Arielle setiap hari mengunjungi kamar Tania. Ia sama sekali tidak malu sebagai seorang putri raja mengunjungi kamar seorang pelayan. Berkali-kali Tania melarangnya untuk berkunjung namun Arielle sama sekali tidak mendengarkan.
Perlahan, pelayan pribadinya itu mulai kembali sehat. Tania sudah bisa kembali berjalan dengan normal.
"Apakah kakimu sudah tidak kaku lagi?" tanya Arielle mencoba menyentuh kaki pelayannya.
"Yang Mulia! Kumohon … Tidak benar untuk seorang putri untuk menyentuh kaki pelayannya," ujar Tania tegas.
Arielle hanya tersenyum. Gadis itu tahu, Tania hanya merasa tak enak dilihat oleh pelayan lain dari Northendell.
"Apa yang perlu dikhawatirkan? Di Niverdell aku sering tidur di pangkuanmu."
"Namun ini adalah Utara, Yang Mulia."
"Memangnya apa yang berbeda jika kita di utara? Kalau begitu, raih tanganku, kita akan melatih otot-otot kakimu agar bisa terbiasa berjalan lagi."
Tania meraih tangan Arielle yang terulur. Ia sudah tua. Berhari-hari terjebak di udara dingin sangat memengaruhi tulang-tulang tuanya. Kini, ia perlu dibantu dengan tongkat kayu hanya untuk bisa berjalan.
Arielle membawa mereka ke sebuah taman istana. Gadis itu dengan sabar menunggu langkah-langkah pendek Tania.
"Jika kau lelah atau kakimu mulai gemetar, kita bisa beristirahat."
"Aku masih mampu untuk berjalan sejauh ini, Yang Mulia."
"Baiklah." Arielle mengangguk. Keduanya melewati kolam air mancur untuk mencari kehangatan. Siang itu, langit Utara cukup terang tanpa ada salju yang turun meskipun warna langit masih abu-abu, tidak berwarna biru seperti langit di Niverdell.
"Kurasa ini adalah langit tercerah yang pernah kulihat selama aku berada di sini," ujar Arielle sambil mendongakkan kepalanya. Ia mendesah. "Northendell benar-benar Kerajaan yang muram."
"Yang Mulia, jangan berbicara begitu, jika ada orang Utara yang mendengar bisa saja kita akan mendapatkan masalah."
Arielle tertawa kecil melihat kekhawatiran pelayannya itu. Meskipun sudah berhari-hari mereka tinggal di Utara dan diperlakukan sangat baik, namun Arielle bisa melihat kecurigaan di mata Tania.
"Sebenarnya apa yang kau khawatirkan, Tania? Orang-orang Utara sungguh baik kepada kita."
Tania mengangguk pelan, "Benar apa yang Yang Mulia katakan. Hanya saja… sepertinya kebaikan ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Ah, mungkin aku hanya terbawa suasana saja…"
Di Niverdell, Tania harus berjaga setiap waktu untuk Putri Arielle. Ia tahu, ia hanyalah seorang pelayan yang diutus untuk menjaga seorang bayi yang muncul tiba-tiba bersamaan dengan kepulangan Raja Niverdell.
Namun setelah menemani tumbuh kembangnya anak perempuan ini hingga dewasa, Tania kini memiliki rasa untuk ingin selalu melindungi anak itu layaknya putrinya sendiri.
Melihat kecemburuan dan perundungan secara tak lansgung oleh saudara-saudara Arielle, membuat Tania tak bisa mempercayai orang lain dengan begitu mudah.
"Aku khawatir kejadian seperti sembilan tahun lalu akan terulang lagi," katanya cemas.
Arielle kini mulai paham apa yang digusarkan oleh pelayannya itu. Arielle membawa Tania untuk duduk di sebuah bangku taman menghadap istana Blackthorn.
"Tania… aku yakin bahwa orang Utara adalah orang-orang yang tulus."
