"Nem, barang datang!" teriak seorang lelaki berbadan kurus tinggi dengan suara keras.
"Siap!" sahut Sarinem cepat, lalu bergegas lari setelah membayar minumannya.
Sarinem, gadis cantik berusia delapan belas tahun yang rela bekerja sebagai kuli panggul di pasar, demi memenuhi biaya hidup keluarganya.
"Nem, sini!" panggil Gandi, anak juragan beras yang sering memakai jasa Sarinem.
"Ya Bos?" Sarinem menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan mendekati Gandi.
"Kamu ini cantik, kok mau-maunya kerja begini?" ucap Gandi dengan serius.
"Yang penting dapat uang halal Bos!" sahut Sarinem pelan dan santai.
Bukan pertama kali Sarinem mendapat pertanyaan seperti ini, puluhan bahkan ratusan kali, dan Sarinem menjawabnya dengan kalimat yang sama.
Plak!
Tanpa disangka, sebuah tamparan hinggap di pipi kanan Sarinem, yang tentu saja membuat Gandi dan Sarinem kaget.
"Melan! Apa-apaan kamu!" hardik Gandi sambil melotot ke arah Melan, adik perempuan satu-satunya, kemudian tatapannya beralih ke arah Sarinem yang sedang mengusap pipinya yang memerah bekas tamparan tadi.
"Salah saya apa to Mbak, kok main tampar?" tanya Sarinem dengan tatapan tajam.
"Masih tanya salahmu apa? Kamu sengaja kan dekati abangku? Mau moroti uang abangku?" cecar Melan dengan ucapan pedasnya, matanya melotot seolah menantang Sarinem.
"Dasar gembel miskin, nggak tahu diri!" Melan menyambung ucapannya lagi dengan cacian hinaan, dan itu sama sekali tak membuat Sarinem tersinggung atau sakit hati.
"Sudah Mbak? Kalau sudah saya permisi!" ucap Sarinem dengan santai dan bergegas pergi sambil melirik ke arah Gandi yang tampak memerah wajahnya.
"Heh, gembel!" Melan menarik kaos lusuh Sarinem, tapi dengan cepat dilepaskannya, seolah jijik dengan apa yang baru saja dipegangnya.
"Melan! Hentikan!" bentak Gandi yang sudah hilang rasa sabarnya.
"Demi si miskin itu Abang bentak aku, aku ini adikmu!" Melan menjerit marah.
"Aku nggak sudi punya adik sombong sepertimu, cih!" Gandi mencebik kesal, kemudian beranjak keluar mengejar Sarinem.
"Nem, tunggu Nem!" seru Gandi memanggil Sarinem yang berjalan laju.
Sarinem memperlambat langkahnya, kemudian menoleh dan berhenti menunggu Gandi mendekatinya.
"Ada apa lagi to Bos?" tanya Sarinem pelan, jantungnya berdesir kencang saat Gandi berada tepat di depannya.
"Sadar Nem, sadar ... Tahu diri, dia siapa, kamu siapa," ucap batin Sarinem.
"Maafkan Melan," ucap Gandi sambil menatap mata bening Sarinem.
"Nggak apa-apa Bos, sudah biasa itu," jawab Sarinem sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Gandi salah tingkah melihat Sarinem yang acuh tak acuh menanggapi ucapannya.
"Oohhh, begini ya Mas kelakuanmu? Capek-capek aku datang dari jauh, kamu enak-enakan di sini dengan gembel miskin ini!" cecar seorang wanita muda yang tiba-tiba datang dan menarik tangan Gandi.
"Tiara! Apa-apaan ini?" Gandi menyentak tangan wanita yang bernama Tiara itu dengan kasar.
"Mas!"
"Kamu bentak aku karena dia?" tanya Tiara keras sambil menuding Sarinem.
"Awwhhh, aduh!" pekik Sarinem saat Tiara dengan tiba-tiba menarik topi dan menjambak rambut panjangnya.
"Tiara! Lepaskan!" Gandi menarik Tiara yang sedang kalap menyerang Sarinem. Gadis berambut panjang hitam itu segera menjauh dari Tiara.
Hanya beberapa saat saja, di sekeliling mereka sudah banyak orang berkerumun menyaksikan aksi Tiara yang brutal.
"Owalah Nem, nasibmu kok apes terus, di mana-mana selalu saja disakiti," celetuk wanita pemilik warung kecil di pinggir jalan itu.
"Ada apa to Mbak, datang-datang kok marah-marah nggak jelas!" cetus Sarinem sambil mengibaskan rambutnya yang hitam dan panjang.
Gandi terpana melihat Sarinem dalam keadaan seperti itu, selama hampir tiga tahun kenal Sarinem, baru pertama kali Gandi melihat rambut indah Sarinem, karena selama ini Sarinem selalu menutup rambutnya dengan topi.
