Kenapa? Kenapa hidupku jadi tak nyaman bersama Pak Kaisar? Kenapa dia seenaknya saja padaku? Apa aku ini robot baginya? Iya? Kenapa di hari liburku, dia tetap menggangguku? Tak bisakah aku menikmati waktu berhargaku bersama putri kecilku? Apa aku berhenti saja dari perusahaannya? Tapi, jika aku berhenti, aku bekerja dimana? Saat ini, posisiku dalam perusahaan termasuk bagus. Banyak sekali orang yang ingin menempati tempatku. Aku harus tetap kuat, semoga saja sesegera mungkin aku mendapatkan pekerjaanku kembali.
Dila menunggu di pinggir jalan yang sudah ia janjikan pada Kaisar. Sepuluh menit kemudian, mobil Land Cruiser milik Kaisar berhenti tepat di tempat Dila berdiri. Tak sulit bagi Kaisar untuk menemukan keberadaan Dila. Dila begitu kaget, karena Kaisar sangat cepat. Dari Denpasar menuju Buleleng normalnya adalah dua jam. Tapi, hanya butuh waktu satu jam untuk Kaisar. Sungguh, Dila tak menyangka.
"Ayo naik!" perintah Kaisar.
"Baik, Pak." Dila naik ke mobil Kaisar.
Dila tak mengerti, kenapa Kaisar dengan mudahnya datang dari Denpasar menuju ke Buleleng. Namun, Dila tak berani banyak bertanya, Kaisar terlihat seperti seseorang yang sedang kesal.
"Habis ngapain kamu disini?" tanya Kaisar.
"A-aku, aku habis bertemu dengan sahabatku, Pak." ucap Dila.
"Untuk apa jauh-jauh kesini?"
"Hanya menghabiskan waktu bersama." jawab Dila gugup.
Kaisar fokus mengemudikan mobilnya tanpa menjelaskan apa maksud dan tujuannya ingin bertemu Dila. Ingin sekali Dila bertanya, tapi rasanya ia takut, karena Kaisar terlihat sangat kesal. Tapi, ia pun penasaran, untuk apa Kaisar datang jauh-jauh kesini, takutnya ada hal penting mengenai perusahaan.
"Pak Presdir, ada apa? Apa pekerjaanku ada yang salah?" Dila memberanikan diri.
"Tidak ada. Aku hanya kesal padamu." jawabnya.
Dila mengerutkan dahinya, "Kesal padaku? Karena apa Pak?"
"Jangan panggil aku Pak sekarang! Kita sedang tidak bekerja,"
"A-apa? Lalu, saya harus memanggil Bapak dengan sebutan apa?" Dila sedikit takut, karena Kaisar sepertinya kesal.
"Panggil aku, Kaisar. Aku seumuran denganmu!"
"Maaf, aku tak mungkin memanggilmu dengan ucapan itu. Sangat tak sopan bagiku. Aku tak berani melakukannya. Aku akan tetap menghormatimu sebagai atasanku." Dila mengelak.
"Sudah, jangan membantah terus. Panggil aku Kaisar jika diluar pekerjaan, dan kamu bisa memanggilku Pak Kaisar di kantor. Jangan memanggilku dengan sebutan Pak, Pak jika kita sedang tidak bekerja. Aku merasa tak enak, aku ingin ada perubahan diantara kita!" tegas Kaisar.
"Ma-maf, Pak. Perubahan seperti apa maksudnya? Eh, maaf, Kaisar. Aku salah,"
"Aku datang ke rumahmu, aku ingin bertemu denganmu! Tapi, rumahmu kosong, tak ada siapapun. Itu membuatku kesal. Dan ternyata, kamu malah berada di Buleleng bersama orang lain. Aku sangat kesal padamu, Dil." Kaisar tak menganggap pertanyaannya.
"Maaf, aku punya kesibukan sendiri. Bukankah aku sudah bilang pada Bapak, eh maaf ... bukankah sudah aku bilang padamu, kalau aku cuti, dan aku ingin istirahat." Dila membela dirinya sendiri.
"Ya, kamu bilang istirahat bukan? Tapi, kamu malah berada diluar kota bersama orang lain? Istirahat apa maksudmu? Jika kamu bertemu dengan orang lain, tak mungkin kamu beristirahat!" Kaisar kesal.
