Tangisan sang ibu terdengar samar-samar.
Tadinya Lia berniat kembali ke kontrakan setelah makan malam. Tetapi dengan kejadian yang mengejutkan itu, dia pun memutuskan untuk menginap semalam di sana.
Dia bisa mendengar tangisan ibunya karena kamar mereka berhadapan. Lia sengaja membuka sedikit pintunya untuk mendengar itu.
Namun saat tangisan ibunya semakin terdengar pilu, dia pun menghampiri perempuan itu dan memberikan pelukan dengan erat.
"Lia …," ibunya terisak, "Bagaimana ini? Di mana kita bisa menemukan uang sebanyak itu? Ayahmu— Sebenarnya apa yang ayahmu lakukan di belakang kita?"
"Sabar, Bu. Sabar. Pasti nanti ada jalan."
Lia tidak yakin kalau mereka akan menemukan jalan keluar dari masalah tersebut. Tetapi dia tetap mengatakannya demi membuat sang ibu tenang.
Perempuan yang melahirkannya itu tidak bisa berhenti menangis. Lia bisa merasakan basah di bahunya, yang mana itu adalah air mata yang ibu yang sedang dia peluk.
"Pantas saja dia menghilang tiga hari ini. Ternyata dia punya tagihan hutang yang menggunung." Tangis perempuan itu kembali pecah setelah menyumpahi suaminya.
Sosok yang seharusnya mengayomi keluarga malah membawa beban luar biasa besar setelah menghilang tanpa kabar. Wajah jika perempuan itu terus menyumpahi suaminya di sela-sela tangis.
Lia bisa memaklumi ibunya. Mereka hidup dalam keluarga yang pas-pasan. Jika mendadak harus membayar hutang sebanyak itu, tentu saja mereka tidak tahu harus mencari uang di mana.
Mereka berdua memang sama-sama memiliki pekerjaan. Tapi ibunya hanya penjual gorengan yang penghasilannya hanya cukup untuk biaya bulanan kehidupan rumah tangganya.
Sementara Lia masih belum memiliki karir yang stabil. Bahkan dia sering berbulan-bulan tidak mendapatkan job apa pun. Beruntung dia berada di agensi yang besar, sehingga dia masih bisa bertahan meski sama sekali tidak terkenal.
"Apa yang harus kita lakukan, Lia?"
Perempuan itu tidak bisa tenang. Kegelisahan dalam dirinya sudah menjadi-jadi. Memikirkan apa saja yang bisa terjadi pada hidupnya akibat hutang itu.
"Kita tunggu ayah pulang, Bu. Kita tanyakan padanya apa yang sudah dia lakukan dengan semua uang itu," Lia berujar menenangkan.
Tetapi itu tidak berguna. Sang ibu sadar mereka tidak akan bisa menghadapi keadaan tersebut dengan mudah.
"Kalau pun ayahmu pulang, dia pasti juga kebingungan mencari uang untuk membayar hutangnya."
"Bisa saja ayah hanya sedang pergi sebentar. Bisa saja nanti ayah sudah menemukan uang untuk membayar hutangnya sendiri."
Lia mencoba tetap optimis. Meski dalam hati dia setuju dengan ucapan ibunya. Tapi dia berpura-pura optimis demi menghibur sang ibu yang sudah sangat kehilangan harapan.
"Dia tidak akan minggat dari rumah kalau bisa membayar hutangnya," sang ibu terus saja mengeluh. Tangisnya juga tidak berkesudahan. Terus mengalir dan membasahi baju anaknya sendiri.
"Lia, kita harus bagaimana? Mereka pasti akan menyita rumah ini kalau kita tidak bisa membayar."
Lia juga tidak tahu harus bagaimana.
Mungkin jika dia bisa sukses seperti Diana, dia akan bisa mengatasi masalah ini dengan mudah.
***
Esoknya Lia berangkat bekerja. Kebetulan hanya ada satu jadwal saja hari itu. Yaitu syuting sebagai tokoh pembantu di sebuah film independen.
Lia tidak tidak puas dengan hal itu. Dia ingin lebih terkenal supaya bisa lebih banyak mendapat tawaran peran.
Tetapi di sisi lain dia juga bersyukur dengan pekerjaan yang dia dapat saat ini. Dia bertekad untuk terus bekerja keras supaya suatu hari bisa mendapatkan yang terbaik dalam karirnya.
