"Pak Tedi...Bu Tanti!
"Sepertinya suara si unyil Ketut itu Bu, ada apa ya?" tanya Tedi sambil menatap istrinya.
"Ibu mana tahu Pak," jawab Tanti ketus, dia masih berada di westafel untuk berkumur-kubur mengeluarkan sisa-sisa rasa dari masakannya tadi.
"Perasaan bumbunya pas, tapi kok rasanya begini sih?" Tanti bertanya dalam hati, dia tak sadar saat masak tadi tanpa sengaja memasukkan terasi bubuk yang disangkanya gula merah halus.
Tedi berjalan tergesa-gesa menemui bocah bertubuh kecil yang bernama Ketut itu dengan mata melotot.
"Heh, si unyil...jangan berisik! Kebiasaan kamu ya, selalu bikin ribut di rumah orang, awas nanti tak bilangin bapakmu!" Tedi menghardik Ketut yang berada di halaman rumahnya, wajah bocah yang dipanggil si unyil itu tampak panik, nafasnya terengah-engah.
"Jangan galak-galak kenapa sih Pak? Orang datang baik-baik..."
"Baik-baik apanya? Berisik gitu!" Tedi menyerobot ucapan Ketut dengan mata melotot sambil berkacak pinggang.
"Pulang sana!" Tedi menghardik sambil menggerakkan tangannya seperti sedang menghalau ayam.
Melihat wajah Tedi yang tampak merah padam, Ketut membalikkan badannya.
"Mbak Wanda pingsan di warung Bu Lilis!" Setelah mengucapkan kalimat itu bocah berusia 10 tahun itu lari tunggang langgang mengabaikan Tedi yang berteriak memanggilnya.
Bu Lilis adalah tetangga Tanti yang mempunyai warung soto yang lumayan laris karena tak ada saingannya.
"Bu ... Bu!" dengan suara panik Tedi memanggil Tanti yang sedang mencuci ayam yang sudah dimasaknya tadi.
Karena tak ada sahutan, dengan kesal Tedi bergegas masuk menemui istrinya.
"Bu! Nggak punya telinga..."
"Bapak kenapa sih? Nggak lihat orang lagi sibuk?" serobot Tanti sambil memasukkan ayam yang sudah bersih dari bumbunya tadi dan memasukkan ke dalam panci kecil dan bersiap untuk memasaknya lagi.
"Wanda pingsan!" Tedi berkata dengan suara keras, dan tanpa menunggu istrinya lelaki berbadan tinggi besar itu berlari keluar dari rumahnya.
"Hah! Wanda...?" Tanti berseru kaget.
Suasana di warung Bu Lilis sangat ramai, banyak orang berkerumun di halaman warung yang lumayan luasnya itu.
Tedi dan Tanti yang baru datang langsung menyibak kerumunan orang yang kebanyakan kaum wanita itu.
Tanti menjerit histeris saat melihat putri kesayangannya terbaring di atas bangku kayu panjang dengan mata terpejam.
"Sabar Bu Tanti, Wanda cuma pingsan saja, nggak usah jejeritan begitu!" celetuk Bu Uni yang masih kesal dengan Tedi, karena hutang di warungnya tak juga dibayar.
Tanti menoleh ke arah Bu Uni yang sedang berdiri sambil bersedekap tangan di antara kerumunan ibu-ibu yang rata-rata adalah tetangga dekatnya.
"Bu Uni, makanya punya anak dong, biar bisa ngerasain gimana rasanya kalau lihat anaknya seperti ini!" balas Tanti dengan tatapan sengit ke arah Bu Uni.
Bu Uni berusia tiga puluh delapan tahun, seusia dengan Tanti. Sejak berusia dua puluh tahun Bu Uni pergi merantau ke luar negeri menjadi TKW, dan baru pulang sekitar empat tahun yang lalu.
Beberapa bulan berada di kampungnya Bu Uni menikah, dan di usia ketiga tahun pernikahannya Bu Uni hamil tiga bulan, dan banyak tetangga yang belum tahu akan kehamilan Bu Uni.
"Punya anak juga percuma kalau nggak diurus!" timpal Rosa, keponakan Bu Uni dengan sinis.
"Heh, kamu anak kecil nggak usah ikut campur!" Tanti menghardik Rosa dengan mata beringas.
"Ibu kok malah ribut! Urus itu anaknya!" Tedi menghardik Tanti sambil membawa teh hangat dari warung Bu Lilis.
