Bersama Tania, Arielle menyusuri salju menuju Cathedral. Beberapa orang di sana telah mengenal Arielle saat kunjungan pertamanya bersama Raja Ronan.
Saat melewati taman dengan pohon Frostberry, Arielle menghentikan langkahnya. Di pohon itu masih cukup banyak buah Frostberry yang siap dimakan namun ia tak memiliki izin untuk menyentuh buah-buah itu.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Tania bertanya-tanya mengapa Putri Arielle berhenti di tengah jalan.
"Jika Tuan Putri ingin mencicipinya, dengan senang hati kami akan memberikannya."
Arielle kembali menghadap depan, melihat Pendeta Elis dengan beberapa muridnya tengah berjalan ke arah mendekat. Arielle memberi hormat saat Pendeta Elis membungkuk ke arahnya.
"Ada keperluan apa Tuan Putri berkunjung ke Cathedral?"
Arielle menatap ragu ke arah Tania sebentar. Wanita itu mengepalkan tangannya memberi semangat kepada sang putri. Arielle telah memantapkan keinginannya. Ia bahkan tidak membicarakan hal ini kepada Raja Ronan. Ia harap Pendeta Elis bisa mengerti posisinya.
"Aku ingin bertemu dengan Anda, Pendeta."
"Saya?"
Pendeta Elis melihat sekeliling kemudian menyuruh para muridnya untuk pergi mendahuluinya. "Mari ikut saya. Kita bisa berbicara di kantor saya agar Tuan Putri merasa nyaman. Pagi ini salju turun sungguh lebat. Yang Mulia akan kedinginan jika berlama-lama di luar."
Arielle mengangguk kemudian ikut berjalan di samping Pendeta Elis, begitu juga Tania yang berjalan tak jauh di belakang keduanya.
Mereka dibawa ke sebuah lorong yang sama menuju aula Trigram Cahaya. namun, Pendeta Elis berbelok ke arah yang berbeda dan membuka pintu berukuran lebih kecil. Pendeta Elis mengulurkan tangannya ke dalam ruangan agar Arielle dan pelayannya masuk duluan.
"Maaf jika ruangan ini cukup berantakan," ujar Pendeta Elis.
Arielle duduk di sofa dekat perapian. Sebuah sulur trigram muncul di tangan kanan Pendeta Elis kemudian kayu di perapian pun mulai panas dan membentuk bara kecil. Tak berlangsung lama sebelum api itu berkobar membakar kayu.
Arielle menatap terpukau akan kemampuan Pendeta Elis.
Pendeta yang melihat wajah kagum Putri Arielle tersenyum dan mencoba menjelaskan. "Trigram di tangan kanan yang saya bentuk tadi bersifat mengumpulkan cahaya pada satu titik dan dibaur oleh trigram panas yang saya keluarkan melalui tangan kiri sehingga titik tersebut akan terbakar secara alami. Bukan sihir," lanjut Pendeta Elis membuat Arielle tertawa mengingat kebodohannya pernah menuduh Pendeta Elis menggunakan sihir untuk mengeluarkan cahaya dari telapak tangannya.
"Ah, aku sungguh malu jika mengingat ketidaktahuanku saat itu."
Pendeta Elis hanya tersenyum kemudian ikut duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa milik Arielle.
"Jadi, ada keperluan apa Tuan Putri ingin berbicara dengan saya."
Sekali lagi Arielle menghembuskan napas panjang untuk memberanikan diri. "Pendeta… seperti yang Anda tahu, aku tidak pandai membaca dan menulis. Aku juga telah berpikir panjang, bahwa suatu saat nanti aku akan membutuhkan kemampuan itu cepat atau lambat. Maka dari itu aku berniat untuk mulai belajar membaca dan menulis setelah kembali ke Nieverdell nanti. Namun…
"Saya harap Tuan Putri bisa membicarakan isi hati Tuan Putri dengan leluasa," ujar Pendeta Elis membuat Arielle terpaku.
Ia tidak menyangka bahwa Pendeta Elis akan seterbuka ini menerimanya, ia tidak pernah diperlakukan seperti ini di Nieverdell selain oleh Tania dan beberapa orang yang sudah kenal dekat dengannya. Ia… tidak pernah berbicara sedekat ini dengan pendeta di Nieverdell. Hal ini membuat hati Arielle menghangat dan senyumnya tercetak sangat lebar.
