Chereads / SARINEM UPIK ABU JADI SULTAN / Chapter 3 - Uang Sarinem

Chapter 3 - Uang Sarinem

"Uang? Sebanyak ini? Dari mana Nem?" Vina bertanya tanpa jeda.

"Itu uang simpananku Vin, bertahun-tahun aku simpan untuk menebus sertifikat rumah nenekku yang dipegang Om Topo," sahut Sarinem pelan.

"Kenapa kamu nggak simpan di bank saja, lebih aman!" saran

Vina. Sarinem terpaku sesaat setelah mendengar saran sahabat baiknya.

"Besok bisa antar Vin?" tanya Sarinem.

"Siap!" sahut Vina cepat.

"Eh Nem, kenapa kamu nggak cari kerjaan lain saja?" tanya Vina kemudian.

"Lulusan SMP sepertiku bisa kerja apa Vin?" jawab Sarinem pelan.

"Kamu kan pinter nulis, kenapa nggak coba-coba nulis di aplikasi, hasilnya lumayan lho," ucap Vina lagi, sebagai sahabat, Vina merasa kasihan dan prihatin dengan kehidupan Sarinem yang menurutnya sangat susah.

"Nulis? Jadi penulis gitu? Ah, mimpi saja nggak berani aku Vin!" celetuk Sarinem sambil terkekeh geli.

"Kamu ini belum nyoba udah nyerah, nih lihat!" ucap Vina sambil menunjukkan ponselnya. Mata Sarinem terbeliak saat melihat judul-judul novel di salah satu aplikasi.

"Dengan kepintaranmu, kamu bisa dapat uang banyak dari sini!" ucap Vina terus memberi semangat sahabatnya.

"Nggak yakin aku Vin!" ucap Sarinem, dalam hatinya memberontak ingin mencurahkan kata hatinya dalam tulisan.

"Tapi harus punya hape ya Vin?" tanya Sarinem lagi yang ternyata mulai tertarik dengan saran Vina. Vina tahu, Sarinem sangat pintar merangkai kata dan kalimat, dan dia yakin Sarinem bisa sukses dengan bakat yang dimilikinya.

"Kamu kenapa bingung? Uangmu banyak, tinggal beli saja!" tukas Vina mulai kesal.

"Tapii..."

"Tapi apa sih Nem? Aku ngasih saran ini demi kebaikanmu, aku kasihan kamu yang tiap hari mendapat perlakuan keji dari keluaragamu, padahal kamu tiap hari memeras keringat untuk keluargamu, aku mau kamu keluar dari kesusahanmu!" ucap Vina dengan tegas.

"Aku mau kamu bangkit Nem, jangan mau ditindas, walaupun mereka keluargamu, kamu harus berani melawan kalau mereka salah!" ucap Vina dengan nafas memburu karena menahan marah.

"Kalau memang kamu mau terus hidup susah, ya sudah, itu terserah kamu, toh kamu yang menjalani!" ucap Vina lagi, tampak kekesalan di wajahnya yang lembut dan teduh.

"Bukan itu maksudku Vin, aku mau nyoba, masalahnya kalau aku punya hape pasti orang tuaku marah dan bisa-bisa dirampasnya nanti."

"Kamu pintar tapi kadang oon juga ya Nem!" ucap Vina kesal. Sarinem menatapnya dengan raut wajah bingung.

"Maksudmu?" tanya Sarinem penasaran.

"Cari akal gimana caranya supaya keluargamu nggak tahu!" sahut Vina masih dengan nada kesal.

Dengan bantuan Vina, Sarinem berhasil membuka rekening dan membeli sebuah ponsel.

Atas saran Vina juga, Sarinem menitipkan ponsel tersebut di rumah Vina, dan Sarinem setiap hari menyempatkan diri ke rumah Vina setelah pulang dari pasar.

Sebulan sudah Sarinem mencoba nasibnya dengan menulis di sebuah aplikasi novel online. Dan karya Sarinem ternyata banyak yang membaca dan menyukainya.

"Wih, keren kamu Nem, baru sebulan karyamu melejit, siap-siap jadi milyuner kamu!" seru Vina sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Rasanya seperti mimpi aku Vin," ucap Sarinem sambil menatap layar ponselnya.

Sementara Sarinem bersuka cita dengan apa yang diperolehnya, di rumahnya Wanda dan Tanti serta Tedi sedang risau dan gelisah karena menunggu Sarinem tak kunjung pulang.

"Aku lapar Bu, mana sih Inem nggak pulang-pulang!" keluh Wanda sambil memegangi perutnya.

"Bikinkan kopi Bu!" titah Tedi keras.

"Duh, aduuuh, pusiing aku, yang satu minta makan, satunya lagi minta kopi!" keluh Tanti sambil menuang air galon ke dalam ceret kecil.

"Tugas istri ya melayani suami, cuma bikin kopi saja ngeluh!" bentak Tedi sambil melotot.

"Anakmu yang satu belum pulang juga?" tanya Tedi, wajahnya tegang karena menahan emosi.