Tanti mendengus kesal, pandangannya beralih lagi ke arah Wanda yang masih sama keadaannya.
Sebenarnya Wanda sudah sadar, namun gadis berusia tujuh belas tahun itu enggan membuka matanya karena malu terhadap para warga yang mengerumuninya.
"Belum sadar juga Bu?" tanya Bu Lilis yang tiba-tiba menyeruak di kerumunan warga dan berdiri tepat di depan Tanti.
"Memangnya mata Bu Lilis nggak bisa lihat? Orang jelas-jelas masih merem gitu kok masih tanya sudah sadar atau belum!" Tanti menyahut dengan sewot sambil mengipasi wajah Wanda dengan potongan kardus.
Mendengar ucapan pedas Tanti, Bu Lilis mendengus kesal, wanita paruh baya itu sebenarnya tahu Wanda hanya pura-pura pingsan.
"Mungkin dengan cara seperti ini anak kesayangan Bu Tanti bisa cepat sadar," ucap Bu Lilis sambil menundukkan badannya.
"Lho... lho...mau diapain anak saya Bu? Jangan sembarangan ya!" Tanti menjerit saat melihat Bu Lilis mengoleskan sesuatu di bawah hidung Wanda.
"Bu Tanti ini gimana sih, orang ditolong biar anaknya cepat sadar malah teriak-teriak nggak jelas!" cecar Rosa yang masih merasa kesal terhadap Tanti karena ucapannya yang menghina tantenya tadi.
Bu Uni adalah adik kandung dari ibunya Rosa, karena suami Bu Uni jarang pulang, atas inisiatif sendiri Rosa tinggal di rumah Bu Uni untuk menemaninya.
Tanti tak bisa mencegah gerakan tangan Bu Lilis yang mengoleskan balsem yang terkenal panasnya itu di bawah hidung Wanda.
"Aduuuh...panas...panas!" dengan spontan Wanda bangun sambil mengusap-usap kasar bagian bawah hidungnya.
"Ibuu, panas Buuu!" Wanda menjerit karena wajahnya semakin terasa panas akibat usapan tangannya tadi membuat balsem yang melekat di bawah hidungnya semakin merata.
"Pak, ambil air Paaak, jangan bengong saja, lihat ini anaknya kepanasan," jerit Tanti, tanpa berpikir panjang lagi gelas yang berisi teh hangat tadi di ambilnya untuk mencuci wajah Wanda.
"Ini Bu, cuci yang bersih biar panasnya berkurang," ucap Bu Rini, tetangga dekat Tanti yang merasa kasihan melihat Wanda dan Tanti.
Tanti menerima botol besar air mineral dari Bu Rini itu dengan wajah masam. Bu Rini hanya menghela nafas dengan pelan, namun wanita bermata teduh itu tetap tersenyum dan menolong Wanda untuk mencuci wajahnya.
"Nah, sekarang bilang sama ibumu, apa saja yang kamu makan tadi!" ucap Bu Lilis tegas sambil bersedekap tangan di depan Wanda. Matanya yang besar menatap Wanda dan Tanti secara bergantian.
Tanti menatap Bu Lilis dengan tatapan bengis, dia tak terima anaknya diperlakukan seperti itu. Sementara Tedi dari jauh hanya memperhatikan, lelaki itu sudah tahu cerita sebenarnya yang menyebabkan Wanda pingsan dari Rosa.
"Bu Lilis apa-apaan sih, anak saya kan baru saja sadar dari pingsannya, kok langsung dimarahi?" celetuk Tanti dengan kesal.
"Lho, saya nggak marah Bu, saya cuma menyuruh anak Ibu ini jujur dan tanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan!" Bu Lilis tak mau kalah menyahut ucapan Tanti.
"Makanya Bu, punya anak itu dididik dan diajari sopan! Dan yang paling penting, dikasih makan!" celetuk Rosa dengan sinis, dia tak peduli cubitan tangan Bu Uni yang mendarat di pinggangnya.
"Ssst, Rosa! Nggak usah ikut campur, itu urusan mereka!" Bu Uni berbisik di telinga Rosa.
"Biar saja Tan, kesal aku kalau ingat kata-katanya tadi, Tante sih, nggak mau bilang kalau sedang hamil, jadi dihina-hina gitu kan?" celetuk Rosa kesal.
"Heh Rosa! Kamu anak kecil tahu apa? Wanda tiap hari makan enak, nggak seperti..."
"Buktinya, Wanda nyolong di warung Bu Lilis!"