Chereads / nggak jadi publish / Chapter 2 - 2. nama baik yang percuma

Chapter 2 - 2. nama baik yang percuma

"A-apa?" Lia tidak percaya dengan hal yang barusan dia dengar. "Skandal?"

"Betul. Mari kita buat satu skandal besar untuk membuatmu terkenal," Bagas berujar dengan penuh semangat.

Lia bahkan tidak sadar sejak kapan bosnya itu tersenyum lebar seperti anak kecil yang bahagia mendapatkan mainan baru.

Bagi Bagas sendiri, membuat skandal adalah sesuatu yang menyenangkan. Terasa seperti sebuah permainan yang memicu adrenalin.

"Bagaimana? Kau suka, kan?" Bagas menatap Lia, menunggu jawaban gadis itu.

Tapi gadis itu malah terdiam di tempat. Dia mengerjap dua kali. Lalu berkata dengan bingung, "Apanya yang harus saya suka?"

Seketika wajah Bagas berubah keruh. "Dasar tidak tahu terimakasih. Aku sudah bilang akan membuatmu menjadi populer. Kenapa kau malah berkata begitu?"

"Tapi saya tidak mau nama saya tercemar hanya demi popularitas, Pak. Saya tidak bisa berterimakasih pada orang yang membuatkan saya sebuah skandal," ujar Lia dengan penuh ketakutan.

Membayangkan bagaimana nasibnya jika dia diterpa isu dan gosip membuat dia merinding. Takut jika masyarakat akan membenci dirinya dan meninggalkan komentar jahat.

"Kau bodoh?" Bagas bertanya emosi. "Kau tidak punya otak? Apa kau tidak punya mata untuk melihat ke sekelilingmu, hah?!"

Lia menciut begitu dibentak.

Kepala gadis itu langsung kembali menunduk. Takut menatap Bagas yang sedang mode murka.

Sudah menjadi hal umum di Stary Entertainment bahwa CEO mereka akan menjadi sangat mengerikan saat marah. Sejak awal dia sudah diberi peringatan untuk tidak bermain-main dengan Bagas jika sedang marah.

Bagas mencengkeram rahang Lia dan memaksa gadis itu untuk menatapnya lurus-lurus.

Dia berkata penuh penekanan, "Orang-orang zaman sekarang lebih suka membaca gosip dari pada prestasi. Kau tahu itu artinya apa?"

Lia memejamkan mata. Terlalu takut menatap Bagas yang semakin menarik wajahnya untuk mendekat pada laki-laki itu. Sekarang dia bahkan bisa merasakan napas Bagas berhembus menyapu kulit wajahnya. Lia tidak berani membuka mata.

"Kau tidak tahu artinya apa? Kau benar-benar bodoh sepertinya." Bagas menyugar rambutnya ke belakang dengan satu tangannya yang bebas. Sementara tangan lainnya semakin erat mencengkram rahang.

"Le-lepaskan …. Tolong …. Ini sakit—"

"Diam," desis Bagas berhasil membungkam Lia dalam cengkeramannya.

"Dengarkan aku baik-baik, Lia. Orang-orang di luar sana lebih suka mendengar masalah pribadi seorang selebriti dari pada pencapaian mereka. Kalau kau mengumbar tentang kehidupan pribadimu, orang-orang pasti akan mulai tertarik padamu."

"Ta-tapi, aku tidak punya hal untuk diceritakan. Kehidupan sehari-hariku … membosankan."

"Kau benar." Bagas tidak bisa tidak setuju pada satu hal itu. "Di antara semua artis yang ada di agensi kita, kau adalah artis yang paling membosankan. Bahkan jika kau membuka pintu rumahmu lebar-lebar, tidak akan ada wartawan yang tertarik untuk meliputnya. Itu karena kau membosankan.

"Andai kau punya koleksi tas dan sepatu mewah, pasti akan ada banyak yang meliputmu. Atau kalau kau berpacaran dengan selebriti lain, mungkin akan ada beberapa wartawan yang mengikutimu.

"Tapi semua hal itu tidak ada dalam hidupmu. Kau terlalu membosankan. Makanya itu, ayo kita buat skandal. Cukup satu skandal saja untuk menaikkan ketenaranmu."

Lia menggeleng takut-takut. "Aku tidak mau."

Bagas melepas cengkeraman dengan kasar ke arah samping. Sampai-sampai Lia terhuyung dan menubruk meja kerja.

