Lia tidak tahu harus bagaimana lagi dalam keadaan ini. Hutang ayahnya perlu dibayar, lalu kemudian datang lagi masalah lain. Bagas dengan tegas mengatakan dia tidak akan memperpanjang kontrak dengan dirinya.
Artinya dia akan terlantar begitu saja. Dia masih belum memiliki nama dan selama ini dia masih sangat mengandalkan agensi untuk mendapatkan job. Karena dia sama sekali belum terkenal.
Jika dia tidak lagi berada di Stary Entertainment, maka tamat sudah riwayatnya.
"Bagaimana aku bisa membayar hutang ayah?" Lia menggigiti jarinya. Ponselnya terus dia pakai untuk mencoba menghubungi sang ayah yang hilang entah ke mana.
"Haruskah aku meminjam uang?" Lia mencoba menemukan cara yang bisa dia gunakan untuk menyelesaikan masalah itu, sebuah cara yang bisa membawanya keluar dari semua ini.
Sayangnya dia tidak bisa menemukan satu pun hal yang bisa dia lakukan sendiri. Dia butuh bantuan dari orang lain.
"Diana …," Lia teringat akan sahabatnya itu yang akhir-akhir ini sedang sangat sibuk karena jadwal syuting tanpa henti. "Dia pasti bisa membantuku, kan?"
Dia pun segera mencari kontak gadis itu dan menghubunginya. Dia merasa gugup saat mendengar dering demi dering sebelum akhirnya Diana mengangkat telepon tersebut.
"Halo?" suara Diana dari seberang sana menyapa.
"Diana, ini aku Lia."
"Oh, Lia. Kau mengganti nomormu, ya? Nomor ini tidak tersimpan di kontakku soalnya," ujar Diana dengan latar belakang yang cukup berisik di sana.
Lia terkejut mendengar itu. Dia jelas-jelas sudah sering mengirim pesan padan Diana dan mengatakan kalau dia ganti nomor sejak setahun lalu.
Lia selalu memaklumi saat pesannya dibalas singkat dan lama, atau bahkan tidak dibalas sama sekali. Yang jelas Lia selalu berpikir positif barangkali Diana sedang sibuk dan tidak punya waktu untuk membuka ponselnya itu.
Siapa sangka ternyata Diana hanya mengabaikannya saja selama ini?
Lia berusaha tidak terdengar tersinggung karena ini bukan saatnya memikirkan hal itu. Dia memiliki hal lain yang perlu dia pikirkan dibanding hal ini.
"Kau ada waktu? Aku ingin bicara denganmu," ujar Lia langsung pada intinya. Dia merasa tidak enak meminta tolong lewat telepon begini.
"Waktu?" Diana terdengar sedang bergumam berpikir. Mungkin dia mengingat-ingat jadwalnya, mencari-cari waktu luang di antara semua kegiatan yang memadati kesehariannya. "Aku ada jadwal penuh dua hari ke depan."
"Ah, begitu?" Lia kecewa.
Sekarang dia bingung harus bagaimana lagi. Orang yang sekiranya bisa membantu dirinya hanya Diana. Dia tidak yakin orang lain bisa membantunya karena kenalan dia kebanyakan hanya orang-orang biasa.
Sangat tidak mungkin meminta bantuan pada mereka di saat dia memiliki lima ratus juta yang perlu dibayarkan.
"Ada apa memang?" Diana bertanya. Di antara suaranya masih terdengar jelas suara-suara orang lain yang sangat berisik.
Lia yakin sahabatnya itu masih ada di set atau sedang ada acara tertentu. Padahal sudah jam segini tapi dia masih juga sibuk. Sangat berbeda dengan dirinya yang tidak memiliki hal untuk dilakukan. Tidak ada job untuknya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin meminta bantuan. Tapi kalau kau tidak bisa ya sudah," Lia berusaha menggiring percakapan itu supaya langsung selesai. Karena dia merasa tidak nyaman dengan Diana.
Padahal dia adalah sahabatnya. Sampai beberapa hari terakhir dia masih terus mengirimkan pesan singkat pada gadis itu untuk memberinya semangat meski tidak dibalas pada akhirnya.
Setelah tahu kalau Diana bahkan tidak menyimpan nomornya, dia merasa sangat tidak nyaman. Dia seperti tidak dianggap sebagai teman. Lia akan berhenti mengirim pesan mulai sekarang.