"Anda juga berpikiran seprti ini kepada Putri Andrea dulu. Yang Mulia menerima kebaikannya, menganggap kalian adalah saudari sampai pada akhirnya…" Tania tak mampu berkata-kata mengingat kejadian sembilan tahun lalu.
Waktu itu adalah minggu pesta debutante dari Putri Andrea, putri pertama dari Ratu Rosalie. Arielle masih berusia sembilan tahun saat itu. Andrea memperlakukan Arielle begitu baik. Mengajaknya memilih baju, tinggal di istana bersama ratu, memperkenalkannya pada teman-temannya sampai hari pesta debutante Putri Andrea tiba….
"Aku tak mengingat apa pun tentang malam itu, Tania. jadi aku tetap akan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh kakak Andrea karena ia memang menyayangiku dan menganggap aku adiknya."
Tania menggeleng pasrah. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada malam pesta debutante Putri Andrea. Yang ia tahu bahwa gaun pesta Arielle telah terkoyak dan ia ditemukan di hutan dalam keadaan setengah sadar. Keesokan harinya Putri Arielle bilang, ia tak ingat apa pun yang terjadi di hutan.
"Tania… jika aku ingin jujur. Aku menyukai tempat ini, meskipun aku hanyalah seorang tahanan mereka memperlakukanku lebih baik dari orang Selatan. Maksudku, jika pun mereka akan melukaiku di kemudian hari atau menjadikanku makanan para serigala saat Niverdell tak mampu memberikan bayi serigala kepada Utara, aku akan menerima konsekuensinya." Arielle menggigit ibu jarinya, merasa ragu untuk lanjut mengungkapkan isi hatinya.
"Apa Yang Mulia pikirkan!? Tidak-tidak …. Anda tidak boleh berpikiran seperti itu!"
"Tapi bukankah kau yang memulai memiliki pikiran negatif tentang kebaikan mereka?"
"Tidak, Tuan Putri! Hal itu tidak boleh terjadi!" kata Tania tegas.
Wanita tua itu menghentakkan tongkat kayunya dan memaksakan tubuhnya yang kaku untuk kembali berdiri.
"Tania? Kau ingin pergi kemana?"
"Aku akan bersujud kepada Raja Northendell untuk menjadikanku santapan serigala mereka menggantikan dirimu!"
"Aku pastikan itu tidak akan terjadi," ujar seseorang dari belakang.
Arielle dan Tania menoleh ke belakang dan mendapati Lucas yang menekap mulutnya, menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Lucas?"
"Hormat hamba, Tuan Putri," sapa Lucas dengan membungkuk memberi hormat ke arah Arielle. "Aku teringat, Putri Arielle pernah berkata bahwa Putri sangat suka melukis jadi aku membawakan sebuah kanvas dan cat untuk putri gunakan di waktu senggang."
Seorang pelayan pria hadir membawakan kanvas berukuran sedang dan segenggam berbagai macam ukuran kuas. Di tangannya yang satu lagi terdapat satu set cat cair berbagai macam warna.
"Ini semua untukku?"
"Untuk Putri Arielle Dellune dari Raja Ronan D. Blackthron langsung."
Arielle menoleh ke arah istana di depannya. Ia melihat ke arah salah satu jendela kaca. Jantungnya berdebar sangat kencang saat seorang pria tengah berdiri seorang diri dari balik jendela, seolah-olah tengah memperhatikannya.
Arielle memberanikan diri mengangkat tangan untuk melambai ke arahnya namun pria itu tidak merespons apa-apa, justru berbalik membuat Arielle merasa canggung.
Ia kembali berbalik ke arah Lucas. "Sampaikan terima kasihku kepada Yang Mulia Raja Ronan."
"Dengan senang hati," balas Lucas yang kemudian minta izin mengundurkan diri.
Arielle dan Tania saling bertatapan.
"Kurasa kekhawatiranku sangat tidak berdasar," ujar Tania kemudian. Ia kembali duduk menemani Arielle yang memulai membuat sketsa sederhana di kanvas barunya.