"Maksudku, aku bukan beristirahat di rumah, bersantai dan sebagainya. Tapi, aku istirahat dari pekerjaanku. Apa Bapak, eh, apa kamu tak sadar? Selama ini aku bekerja sangat keras untukmu! Bahkan, aku tak punya kehidupan sehari-hariku. Aku selalu disibukkan dengan pekerjaanku. Aku ingin istirahat dari pekerjaan selama dua hari, dan aku ingin bertemu dengan orang yang ingin aku temui. Apa itu salah, Pak? Apa aku tak boleh beristirahat dari pekerjaanku sebentar saja? Aku ini manusia, aku bukan robot. Aku juga ingin merasakan bebas, Pak. Maafkan aku." Dila memberanikan diri mengutarakan kekesalannya.
"Kamu bertemu siapa? Pacarmu?" Kaisar malah bertanya hal aneh.
"Sembarangan. Aku bertemu dengan anak ... " Dila keceplosan, ia hampir saja mengatakan anakku.
"Anak?" tanya Kaisar.
"A-aku, aku bertemu dengan anak temannya Ibuku. Dia bekerja di sebuah club di Buleleng, jadi aku menemuinya." untung saja Dila bisa membelokkan pembicaraannya.
"Laki-laki?" tanya Kaisar lagi.
Apa-apaan ini? Kenapa pertanyaannya protektif sekali? Sejak tadi, aku merasa, bahwa dia seperti seseorang yang sedang kesal dan cemburu padaku. Tadi, dia bertanya pacarku, barusan dia bilang laki-laki, ya ampun, ada apa dengan Bos-ku ini? Kenapa menyebalkan sekali? Gumam Dila hati.
"Perempuan, Pak." jelas Dila.
"Jangan panggil aku Pak! Panggil aku, Kai." tegas Kaisar.
"Ada apa denganmu? Kenapa aku harus berbicara non formal seperti ini? Jujur saja, aku merasa tak nyaman." ucap Dila.
"Sudah kubilang, kita seumuran bukan?"
"Aku lebih muda darimu!" Dila tak mau kalah.
"Baiklah, panggil aku Abang." jawab Kaisar.
"Hah? Kita hanya beda satu tahun, Pak." ucap Dila.
"Ya sudah, panggil aku Kaisar." Kaisar kekeh.
"Astaga. Kamu ini kenapa sih? Hari ini aneh sekali." Dila menggeleng-geleng kepalanya.
"Apa yang aneh? Jelaskan padaku! Apa yang aneh menurutmu?" tanya Kaisar.
"Ini hari liburku, tapi Bapak menggangguku. Aku sedang tak di rumah, tapi pak Kais ke rumah. Aku sedang di Buleleng, terus langsung menyusulku kesini. Ada apa? Bukankah itu hal yang aneh? Padahal, ini jelas-jelas hari liburku. Tapi, kenapa rasanya aku seperti sedang dikejar-kejar olehmu? Aku bingung, adakah pekerjaanku yang salah? Atau, adakah hal darurat hari ini?" tanya Dila.
"Banyak bicara juga kau rupanya. Ya, hari ini ada hal darurat yang menyebabkan aku menyusulmu jauh-jauh kesini." ujar Kaisar.
"Apa itu Pak? Duh, maafkan saya, saya tak tahu." Dila kembali formal.
"Entahlah, tapi aku bingung bagaimana mengatakannya." ucap Kaisar.
"Maksudnya? Saya tak mengerti." Dila mencoba memahami maksud perkataan Kaisar.
"Aku lapar. Apa di daerah sini ada tempat makan yang enak? Ayo, kita makan siang." Kaisar mengalihkan pembicaraan.
"Ada, restoran seafood yang enak sekali. Mau?" ajak Dila.
"Boleh. Dimana tempatnya?"
"500 meter lagi kayaknya, nanti belok kanan di pertigaan. Dikit lagi kok," Dila menunjuk jalan.
"Baiklah." Kaisar terus melajukan mobilnya.
Dil, entah kenapa, aku ingin terus dekat denganmu. Mungkin, karena kamu sekretarisku, hasratku memintaku untuk terus denganmu. Mungkin juga, karena aku merasakan kenyamanan, aku selalu ingin bertemu denganmu. Maafkan aku, yang mengganggu hari liburmu. Aku ternyata kesepian jika jauh darimu. Karena pekerjaan kita, mungkin aku sudah ada keterkaitan denganmu. Aku jadi selalu membutuhkanmu. Apa kamu keberatan jika aku terus ingin bersamamu? Gumam Kaisar dalam hati.