"Kalau memang penting, aku akan menyisihkan waktu besok. Uhmm, mungkin besok malam. Tidak apa-apa, kan?" Diana menawarkan.
Lia teringat dengan bagaimana orang-orang mengenal sosok Diana. Dia adalah gadis manis yang baik. Parasnya cantik, senyumnya indah dan juga sifatnya sangat terpuji.
Sejak dulu dia setuju dengan hal ini. Lia memang tampak kurang lebih begitu. Hanya saja setelah tahu gadis itu mengabaikan dirinya yang mana dirinya adalah sahabatnya sendiri, dia menjadi ragu apakah Diana memang sosok yang baik atau hanya sedang pencitraan saja.
Tetapi untuk saat ini dia tidak memiliki waktu untuk mencurigai gadis itu. Dia butuh menyelesaikan masalahnya secepat yang dia bisa. Karena itu dia tidak bisa menolak tawaran Diana.
"Baiklah, kita bertemu besok malam."
Lia tidak memiliki tempat untuk menolak. Seakan keadaan sengaja membuat dia tidak berdaya di bawah gadis yang tadinya dia anggap sahabat sendiri.
"Aku akan menentukan tempatnya besok. Oh, dan aku akan menyimpan nomor barumu ini," ujar Diana dengan ceria.
Lia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berharap Diana melihat ruang obrolan mereka dan melihat kalau Lia sudah sering mengirim pesan menggunakan nomor ini. Semoga saja Diana melihat hal itu dan menyadari kalau perbuatannya sudah sangat menyakiti hati Lia.
Panggilan pun ditutup.
Lia menghela napas. Semoga setelah ini dia bisa menyelesaikan masalahnya satu demi satu. Dia tidak ingin hidup dengan berbagai masalah yang membelenggu.
***
Besok malam sesuai yang dijanjikan, Diana mengirim alamat sebuah kafe untuk mereka bertemu.
Lia mendatangi tempat itu dengan penuh semangat dan juga gugup. Berharap Diana bisa memberinya bantuan seperti yang dia butuh. Sehingga itu bisa memudahkan dirinya mencari jalan lain untuk masalahnya yang lain.
Namun, meski sudah dua jam menunggu, Diana masih belum datang.
Hari sudah semakin malam. Ini jam sembilan tepat. Lia tidak tahu harus menunggu sampai kapan lagi. Dia mencoba menghubungi Diana sejak tadi tapi tidak kunjung diangkat.
Saat dia mengirim pesan, hanya dibalas katanya sedang dalam perjalanan. Masalahnya ini sudah satu setengah jam sejak Diana berkata masih dalam perjalanan. Memang gadis itu datang dari mana sampai butuh waktu berjam-jam menuju ke sini?
Jika memang lokasinya tidak memungkinkan, harusnya Diana menyuruhnya bertemu di tempat lain saja. Atau jika memang tidak bisa bertemu maka tidak usah sekalian saja.
Lia sudah hampir pergi saat Diana akhirnya datang juga.
Gadis itu muncul di pintu dengan terburu-buru. Tetapi begitu sadar ada banyak orang yang memperhatikan, dia segera berjalan dengan lebih pelan sambil membalas sapaan orang-orang.
Lia ingin marah karena harusnya Diana memprioritaskan orang yang sudah menunggunya sejak tadi. Bukannya malah berjalan seperti model sambil tebar pesona.
"Maafkan aku, tadi aku harus menyelesaikan syuting lebih dulu," ujar Diana begitu duduk di hadapan Lia.
"Harusnya kau mengabariku kalau syutingnya selesai lebih lama," ujar Lia berusaha terdengar normal. Dia tidak ingin Diana tahu dia sedang marah padanya. Walau bagaimana pun juga dia datang di sini untuk meminta tolong. Jadi dia harus menjaga sikap.
"Sebenarnya syutingnya tidak lama. Tapi ada penggemar yang sangat menyukaiku. Jadi aku menghabiskan beberapa waktu untuk mengobrol dengan mereka dulu."
Lia masih bisa menoleransi jika Diana terlambat karena pekerjaan. Tetapi dia terlambat karena mengobrol dengan penggemar? Yang benar saja!
Lia tahu Diana bukan tipe orang yang suka berinteraksi langsung dengan penggemar. Jadi semua yang Diana lakukan seakan sengaja untuk membuat Lia terpaksa menunggu lama.