Lia mengaduh karena bagian pinggangnya terasa sakit akibat benturan yang cukup keras dengan meja tersebut.

Bagas tidak peduli dengan rasa sakit Lia. Karena rasa sakit gadis itu bisa membaik seiring waktu, tapi popularitas gadis itu tidak akan membaik hanya dengan dibiarkan saja. Jadi Bagas lebih fokus pada karir Lia saja.

"Apa masalahmu sebenarnya? Hah? Aku sudah rela turun tangan demi menangani karirmu, kenapa kau terus saja bertindak tidak tahu terimakasih?" Bagas tidak bisa menahan amarahnya.

"Aku tidak mau namaku menjadi buruk di mata publik," cicit Lia, berusaha menyuarakan pikirannya meski sedang merasa takut dan gugup di hadapan sang CEO.

"Memangnya publik mengenalmu apa?" Bagas berujar dengan tajam lagi, "Tidak ada orang yang tahu namamu saat ini. Jadi mau namamu menjadi buruk pun atau tidak, yang penting adalah mencapai popularitas. Karena kau tidak akan bisa bertahan jika tidak punya penggemar sedikit pun!"

Bagas menarik napas dalam-dalam. Memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing akibat menghadapi satu artisnya itu.

Dia tidak menyangka Lia akan sesulit ini diurus. Kebanyakan artis jika masih tidak terkenal biasanya akan menurut saja jika diberitahu sesuatu. Sangat berbeda dengan Lia.

Gadis itu mempertahankan prinsipnya untuk tidak menjual gosip hanya demi popularitas. Dia tidak mau pencarian namanya di internet akan dipenuhi artikel-artikel gosip yang hanya membuat buruk citranya.

"Apa kau tidak ingin terkenal? Apa kau akan pensiun setelah kontrakmu habis nanti?" Bagas terus menyerang Lia.

Lia kemudian memikirkan kontrak dengan Stary Entertainment yang masih cukup lama. Namun meski masih lama, dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah kontraknya habis.

Stary jelas tidak akan sudi memperpanjang kontrak dengan dirinya. Terlebih setelah kejadian ini. Agensi lain tidak akan melirik artis gagal seperti dirinya.

Jika dia tidak mendapatkan popularitas, maka karirnya di industri hiburan benar-benar tamat.

"Saya masih ingin berakting," ujar Lia dengan suara lirih.

Akting adalah dunianya. Dia menyukai saat dia melakukan itu. Rasanya begitu menyenangkan. Dan dia menikmati pekerjaan tersebut.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dia harus pensiun dari pekerjaan itu.

"Makanya itu!" Bagas semakin gemas dengan gadis di hadapannya. "Makanya itu dengarkan aku baik-baik, Lia. Aku akan membuat skandal hanya untuk menaikkan namamu saja. Setelah itu tawaran job untukmu pasti akan bertambah jika publik sudah mulai mengenalmu."

"Anda yakin itu akan berhasil?" Lia tampak ragu. "Bagaimana dengan resikonya?"

"Aku akan mengusahakan agar kau menerima resiko seminimal mungkin. Sesedikit mungkin. Oke?"

Bagas menunggu gadis itu menjawab. Tawaran yang dia berikan sudah sangat bagus. Harusnya Lia tidak menolak tawaran itu jika dia punya otak untuk berpikir.

Tetapi sepertinya Lia tidak punya otak di kepalanya.

"Saya tidak mau mengorbankan nama baik saya demi popularitas," ujar gadis itu.

Bagas meledak lagi, "Siapa yang peduli dengan nama baikmu kalau kau tidak terkenal, Lia?! Apa kau tidak bisa berpikir? Gunakan sedikit otakmu itu, tolong!"

Entah dengan kepercayaan diri dari mana, Lia berani menatap mata Bagas lurus. Dia berujar dengan jelas meski tidak terlalu keras, "Walau tidak banyak yang mengenalku, aku tetap ingin dikenal sebagai sosok yang baik. Aku tidak mau ada noda di namaku."

Setelah berkata begitu, Lia pun berjalan meninggalkan ruangan Bagas. Meninggalkan lelaki itu yang siap meledak kapan saja karena merasa kesal.

Laki-laki itu berteriak sambil menatap punggung Lia yang menghilang dari balik pintu, "Percuma kau punya nama baik kalau tidak satu pun orang di luar sana tahu namamu!"