"Mas, kok malah bengong, itu istrinya kabur!" celetuk seorang lelaki dengan suara keras.
Gandi tersentak saat ada seorang lelaki menepuk pundaknya, dia gugup dan bingung saat Tiara tak ada lagi di dekatnya.
"Itu bukan istri saya Mas," ucap Gandi ketus, setelah itu bergegas mengejar Tiara.
"Masih muda kok jadi pelakor!" celetuk seorang wanita yang berdiri tak jauh dari Sarinem.
"Jangan main tuduh Mbak, kami tahu Sarinem nggak seperti itu!" sahut wanita pemilik warung tadi dengan nada kesal.
"S a r i n e m? Ha ha ha!" wanita tadi mengeja nama Sarinem kemudian tertawa terbahak-bahak, yang di sahut oleh seorang lagi yang berdiri di sebelahnya.
"Jaman sekarang masih ada nama seperti itu, kasihan kamu Mbak!" celetuk wanita tadi sambil terus tertawa.
"Nem, kok kamu diam saja to dihina-hina gitu, mbok sekali-kali ngelawan gitu lho!" tukas wanita pemilik warung dengan kesal, dia merasa tak terima Sarinem dihina dan ditertawakan.
"Biar saja to Mak Yan, mulut ya mulut mereka, yang penting nggak menyakiti tubuh saya, saya nggak apa-apa," sahut Sarinem pelan dan santai pemilik warung yang dipanggil Mak Yan itu hanya mendengus kesal.
Sarinem menatap tajam ke arah dua wanita yang masih mentertawakannya, sesekali mereka berbisik sambil melihat ke arah Sarinem.
"Pulang dulu Mak Yan," ucap Sarinem sambil terus menatap ke arah dua wanita tadi.
"Yo, hati-hati," sahut Mak Yan singkat.
"Eh, Nem nitip ini tolong kasihkan Putri, katanya mau beli pulsa listrik tadi!" seru Mak Yan sambil menyerahkan dua lembar uang biru.
Sarinem menerima uang tersebut lalu memasukkan ke dalam saku celananya.
"Semoga kuat kamu Nem," ucap Mak Yan dalam hati. Mak Yan adalah tetangga dekat Sarinem yang sangat menyayangi Sarinem seperti anak kandungnya sendiri.
Dengan langkah santai Sarinem berjalan menuju rumahnya yang berada di belakang pasar. Hanya memakan waktu lima belas menit Sarinem sudah sampai ke rumahnya.
"Nih, yang ditunggu baru pulang, keluyuran ke mana saja kamu!" celetuk Tanti, ibu Sarinem.
"Maaf Bu, banyak kerjaan tadi," sahut Sarinem pelan sambil menarik kursi plastik untuk duduk.
"Eh ... Eh, mau ngapain kamu? Itu cucian numpuk siapa yang mau nyuci?" hardik Tanti saat Sarinem baru saja mau meletakkan bobotnya untuk istirahat.
"Aku capek Bu, mau istirahat dulu," sahut Sarinem pelan.
"Istirahat? Memangnya kamu habis kerja apa? Kami dari tadi lapar tahu nggak?" cecar Wanda, adik Sarinem satu-satunya yang baru saja keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan.
"Kenapa nggak masak Dek? Kan tadi pagi aku sudah belanja, kamu tinggal masak buat makan Ibu dan Bapak," tukas Sarinem sambil mengalihkan pandangannya ke meja dapur, di mana tadi pagi dia meletakkan barang belanjaannya. Dua kantong plastik kresek yang diletakkan tadi pagi belum berubah posisinya.
"Berani-beraninya kamu nyuruh Wanda masak? Memang dia pembantumu?"
Sarinem hanya diam mendengar ucapan Tanti, dia sudah biasa dengan ucapan pedas dan caci-maki dari keluarganya.
"Kamu nyuruh aku masak? Enak saja!" bentak Wanda, matanya melotot lebar.
Sarinem bergegas mengambil dua kantong plastik kresek yang berisi bahan sayuran dan bahan lauk lainnya.
Dengan menahan sesak di dada, Sarinem menyiangi ikan yang sudah tak segar lagi.
"Hoeekkk! Kamu pikir kami ini kucing? Tiap hari dikasih makan ikan busuk, kucing juga belum tentu mau makan!" cecar Tanti saat mencium aroma tak enak dari ikan yang disiangi Sarinem.
"Ikan ini nggak busuk Bu, tadi belinya masih segar, coba tadi Ibu langsung goreng atau simpan di kulkas, tentu ..."
"Berani kamu nyalahin ibumu?" Tanti memotong kalimat Sarinem sambil menjambak rambut panjangnya.
"Auwwh, sakit Bu!" jerit Sarinem sambil berusaha menarik rambutnya dari cengkeraman tangan Tanti.
"Toloong!"