Bug! bug! bug! Seseorang meninju punggung Husein Ramadau ketika ia sedang berjalan pulang bersama dua temannya. "Aduh siapa yang pukul beta? Sakit sekali badan beta." Husein mengaduh mendapatkan pukulan dari tangan seseorang. Kedua temannya hanya tersenyum. "Husein pukulan sayang dari Yohana ha ha ha."
"Hei Yohana! jangan lari!" Husein mengejar gadis Papua itu yang baru saja memukuli bagian belakang tubuhnya. "Yohana! kenapa torang pukul Beta? Hah! kenapa? Beta tidak terima!" Husein berhasil menjejeri gadis Papua itu yang memperlihatkan mukanya yang sengit. Yohana memang gadis yang keras dan pemarah.
"Untuk apa torang bilang-bilang kalau beta tidak naik kelas hah! Beta malu torang buat!" Yohana hampir menangis, tetapi ia mengeraskan hatinya tidak akan mengeluarkan air mata. Husein membesarkan matanya, ia tak menyangka bahwa kata-kata itu disimpan oleh Yohana. Dia tidak bermaksud seperti itu. Hanya bercanda saja. Dia juga tidak naik kelas sama dengan Yohana tetapi berbesar hati dan tetap semangat.
"Oh, maafkan beta Yo, bukan bermaksud membuat torang malu, hanya..." Gadis itu tak mau mendengarkan kata-kata Husein ia mendorong teman sekelasnya itu ke pinggir dan ia berlari meninggalkan Husein yang meraba-raba kepalanya. "Ada Apa Husein? Torang terlihat sedih, dimarahi Yohana ya? Ha ha ha makanya kalau bicara itu dipikirkan terlebih dahulu, jangan asal bicara." Husein hanya menelan salivanya. "Iya beta salah bicara."
Akhirnya Yohana sampai di pelabuhan, ia memasuki sebuah cafe dan masuk kedalam. Agaknya Yohana sering dan akrab dengan tempat itu. "Lee! torang di mana?" Ia memanggil-manggil temannya. "Hello! Beta di sini? Torang su pulangkah?" Seorang gadis berkulit hitam menyembulkan kepalanya dari atas. "Torang kelihatan tidak senang ada apakah gerangan?" Jinny Lee menatapi Yohana menyelidik.
"Beta kesal sama Husein! Bikin beta malu di depan anak-anak baru." Yohana melampiaskan unek-uneknya sambil memesan minuman dan kentang goreng. "Memangnya Husein bilang apa? Bisa-bisanya si Husein begitu, yang beta tahu Husein suka sama torang, cuman torang hanya anggap Husein angin lalu."
Jinni lee pemilik cafe di pertokoan dekat pantai itu menghidangkan pesanan Yohana lantas duduk di depan temannya. Mereka sudah berteman sejak smp. Kalau Jinni lee perjalanan sekolahnya berjalan mulus tidak pernah tinggal kelas, sementara Yohana hampir setiap kelas pernah tak naik. Seharusnya dia sudah kelas tiga esema seperti Jinni Lee. Yohana memang lambat menerima pelajaran, tetapi dia bertahan berkat dorongan ayahnya.
Yohana hanya misah-misuh mendengar kata-kata Jinny Lee. "Beta tidak tertarik dengan pribumi asli Lee." Jinni Lee mendengar kata-kata itu lagi, dan mencebirkan bibirnya. "Lantas torang mau laki-laki seperti apa Yohana Haremba?" Jinny tak mengerti pikiran sahabatnya itu.
"Coba torang pikir Lee, Beta ini kulitnya sudah hitam legam, kalau beta nanti kawin sama Husein anak Beta sehitam apa? Beta saja sering diledek tidak kelihatan, hanya baju putih saja yang bergerak-gerak, kasihan anak Beta Lee." Jinni Lee terkekeh mendengar kata-kata Johana. Sampai sejauh itu pemikiran temannya yang otaknya lamban itu.
"Jadi torang mau mencari laki-laki yang berkulit putih? Biar anak torang terang?" Jenni membesarkan matanya. "Iya, beta hanya mau dengan yang berkulit putih Lee, Beta mau memperbaiki keturunan." Kata Yohana keras. Jinni Lee tak bisa berkata apa-apa lagi. Yohana bersifat keras.
"Jangan menyesal kalau Husein Rumadau berpaling pada gadis lain, torang bisa nangis darah." Jinni menakuti Yohana, tetapi rupanya Yohana tak bergeming. "Biar saja, Beta tidak suka Husein Rumadau!" Hingga akhirnya suara seorang laki-laki menghentikan obrolan mereka.
"Yohana mari pulang Nak, Bapak sudah selesai berbelanja." Laki-laki bertubuh kekar di depan cafe memanggil Yohana, mereka akan pulang naik kapal menyebrangi lautan. "Beta pulang ya Lee, doakan laki-laki putih itu datang pada Beta." Jinny hanya melebarkan senyumnya.
