mungkin Bando, koncet rambut, dompet atau tas kecil deh. Paling besar ya tas kecil."
"No! Aku mau kotak pensil kain yang kayak bentuk tabung gitu. Bisa kan?"
"Bisa. Untuk Maria ya?"
"Hahaha! Iya. Gua mau minta maaf sama dia."
"Minta maaf aja langsung! Kalian ini! Rumah tanpa kedap suara gini masih bahas rahasia-rahasiaan. Terus! Kalau kita menang, kenapa cuma aku yang dibeliin?" tanya Maria yang langsung duduk di samping Reni. Ia merebahkan kepalanya dipangkuan Reni. Menyingkirkan laptop yang dipangku kakaknya itu. "Sudah selesai kan?"
"Sudah." Reni mengelus kepala adiknya.
"Kak Tama! Aku tadi nanya! Kenapa cuma aku yang dibeliin!"
"Uangnya mau ditabung untuk masuk kuliah nanti."
"Ck! Kalau gitu aku nggak mau. Apanya! Aku dah punya kasur!"
"Kasurmu kan bisa buat kakak."
"Enak aja! Nggak! Lagian, jerapah mana muat tidur di kasur semut. Kalau memang mau beli. Untuk kakak aja."
"Ya udah. Kalau gitu nggak usah beli." Tama bersungut kesal.
xxxxx
Tiga bulan berlalu. Lomba pun berakhir sukses. Maria dan Tama mendapatkan juara 1 nya. Namun ....
"Mar!" panggil Tama sambil menggenggam tangan Maria.
"Aku tau." Maria segera menghampiri Rian dan Reni yang berada di ruang tunggu. Sedangkan Pak Budi masih belum siuman di kamarnya. "Kakak!"
"Maria?"
Maria langsung mendekat dan memeluk Reni erat. Kakak perempuannya itu menangis tergugu. Belum lagi kabar yang mengatakan kalau biaya operasi itu sangat besar. Kartu miskin dan yang lain sudah dikerahkan. Tapi tak tau gimana. Mungkin memang takdirnya. Mereka kekurangan uang 5 Juta untuk pengobatan tersebut.
"Kak!" Maria duduk di sebelah Reni. Ketika kakaknya itu sudah selesai menangis. "Aku dan kak Tama sudah berunding. Ini uang kami. Pakailah."
"Tidak Mar!" jawab Rian cepat.
"Jangan menolak kak. Lagian kami masih ada simpanan lima juta lagi kan Kak?" tanya Maria.
"Iya. Tiga bulan ke depan kami juga akan ikut kompetisi lain lagi. Ya kan, Mar?"
"Mm!"
Rian pun dengan berat hati menerimanya. Ia segera berlari ke ruang administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.
"Telpon ayah!" titah Maria pada Tama.
Tama segera pergi dari sana dan menelpon ayah. Memberitahukan uangnya sudah ada. Ayah tak perlu mencari pinjaman lagi.
"Makasih, Mar."
xxxxx
Seminggu kemudian.
"Apa-apaan pihak sekolah! Itu kan hadiah untuk murid, kenapa pula mereka ambil? Lagian sebanyak itu."
Rian dan Reni yang tengah asyik membersihkan ruang OSIS menghentikan gerakannya.
"Setengah pula! Kasihan si Rifki yang dapat dua juta. Dipotong jadi sejuta."
"Sudahlah! Bukan tugas kita! Tugas kita cuma belajar."