"Nggak tahu tuh si Inem, pasti keluyuran lagi, mbok dicari to Pak, hajar saja kalau ketemu!" ucap Tanti sambil menyendok gula.

"Kalau dihajar terus sakit, nanti siapa yang nyari duit?" sahut Tedi.

"Assallamualaikum!"

"Akhirnya pulang juga kamu! Dasar anak nggak tahu di untung! Kerjanya keluyuran, nggak mikir yang di rumah kelaparan!"

Ucapan salam Sarinem di jawab dengan makian dan umpatan dari mulutTanti , sambil menatap anak sulungnya itu dengan tatapan nyalang.

Sarinem tak menanggapinya, dengan tenang dia meletakkan tiga kantong plastik besar ke lantai.

"Saya nggak keluyuran Bu, saya bekerja keras cari uang, biar kita nggak kelaparan!" ucap Sarinem sambil mencuci tangannya di westafel.

"Ya udah, buruan masak, kami lapar! Apa lagi adikmu itu, dari semalam nggak mau makan karena cuma ada telor dan tahu!" bentak Tanti sambil melenggang pergi.

"Maaf Bu, saya harus kerja lagi," ucap Sarinem datar sambil menuang air minum.

"Pokoknya sebelum pergi masak dulu, kamu mau si Wanda itu sakit karena kelaparan?" bentak Tanti keras, lalu mendekat ke arah Sarinem.

Sarinem yang sadar gelagat Tanti akan menyakiti dirinya segera menjauh dari jangkauan tangan ibunya.

Tedi yang sedari tadi hanya melihat, beranjak mendekat setelah menghabiskan kopinya.

"Kenapa ribut?" tanya Tedi sambil menatap Tanti dan Sarinem secara bergantian.

"Masih tanya lagi! Suruh anakmu itu masak sebelum pergi!" jawab Tanti keras.

"Nem! Cepat masak, kamu dengar?" titah Tedi keras.

Sarinem menatap Tedi dan Tanti, kalau dulu dia selalu patuh dan tak pernah membantah karena mereka adalah orang tua kandungnya, tapi kali ini Sarinem tak akan diam karena merasa diperlakukan tak adil.

"Pak, saya masih banyak kerjaan di pasar, saya sengaja pulang tadi hanya untuk mengantarkan belanjaan, karena saya khawatir kalian nggak ada lauk untuk makan hari ini."

"Ya sudah, jangan banyak omong lagi, masak sekarang!" hardik Tanti sengit.

"Bu, maaf ... Saya nggak bisa menuruti perintah ibu kali ini, suruh Wanda masak, dia bukan ratu atau permaisuri yang harus dilayani," sahut Sarinem sambil menatap Tanti dan kemudian melirik Wanda yang duduk di kursi plastik.

Mendengar ucapan Sarinem, Tanti naik pitam dan hendak menyerang anak sulungnya itu, tapi langsung dicegah oleh Tedi.

"Bapak! Kenapa sih malah bela si udik?" seru Wanda yang langsung bangkit saat melihat Tedi menghalangi tindakan Tanti.

"Aku lapar! Lapar! Dengar nggak?" teriak Wanda sambil menghentakkan kakinya.

Sarinem geram melihat kelakuan Wanda, ditahannya emosi yang hampir meluap. Bergegas dia mengangkat tiga kantong plastik yang tadi dibawanya.

"Nih, di sini ada ayam, ikan dan lain-lain, kalian tinggal masak dan menikmatinya, nggak perlu mikir dan memeras keringat untuk dapat membelinya!" ucap Sarinem sambil menuang semua isi plastik itu ke meja.

"Nem, berani kamu ...?" Tanti membeliakkan matanya.

Tok tok tok!

Mereka terdiam dan saling pandang saat mendengar suara ketukan pintu.

"Permisi Bu, benar ini rumah Bu Tanti Badriyah?" tanya seorang lelaki dengan sopan.

"Ya, saya Tanti," jawab Tanti singkat, matanya tak lepas dari pick up yang bermuatan sebuah mesin cuci besar.

"Tolong tanda tangan ini Bu?" ucap lelaki itu sambil menyodorkan kertas dan sebuah pulpen.

"Ini apa?" tanya Tanti bingung.

"Tanda terima atas pesanan mesin cuci itu," jawab lelaki itu sambil mengarahkan dua pekerja untuk menurunkan mesin cuci tersebut.

"Mesin cuci? Saya nggak pesan Pak, sampeyan salah alamat ini!" ucap Tanti keras.

"Tapi di sini ada nama Ibu, alamatnya juga benar!" ucap lelaki itu meyakinkan Tanti.

"Waaaah, jangan-jangan kiriman dari Burhan yang masih menggilaimu Bu!" ucap Tedi yang dari tadi diam dan hanya menyimak. Rasa cemburu dan curiganya timbul kembali.

"Jangan asal bicara Pak!" sergah Tanti, dalam hatinya sangat senang mendapat kiriman barang bagus, walaupun tak tahu siapa pengirimnya.

"Siapa lagi kalau bukan cecunguk sok kaya itu!" cecar Tedi merasa yakin dugaannya benar.