Yohana berlari-lari ke dermaga. Ia dan ayahnya akan menyebrang dengan kapal mesin, mereka menunggu sebentar menunggu kapal itu penuh. Setelah kursi terisi beberapa penumpang barulah kapal bergerak membelah lautan. Yohana memandangi ombak yang menampari badan kapal. Di kejauhan tampak bukit-bukit yang dihuni oleh suku-suku asli tanah Papua. Diantaranya suku mereka. Yohana dan ayahnya nanti akan mendaki menaiki gunung karang, lalu melintasi hutan lebat serta gelap jika kemalaman. Barulah perkampungan mereka tampak di balik bukit.
Yohana dan ayahnya sudah ratusan kali melewati tempat itu, tidak lagi merasa payah dan lelah. Kegembiraan yang ada jika melihat perkampungan mereka di bawah sana. Ingin buru-buru sampai dan beristirahat. Minuman manis yang harum dan wangi buatan ibu menunggu. Juga ubi manis yang dipanggang di dalam tanah. Yohana menyukainya.
Jika malam tiba Yohana dan adik-adiknya seringkali duduk menatapi bintang di langit. Gadis asli Papua itu berpikir seribu kali yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia ada di hutan lebat bersama orang-orang primitip yang bertahan hidup dari alam. Kenapa pula ada orang-orang yang berkulit putih dan cantik? Kenapa ia tidak seberuntung mereka. Memiliki kulit yang putih, halus serta cantik. Yohana sering pula menatap kulitnya dan mengosok-gosok berharap kehitamannya hilang.
***
Pada saat itu sebuah pesawat kecil mendarat di bandara kota Eksotik . Sekitar sepuluh orang turun dari pesawat. Di antara mereka terdapat keluarga Bapak Bram Giffari. "Itu Bapak Bram, mari kitong ke sana." Beberapa orang menyongsong orang yang baru turun dari pesawat. "Bapak Bram alhamdulillah sudah sampai kota kita ini, selamat datang Bapak dan Ibu." Salah satu dari rombongan itu mengucapkan selamat datang dan mengajak mengikuti mereka. Agak jauh dari bandara beberapa mobil telah menunggu. Laki-laki yang bernama Bram beserta keluarganya memasuki sebuah mobil lantas beriringan meninggalkan tempat itu.
Para penjemput langsung mengantar keluarga itu ke sebuah rumah di daerah yang di sebut Puncak Kapas. Tempat itu memang berada di puncak bukit, jika dari lembah memandang ke atas berarak awan putih yang mirip kapas, sehingga daerah perumahan itu dinamai puncak kapas. Empat kenderaan berhenti di tepi jalan. Mereka semua keluar dari dalam mobil mengantar hingga masuk ke dalam rumah.
"Maaf Bapak Bram dan Ibu, kami mengantar sampai sini. Sekali lagi selamat datang dan bertugas di kota ini semoga betah. Kami pamit pulang agar Bapak dan Ibu bisa beristirahat."
"Terima kasih Pak Win, sampai bertemu di kantor besok ya Pak." Mereka bersalaman dan menuntaskan pertemuan itu. Pak Bram mengantar orang-orang yang merupakan karyawannya di kantor. Laki-laki itu mulai besok pagi ditugaskan mengepalai sebuah departemen pemerintahan di kota kecil itu. Ia membawa istrinya seorang putra dan dua orang putri. Laki-laki itu berbalik dan berlari naik ke rumahnya ketika mendengar anak-anak bertengkar. "Ada apa? Papa mendengar suara kalian hingga ke bawah!" Bram membesarkan matanya menatapi anak laki-laki dan perempuan yang saling cemberut.
"Itu Pah, aku sudah duluan memilih kamar yang itu, tapi Sevia seenaknya memindahkan barang-barangku ke kamar di sana, enak saja! Aku yang duluan kok." Terpaksa Bram menengahi kedua anaknya itu. Sevia bilang ia anak perempuan cocok mendapat kamar yang depan. Kedua kamar itu tidak ada bedanya hanya satu berada di dekat ruang tamu, sementara di sebelahnya yang menghadap ke ruang makan. Kamar utama juga berada di sebrangnya.
"Lebih baik Kak Berry di kamar itu dan kamu Sevia di sebelahnya, sudah jangan ribut lebih baik setelah ini kita makan malam, lalu bereskan buku-buku untuk sekolah, besok pagi-pagi Papa mengantar kalian ke sekolah." Sevia gadis remaja berusia 15 tahun yang baru lulus esempe. Besok pagi ia akan memulai kehidupan barunya di esema. Kedatangan mereka ke kota itu agak terlambat. Karena tidak ada penerbangan selama hampir sebulan. Begitu Pak Bram mendapat kabar kalau penerbangan printis sudah dibuka ia segera memesan tiket untuk dia dan keluarganya.