"Pendeta Elis… di Nieverdell, aku hanyalah orang biasa dengan titel putri karena ayahku adalah seorang Raja. Aku tak pernah mengetahui siapa ibuku. Sejak kecil aku menjalani hari layaknya orang biasa jadi aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk belajar. Meskipun keinginan itu ada… tetapi aku tidak punya uang untuk membayar seorang guru."
Pendeta Elis masih diam dan mendengarkan semua curahan hati Arielle tanpa berniat memotongnya.
"Jikapun aku pandai melukis, itu karena Tania membawa seorang guru yang mengajariku secara gratis. Guru melukisku adalah pria yang Tania kenal maka dari itu pria tersebut tidak meminta bayaran," imbuh Arielle. "Tanpa dirinya, aku mungkin akan sama sekali tidak memiliki keahlian apa pun…"
Ia mencoba tertawa untuk meringankan suasana agar ucapannya barusan tidak terdengar terlalu menyedihkan. Namun, Pendeta Elis dapat melihat sedikit kegetiran pada diri sang putri tahanan yang selalu menampakkan diri agar terlihat ceria dan baik-baik saja ini.
"Saya berdo'a untuk kebahagian Tuan Putri kelak," ujar Pendeta Elis membuat Arielle terenyuh.
"Terima kasih, Pendeta Elis. Maka dari itu, aku butuh bantuan Anda untuk…. maaf, lebih tepatnya meminta Pendeta Elis mengangkatku sebagai salah satu pekerja di Cathedral." Arielle menunduk, merasa malu. "Aku butuh uang untuk menyewa guru di Nieverdell nanti untuk mengajariku membaca dan menulis."
"Lebih tepatnya kami berdua, Pendeta. Saya tidak bisa membiarkan Putri Arielle bekerja seorang diri. Saya ingin membantunya, dengan begitu kami bisa lebih cepat mengumpulkan uang secara bersama-sama!" kata Tania menyambung ucapan tuan putrinya.
"Tania… jangan tergesa-gesa… Pulihkan dulu kondisi tubuhmu!" Arielle menoleh dan mengangkat alisnya ke arah pelayannya yang setia itu.
"Kita sudah membicarakan ini Tuan Putri. Oh, Pendeta… meskipun aku sudah tua namun aku sangat mampu untuk melakukan pekerjaan berat. Apa pun itu." Tania kukuh para permintaannya dan tetap memohon diberikan pekerjaan.
"Tidak, Pendeta. Tolong jangan berikan Tania pekerjaan yang berat. Izinkan aku saja yang melakukannya. Apa pun itu," ujar Arielle sama-sama bersikeras.
Pendeta Elis cukup terkejut akan perdebatan singkat antara Putri Arielle dengan pelayan pribadinya. Ia bahkan tak tahu harus menjawab mulai dari mana. Ia lalu berdeham meminta perhatian dua wanita di depannya. Setelah mendapat perhatian mereka, Pendeta Elis lalu menampilkan senyum ramahnya seperti biasa.
"Tuan Putri, akan menjadi sebuah kehormatan bagi saya untuk bisa membantu Tuan Putri." Pendeta Elis menelan ludah. Ia merasa kesulitan menolak permintaan sang putri saat melihat Arielle tengah menatapnya menggunakan ekspresi memohon yang demikian sungguh-sungguh.
"Tapi Putri Arielle…." Setiap pekerja di Cathedral harus melalui persetujuan Yang Mulia Raja Ronan. Seharusnya Cathedral diurus oleh seorang ratu namun saat ini Northendell belum memiliki ratu sehingga setiap urusan yang menyangkut Cathedrall kembali diserahkan kepada raja."
Wajah Arielle berubah murung. Pendeta Elis sungguh merasa bersalah menolak keinginan sang putri namun ia juga tidak bisa mempekerjakan seorang putri kerajaan.
"Apakah benar-benar tidak bisa bekerja di Cathedral tanpa sepengetahuan Raja Ronan? Maksudku… aku benar-benar butuh pekerjaan dan aku tidak ingin merepotkan Raja Ronan lebih banyak lagi. Di sini pun aku tidak memiliki banyak kegiatan. Rasanya tulang-tulangku semakin kaku saja setiap harinya." Arielle mengeluh. Ah.. ia tidak mengira hanya mencari pekerjaan saja akan serumit ini.
