"Ma, ini buket dari Pak Roger!" Derbvaro menyerahkan buket bunga yang dititipkan Pak Roger padanya itu untuk ibunya. Ibu Derbvaro dengan senang hati mengambil bunga tersebut dari Derbvaro dan menghirup aroma dari buket bunga tersebut. Derbvaro menatap ibunya sembari menaikkan sebelah keningnya.
"Ma, Mama ga ada hubungan macam-macam kan sama Pak Roger?" tanya Derbvaro lalu dia merebahkan badannya pada sofa.
"Enggak, enggak ada hubungan apa-apa, kok."
"Tapi, kenapa pakai kirim-kiriman buket bunga?"
Sejak kecil Derbvaro dibesarkan oleh ibunya. Derbvaro tidak pernah tahu siapa ayahnya. Ibu Derbvaro ditinggalkan oleh ayah Derbvaro sejak Derbvaro masih menjadi bayi. Derbvaro tidak senang jika ibunya dekat dengan laki-laki manapun, dia tidak ingin ibunya disakiti lagi oleh sosok lelaki yang tidak mengerti betapa berharganya wanita. Dia ingin selalu seperti ini, berdua saja dia rasa sudah cukup, Derbvaro akan selalu menjaga ibunya tercinta dari para lelaki yang hanya ingin mempermainkan hati ibunya.
"Sayang, Mama tahu kamu ga akan senang kalau Mama dekat sama lelaki jahat seperti ayahmu, tapi kamu tahu kan Pak Roger itu baik."
"Ma, jangan mudah percaya dengan cover dari laki-laki hidung belang. Dalam masa PDKT mereka pasti terlihat baik, tapi jika dia sudah mendapatkan apa yang mereka mau, barulah sifat bejat mereka nampak ke permukaan. Ma, Derbvaro nggak mau Mama sakit lagi karna laki-laki."
Ibu Derbvaro langsung memeluk Derbvaro, Derbvaro memang sangat menyayangi ibunya. Dia takut, dia gelisah jika ibunya mulai dekat dengan laki-laki yang emang belum dikenalnya seratus persen. Derbvaro ingin ibunya bahagia, tanpa ada lagi tangisan seperti dulu saat ibunya menceritakan kepadanya tentang ayahnya.
"Sekarang, kamu mandi. Istirahat Ya!" Ibu Derbvaro mengusap air matanya yang jatuh menganak sungai di pipinya. Derbvaro membantu ibunya mengusap air matanya.
"Sudah sana! Kamu kan harus belajar!"
"Mama jangan sedih lagi, ya! Derbvaro sayang sama Mama," lirih Derbvaro.
"Iya, Sayang. Mama sudah bahagia sama kamu, anak kebanggaan Mama."
***
Derbvaro sudah santai di kamarnya, selesai mandi dia membaringkan badannya di kasur. Membaca buku catatannya dari pelajaran yang baru saja dia pelajari di kelas waktu sekolah tadi.
Dug.. Dug.. Dug...
Suara dari dalam tasnya yang ada di atas meja. Derbvaro terenyuh. "Apaan itu?" ucapnya penasaran. Derbvro mendekat pada tasnya, perlahan menarik resleting tas dan membukanya.
"Ga ada apa-apa, cuman dua buku ini."
Hanya ada buku di dalam tasnya, "Apa iya aku salah dengar sih?" Derbvro mengorek telinganya dengan jari kelingkingnya lalu duduk pada kursi dan mengambil kedua buku tersebut dari dalam tas.
"Kotor banget nih buku." Derbvaro meniup buku usang yang dia ambil dari perpustakaan. "Uhuk.. Uhuk." Debu berterbangan menyesakkan napasnya.
"Gila, hampir sehasta nih debu. Berapa lama sih ga dibaca?" Derbvaro mencari tissue untuk mengelap buku tersebut dan memakai masker agar debunya tidak masuk ke salur pernapasannya.
Lembaran tissue sudah berhamburan di lantai, usaha Derbvaro tidak sia-sia, akhirnya buku itu telah bersih dan lebih sedap dipandang.
"Tunggu-tunggu. Ini kan angka romawi yang ada di buku punya Mr. Eyudru."
Cover buku dengan desain utama jarum jam kuno. Angka romawi yang menunjukkan angka dua belas menjadi tajuk judul dadi buku tersebut.
"Atau jangan-jangan? Haaa." Mulut Derbvaro membulat, otaknya mengerjap pada waktu google pada ruangan Mr. Eyudru menjelaskan tentang buku magic yang mana mempunyai pasangan.
"Twelve," ucapan Derbvaro kagum.
Seketika kedua buku tersebut bergetar, Derbvaro terkaget bukan main, dia menjauh memberi jarak, bersembunyi di samping ranjang kasurnya. Bergetar, dunia seakan terasa sedang terjadi gempa bumi. Derbvaro ketakutan, dia menutup kepala dan telinganga dengan tangannya. Cukup lama getaran itu baru berhenti, semakin lama semakin pelan dan akhirnya berhenti bergetar. Derbvaro membuka matanya perlahan lalu mengintip pada kedua buku yang masih ada di atas meja.
Kedua buku itu terbuka, Derbvaro perlahan melangkah mendekat kembali pada meja belajarnya yang mana di atasnya ada kedua buku yang baru saja berhenti bergetar.
Kedua buku terbuka tepat pada halaman ke dua belas, Derbvaro terkagum dan terheran-heran. Mengapa bisa? Apakah benar jikalau kekuatan magic itu memang ada di dunia nyata?
Plak...
Derbvaro memukul pipinya sendiri dengan keras. "Aww... Sakit!"
"Berarti ini bukan mimpi dong?" ucapnya sembari mengusap pipinya.
Derbvaro menarik kursi lalu duduk untuk membaca kedua bukunya. Baru saja ingin mengeja perkataan pada buku tersebut, tiba-tiba cahaya bersinar terang dari buku tersebut yang menyilaukan penglihatan Derbvaro.
"Argh, cahaya apa itu?"
Cahaya itu hanya sebentar dan lenyap seketika. Derbvaro kembali mencoba untuk membaca halaman ke dua belas tersebut.
"Cahaya tidak bisa dikatakan cahaya jika tiada kegelapan, dan kegelapan tiada bisa dikatakan gelap jika tiada cahaya." Derbvaro membaca dengan nada suara sedang.
Derbvaro kemudian ingin membaca halaman dua belas dari buku yang satunya, namun dia tercegat karna tulisan dari buku tersebut bukanlah tulisan dari bahasa yang dia ketahui.
"Ini tulisan apa?" Derbvaro menunjuk setiap tulisan yang ada pada buku itu. Lalu dia terhenti pada angka romawi yang hanya itu yang dia mengerti.
"Twelve," ucapnya.
Lagi-lagi bumi terasa bergetar dan bergoyang. Derbvaro panik dan berteriak, tapi tidak ada jawaban dari ibunya atau pun pembantu di rumahnya. Mungkinkah suara Derbvaro tidak terdengar oleh mereka atau mereka memang sedang tidak ada di rumah?
Cahaya terang melahap Derbvaro. Derbvaro terhampar di atas bebatuan besar yang mana tempatnya adalah tempat yang tidak dia kenali sama sekali. Sangat asing oleh matanya.
"Aku di mana?" tanya Derbvaro.
Suara tawa mengerikan seketika memekak gendang telinga, Derbvaro berputar menatap sekitarnya. Tidak ada orang, namun suara tawa itu masih saja memekak telinga.
"Siapa di sana?" tanya Derbvaro panik.