"Loh? Kenapa ke agensi lagi?" tanya Lia.
Begitu pekerjaannya selesai managernya malah mengarahkan mobil ke gedung agensi lagi. Padahal dia sudah tidak memiliki jadwal apa pun. Biasanya dia akan langsung diantar pulang ke kontrakan.
Perempuan berambut sebahu itu menjawab dari balik kemudi, "Pak Bagas ingin kau menemuinya."
Lia mendelik. "Yang benar?"
Kemarin dia sudah meninggalkan ruangan Bagas dengan tidak sopan. Lia mendadak panik. Khawatir jika dia akan dimarahi atas tindakannya kemarin itu.
"Ayo turun," suruh managernya begitu selesai memarkir mobil.
Dengan kaki gemetar dia melangkah keluar. Dia tidak bisa tenang saat berada di elevator. Terlebih managernya turun di lantai berbeda untuk mengurus pekerjaan yang lain.
Sementara dia masih harus naik sampai lantai paling atas, di mana ruangan Bagas berada.
Bagi Lia, ini jauh lebih menegangkan dari pada menonton film horor malam Jumat sendirian.
"Oh, kau sudah datang," Bagas berbasa-basi begitu Lia memasuki ruangannya. "Duduklah."
Lia pun duduk di sofa panjang. Sementara Bagas sudah duduk bersandar dengan kaki menyilang di sofa tunggal. Dia tampak santai dan nyaman dalam duduknya. Tetapi juga mengintimidasi di saat bersamaan.
Lia meneguk ludah gugup. "Ada perlu apa anda memanggil saya, Pak?"
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf soal kemarin," ujar Bagas tanpa disangka.
Lelaki yang kemarin dengan agresif memaksanya setuju membuat skandal, sekarang justru meminta maaf dengan enteng. Hal itu berhasil membuat Lia kebingungan.
"Maaf untuk apa kalau boleh tahu?"
Sekali pun sudah jelas, tapi Lia masih belum percaya bosnya meminta maaf atas perlakuannya kemarin. Bagas terkenal sebagai sosok yang kejam masalah bisnis. Dia tidak akan menunduk meminta maaf dengan mudah.
Bagas memperbaiki duduk. Sekarang posisinya persis seperti orang yang ingin meminta maaf. "Kemarin aku sudah keterlaluan. Tidak seharusnya aku memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan."
"Ahh …, begitu, ya?" Lia berkedip, tidak tahu harus merespon apa.
"Kalau kau tidak ingin mengotori namamu, harusnya aku menghormati keputusan itu. Maafkan aku yang malah memaksa agar kau mau turut serta membuat skandal hanya demi popularitas."
Lia kembali berkedip. Sungguh tidak tahu harus berkata apa.
Bos yang kemarin mencengkeram rahangnya tanpa ampun, sekarang sosok yang sama sedang duduk dan mengakui kesalahan. Dia meminta maaf pada Lia secara langsung.
"Sekali lagi aku meminta maaf atas sikap keterlaluanku kemarin." Bagas menunduk untuk menekankan permintaan maafnya pada Lia.
Lia yang melihat itu pun langsung panik. "Tidak, tidak. Tidak perlu begitu."
Mendengar kabar Bagas tidak pernah menunduk pada sembarang orang, Lia menjadi gugup karena laki-laki itu menunduk di hadapannya.
Lia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Mendadak dia merasa canggung saat Bagas kembali duduk tegak dan melemparkan senyum sopan pada gadis itu.
Mengingat bagaimana kemarin mereka bertengkar gila-gilaan, suasana seperti ini terasa aneh karena terlalu berbanding terbalik. Lia merasa sangat canggung dan ingin menghilang dari tempat itu secepatnya.
"Karena kau lebih mementingkan menjaga 'nama baik', aku tidak akan memaksamu melibatkan diri dalam skandal hanya demi popularitas saja. Aku akan menghargai keputusanmu ke depannya."
Bagas melanjutkan, "Tapi ingat satu hal ini, Lia. Kami tidak bisa memperpanjang kontrak dengan artis yang tidak membawa profit apa pun pada perusahaan kami."
Lia tersentak. "Apa maksudnya?"
Bagas tersenyum polos seakan tidak melakukan apa pun. "Kami tidak akan memperbarui kontrak denganmu tahun depan."