***
"Putri Arielle sungguh memiliki hati yang baik. Ia bahkan rela membantu pelayannya belajar berjalan setiap hari."
William tersenyum melihat wajah muram pria di depannya. Entah sampai kapan pria itu bisa memegang ucapannya untuk tidak menemui Putri Arielle.
Semua ini berawal dari William yang menggodanya tentang Ronan yang terlihat begitu peduli kepada seorang tahanan. Ronan yang merasa diusik pun mengatakan bahwa keberadaan Putri Arielle sama sekali tidak mengubahnya dan ia akan membuktikannya dengan tidak akan menemui Putri Arielle lagi.
Beberapa hari yang lalu, William mencoba bertanya kepada Ronan mengenai perasaannya karena sebagai pengawal pribadinya, ini adalah kasus pertama dimana seorang Raja bermalam di kamar seorang putri dari kerajaan lain tanpa ada status hubungan pernikahan. Apalagi putri tersebut berada di sini sebagai seorang tahanan.
"Aku hanya tidak ingin anak itu mati kedinginan. Akan merepotkan jika ia mati sebelum Nieverdell mengganti serigala yang Alexis bunuh," jawab Ronan pada saat itu. Namun William tahu betul bahwa bukan itu maksud hati pria itu.
"Dan apakah nanti Yang Mulia akan bermalam di kamar Putri Arielle lagi?"
Pada saat William bertanya hal tersebut, ia tahu nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Meskipun Ronan mengenakan topeng dan ia tak bisa menganalisis ekspresi sang raja, namun dari kedutan di jemarinya William tahu bahwa Raja Ronan tengah menahan diri untuk membunuhnya saat itu juga.
"Tidak, tapi kau akan bermalam di kandang kuda malam ini. Tutup mulutmu jika kau tidak ingin mati kedinginan!"
William sama sekali tidak merasa gentar oleh ancaman itu. Ia tahu Ronan akan benar-benar memegang ucapannya dengan menguncinya di kandang kuda. Hal ini sudah terjadi beberapa kali saat ia membuat Ronan kesal. Ia juga sudah semakin terbiasa.
"Mungkin aku akan meminta bantuan Putri Arielle. Beliau sangat baik, pasti Putri akan menawarkan bantuannya kepadaku ketika mengetahui ada raja yang mengunci pengawal setianya di kandang kuda."
Perdebatan hari itu sungguh mengusik Ronan hingga pria itu bilang akan membuktikan bahwa ia tidak akan lagi menemui Putri Arielle. Ucapannya membuat William terkejut. William hanya bermaksud menggoda rajanya namun pria itu terlalu murung untuk diajak bercanda.
Seperti hari ini, sudah beberapa kali candaan William dipatahkan oleh Ronan dengan komentar 'tidak lucu'. Ronan yang bosan dengan suara William mengangkat tangannya menghentikan laju mulut William yang tak berhenti berbicara. " Langsung pada intinya, apa yang kau inginkan?"
William melebarkan senyumnya.
"Tidak ada, hanya memastikan seseorang tidak tengah meninggalkan tugas kerajaan demi seorang tahanan," goda William lebih lanjut.
"Aku tidak menelantarkan tugasku," tukas Ronan tajam.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Maksudku adalah mengesampingkan…"
Ronan hanya mendesah panjang. Ia memejamkan matanya sesaat kemudian membukanya kembali.
"Beri aku sedikit istirahat. Apa tujuanmu kemari?" tanya Ronan sekali lagi.
"Maaf, aku hanya khawatir Yang Mulia terlalu tenggelam dalam pekerjaan."
Salah satu alis Ronan terangkat mendengar suara William yang melembut. "Perubahan sikap yang sungguh cepat. Apa yang kau inginkan?"
"Pendeta Elis memberikanku ini." William mengeluarkan sebuah map dari balik punggungnya.
Ronan menerimanya dengan ragu. Ia membaca beberapa kalimat tulisan tangan Pendeta Elis.
"Apa maksudnya ini? Aliran mana Putri Arielle telah terbuka?"