Apa kata Raja Ronan kalau tahu Arielle meminta pekerjaan sebagai pelayan kepada Pendeta Elis? Ia mungkin akan tahu bahwa Arielle membutuhkan uang…
Rasanya malu sekali kalau sampai ia tahu…
Arielle menggigit ibu jarinya membayangkan reaksi Ronan kalau sampai ia tahu. Hmm… mungkin… ia bisa membujuk Pendeta Elis untuk menerimanya bekeja tanpa perlu memberi tahu Raja Ronan?
Ahh.. Arielle tidak boleh menyerah dulu.
"Maafkan saya, Tuan Putri," balas Pendeta Elis dengan membungkuk lebih dalam.
"Jika Pendeta Elis merasa tak enak mempekerjakanku, maka lupakanlah statusku sebagai seorang putri! Bahkan di Nieverdell aku juga biasa membersihkan kamar, menyapu, mencuci pakaian hingga membersihkan taman istana bersama Tania! Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan sehari-hari… Percayalah…"
"Putri Arielle…." Pendeta Elis mendesah panjang. Meskipun Arielle mengaku ia sudah biasa bekerja, sang pendeta tetap tidak bisa mempekerjakannya. "Putri Arielle adalah tamu kerajaan dan sudah sepantasnya kami yang melayani Tuan Putri bukan Anda yang justru melayani kami."
"Aku di sini datang sebagai tahanan akibat tindakan kakakku! Aku mohon dengan sangat, Pendeta.… Berilah aku kesempatan."
"Mungkin saya akan mempertimbangkannya kembali jika Putri Arielle telah mendapatkan persetujuan dari Raja Ronan terlebih dahulu…"
Arielle menutup wajahnya merasa frustasi. Meminta izin Raja Ronan? Arielle sungguh tidak bisa….
Arielle masih belum bisa memahami kepribadian orang itu. Raja Ronan memang sellau memperlakukannya dengan baik. Namun semuanya terasa too good to be true. Ia tidak ingin merepotkan Sang Raja lagi.
"Jika memang seperti maka baiklah… mungkin aku akan mencari pekerjaan di tempat lain." Arielle menghadap ke arah Tania. Ia mendesah frustrasi. "Sepertinya kita baru bisa mulai bekerja saat kembali ke Nieverdell."
Tania menggenggam tangan Putri Arielle memberikan semangat.
Arielle bangkit dan memubungkukkan tubuhnya sekilas, memberi hormat kepada Pendeta Elis yang tengah mengalami konflik batin. Sang putri lalu berbalik dan berjalan lunglai. Ia tidak lagi merasa semangat.
Pendeta Elis memejamkan matanya erat. Ia harap tindakan yang akan diambilnya tak akan menimbulkan kemarahan dari Sang Raja.
"Putri Arielle," panggil Pendeta Elis saat Arielle baru keluar dari ruangannya.
Arielle berbalik dengan lesu. "Iya, Pendeta?"
Pendeta Elis berjalan mendekat. "Tiga hari lagi akan ada salah satu pelayan yang berniat mengundurkan diri, tetapi saya belum sempat melaporkannya kepada Raja Ronan. Jika Yang Mulia tak keberatan, Anda bisa menempati posisi pelayan tersebut."
Wajah gadis itu seketika kembali ceria. "Benarkah Pendeta? A-aku tak perlu meminta izin raja kan?"
"Tidak." Pendeta Elis menggeleng pelan. "Dan saya harap juga Raja Ronan tak akan mengetahui hal ini."
"Aku menerimanya!" sahut Arielle berapi-api membuat Pendeta Elis sedikit merasa lega. "Aku akan menjaga rahasia ini, hanya di antara kita."
Pendeta Elis beralih ke arah Tania yang memandangi Putri Arielle dengan khawatir. Ia mendeham. "Mohon maaf, saya hanya bisa menyediakan satu tempat saja. Saya tidak bisa mengangkat dua pelayan karena saya berniat menggunakan upah pelayan tersebut."
"Biarkan-" Arielle memotong ucapan Tania dengan mengenggam tangan wanita itu erar-erat.
"Upah itu akan kugunakan untuk keperluanku maka aku yang akan melaksanakan pekerjaannya," ujar Arielle tegas. "Bukan Tania."
"Jika begitu, Tuan Putri bisa datang ke Cathedral tiga hari lagi. Saya akan menjelaskan beberapa hal yang akan Anda kerjakan."
Arielle mengangguk antusias. "Terima kasih banyak, Pendeta!"
Dadanya kembali dipenuhi harapan. Ahh.. ia akan dapat mengumpulkan uang. Rasanya senang sekali!