"Der, kamu ga tidur tadi malam?" tanya Alex yang sudah duduk di samping Derbvaro yang sedang merebahkan kepalanya pada meja. Tidak ada jawaban, dan tidak ada pergerakan untuk bangkit, hanya hentakan napas yang ditarik ulur oleh Derbvaro yang menarik turunkan bahunya. Alex menyenderkan badannya pada senderan kursi, menaikkan sebelah kakinya kanan ke atas lutut
"Aku rindu loh masa-masa kecil kita, waktu aku sering main ke rumahu buat main playstation terus belajar bareng dan kita nonton komik bareng. Oh iya, Der. Kamu ingat ga mimpi kita dulu? Iya, mimpi kita buat punya kekuatan magic kayak di film komik kesukaan kita dulu." Alex tertawa kecil sembari pikirannya melayang pada waktu beberapa tahun lalu bersama Derbvaro.
Derbvaro perlahan bangun, lirikan matanya kosong menatap Alex yang juga ikut meliriknya.
"Kekuatan magic?" Nada yang sangat datar dan pelan dari mulut Derbvaro menyapa telinga Alex samar-samar.
"Iya, magic. Andai ya sekarang kita punya kekuatan. Maka dunia akan sangat mudah kita genggam."
Derbvaro menggeleng tanpa sadar, ingatannya mengerjap pada semua hal yang baru menimpanya, dia dihantui dengan kekuatan magic yang teramat menakutkan. Memang benar dia sebelumnya sangat suka dengan magic, namun sekarang dia malah sangat tidak menginginkan mimpi itu lagi.
"Enggak, Lex. Kekuatan magic nggak se-menyenangkan itu," sergah Derbvaro dengan mata yang melotot , matanya merah, terlukis urat-urat matanya yang tajam.
Alex menaikkan sebelah keningnya, terheran-heran melihat reaksi Derbvaro yang belum pernah dilihatnya. "Apaan sih, Der? Kayak kamu pernah punya kekuatan magic aja."
"Eng-enggak. Cuman, aku pernah baca buku tentang magic."
"Buku apaan?"
"Buku... Buku, anu. Tahu ah, lupa."
Derbvaro meringkuk kedinginan dari sebaliknya selimut tebalnya. Badannya gemetar namun penuh dengan peluh dingin yang membasahi pelipis serta sekujur badannya. Napasnya terpogoh-pogoh bagai orang yang baru saja lari maraton.
Sudah beberapa hari Derbvaro begini, setelah sepulang dari dunia yang mengerikan dan membuatnya berpikir punya kekuatan supranatural pada dirinya. Tiap kali jam dinding menunjukkan pukul dua belas dini hari, saat suara bel pada jam gadang berdenting nyaring. Tubuh Derbvaro meriang, ingatannya mengerjakan serta membawanya berkelana pada dunia imajinasi yang menakutkan baginya. Tidak bisa tidur tenang, dia terjaga semalaman lantaran takut jikalau dia terlelap, mimpi mengerikan itu akan muncul kembali menghantui pikirannya. Entah mimpi yang terasa nyata atau memang itu nyata kejadiannya. Sudah empat hari ini Derbvaro datang ke sekolah dalam keadaan lesu dan mata yang merah, mengantuk di kelas tidak serius menangkap pelajaran yang diberikan gurunya.
Gedoran di atas meja membuat Derbvaro mengintip dari balik selimut tebal yang memulun seluruh badan termasuk kepalanya. Buku itu selalu saja begitu, kala jam dua belas malam tepatnya. Derbvaro takut dibuatnya, namun untuk menjerit tiada gunanya, itu hanya akan menyakiti kerongkongannya lagi dan lagi. Gedoran yang cukup lama itu akhirnya berhenti, Derbvaro memberanikan dirinya untuk memunculkan kepalanya ke permukaan, bernapas lega setelah terpulun dengan selimut tebalnya, rasa meriang perlahan berkurang.
Sudah dua hari ini buku itu tidak dijemah oleh tangannya. Derbvaro ragu untuk melanjutkan bacaannya yang telah lalu. Buku itu saja sudah dimasukkannya ke dalam peti yang dia kunci dan di letakkannya di atas meja belajarnya. Derbvaro juga tidak menjamah buku pelajarannya, biasanya itu adalah hal wajib yang dia lakukan setiap harinya.
Di lain tempat, ada Guezel yang sedang asyik membaca buku Cosmos_Carl Sagan yang merupakan buku ilmu astronomi yang banyak disenangi para pembaca yang langsung terhipnotis takjub dengan planet-planet serta misteri jagat raya.
Bola matanya searah dengan bacaannya, fokus dan sangat mendalami. Toko bukunya sudah lama tutup, Guezel sudah berada di kamarnya, dia belum bisa tidur karna kantuk belum menyapa pelupuk matanya sehingga dia memutuskan untuk membaca buku. Lembaran buku telah berlalu dibacanya, namun rasa kantuk masih saja belum menggandrongi pelupuk matanya.
Guezel bangkit dari kasurnya, dipasangnya sandal pada kedua kakinya lalu dia perlahan berjalan menuju pintu dan membukanya. Guezel pergi ke dapur yang gelap gulita, tidak lupa dia menekan tombol lampu untuk menghadirkan cahaya pada dapurnya.
"Paman, ngapain?" tanya Guezel setengah kaget saat lampu menyala dan pamannya ada di dapur sendirian.
"Tidak ada, tadi paman baru saja dari toilet," jawabnya datar.
Guezel mengangguk paham, namun kenapa harus di dalam keadaan gelap? Guezel memilih untuk tidak memikirkan hal itu, dia pun melanjutkan niat awalnya ke dapur yakni menyeduh mie instan untuk mengganjal perutnya yang sedikit lapar sehabis membaca buku. Paman mencuci tangannya pada kran tempat pencucian piring, sedangkan Guezel sibuk dengan mie instannya yang sebentar lagi masuk ke dalam panci berisi air panas yang mendidih magang di atas kompor.
"Guezel, paman ingin bertanya sesuatu." Paman memperbaiki posisi kacamatanya yang tidak berantakan.
Guezel menoleh, "Iya, Paman. Tanyakan saja!"
"Derbvaro kenapa beberapa hari ini tidak ke toko kita? Apakah kalian berdua sedang bertengkar?"
Paman sudah sangat kenal dengan Derbvaro yang selalu berkunjung ke toko bukunya, paman selalu menyebut-nyebut jikalau Derbvaro dan Guezel itu sepasang kekasih namun selalu ditangkis oleh Guezel yang menjelaskan hubungan mereka hanya sebatas teman sekelas.
"Tidak paman. Guezel juga tidak tahu Derbvaro sedang kenapa, karna beberapa hari ini di sekolah dia hanya diam di kelas dan datang pun selalu telat." Tangan Guezel sibuk mencari garpu.
"Apakah dia sakit?" tanya paman lagi.
Guezel menggeleng, "Entahlah paman. Tapi, matanya merah dan kantung matanya hitam seperti orang yang tidak tidur semalaman."
Paman terdiam beberapa detik, dia mengelap tangannya pada kain yang tergantung di dekat wastafel. "Paman mau minta tolong sama kamu, besok kalau kamu ketemu Derbvaro di sekolah, bilang ke dia buat datang ke toko kita, temui paman."