Mereka sampai di restoran seafood pilihan Dila. Kaisar dan Dila segera memesan menu yang mereka inginkan. Sementara menunggu, Kaisar melihat-lihat pemandangan pantai disekitar daerah Buleleng. Sangat indah, dan sangat cantik pemandangannya.
"Dil, pantai disini masih sangat terawat. Beda dengan pantai di Denpasar. Kebanyakan turis sih," ucap Kaisar.
"Iya, disini belum begitu terjamah." jawab Dila.
"Seperti kamu ya, belum terjamah!" Kaisar tertawa.
"Eh, apa maksudnya itu?" Dila melotot.
"Kalau kamu sudah terjamah, kamu pasti sudah menikah. Iya kan?" Kaisar meledek Dila lagi.
Ah, andai dia tahu apa yang aku alami. Mungkin dia tak ingin dekat denganku. Batin Dila.
"Ah, Bapak bisa saja mengataiku. Padahal, sampai saat ini, yang kutahu dirimu juga masih sendiri ... iya kan?" Dila membalas ledekan Kaisar.
"Eh kurang ajar kamu ya! Kamu gak tahu aja, banyak yang terpesona melihatku!" ujar Kaisar.
"Kalo gitu, kenapa sampai sekarang masih belum juga punya pacar?" Dila tahu, karena Kaisar memang masih sendiri.
"Aku tak bisa mempunyai pacar." ucap Kaisar.
"Kenapa, Pak?" tanya Dila.
"Aku sudah dijodohkan. Percuma, mencari pacar pun tak akan bisa membahagiakan pacarku. Orang tuaku terlalu keras kepala." ucap Kaisar.
"Begitu ya? Dijodohkan tak selamanya buruk, kok. Daripada didiamkan tanpa kejelasan, lebih baik dijodohkan. Suatu saat nanti, cinta pasti akan datang dengan sendirinya." ujar Dila.
"Pengalaman ya, Dil?" selidik Kaisar.
"Ah, tentu saja tidak. Aku hanya mengutarakan pendapatku." ucap Dila.
"Wanita yang dijodohkan denganku, telah mempunyai kekasih. Dia sepertinya keberatan bersamaku, hanya karena harta keluargaku, dia jadi pasrah menerimanya." jelas Kaisar.
"Kenapa Pak Kais tak punya pacar juga? Kalau kalian sama-sama punya pacar, kenapa tak dibatalkan saja perjodohan itu? Tapi, apa bisa ya? Kayaknya gak akan bisa ya Pak? Karena orang tua Pak Kaisar terlalu keras kepala kata Bapak." imbuh Dila.
"Entahlah. Aku tak mau memastikan hal itu. Satu hal yang pasti, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Wanita yang dekat denganku dan bertemu denganku setiap hari hanya dirimu. Bagaimana aku bisa mempunyai kekasih?" tanya Kaisar.
"Iya juga ya. Kalau begitu, tinggal pasrah saja menerima perjodohan itu dengan ikhlas!" ucap Dila.
"Dil, apa kamu mau pura-pura menjadi kekasihku? Agar aku bisa melepaskan perjodohan itu?" pinta Kaisar membuat Dila kaget.
"Apa? Tak mungkin, Pak. Keluarga besar Bapak sudah tahu siapa saya. Mereka tak akan mungkin percaya dengan hal itu." Dila menahan tawanya.
"Ah, entahlah. Aku pusing memikirkan hal itu." Kaisar mengacak-acak rambutnya.
"Sudah, jangan dipikirkan, Pak. Kalau jodoh, takkan lari kemana. Sejauh apapun, pasti akan dipertemukan nantinya." Dila tersenyum.
"Pintar juga teorimu, Dil." Kaisar tertawa, begitupun Dila.
Betul juga. Jodoh pasti bertemu. Aku penasaran, siapa jodohku? Jika aku bisa meminta, Tuhan ... biarkan saja Dila yang menjadi jodohku, aku sudah sangat nyaman dengannya. Gumam Kaisar dalam hati.