Chereads / Cinta Pertama Begitu Romantis / Chapter 3 - Chapter 3 Nona Pendatang

Chapter 3 - Chapter 3 Nona Pendatang

Lepas senja sebuah pesawat perintis mendarat, sekitar sepuluh orang menuruni tangga pesawat. Diantara penumpang itu terdapat keluarga Bapak Bram Giffari. Ia bersama istri dan tiga orang anaknya. Berita kedatangan pejabat tersebut telah tersiar di radio kota Puncak Kapas sejak tadi pagi. Sebab itu beberapa orang telah menunggu untuk menjemput. "Itu Pak Bram!" Salah satu dari orang yang ditugaskan menjemput beranjak menyongsong.

"Pak Bram alhamdulillah sudah sampai ke kota ini, selamat datang dan bertugas semoga Bapak dan keluarga senang dan betah." Laki-laki berwajah ramah itu menyalami Bram serta istri dan anak-anaknya. "Mari Pak mobil sudah menunggu." Laki-laki itu lantas mengajak Bram dan keluarganya menuju kenderaan yang menunggu di luar bandara. Mereka bercakap-cakap sambil berjalan.

Jadwal kedatangan mereka ke kota tersebut sedikit terlambat akibat tidak adanya penerbangan selama dua minggu itu. Baru hari ini penerbangan dibuka kembali, Pak Bram mengangguk-angguk mendengarkan cerita orang yang menjemputnya. "Agaknya perbaikan bandara serta ada longsor Pak, untunglah sekarang sudah normal.

Sekitar empat kenderaan menjemput dan mengiringi Pak Bram menuju rumah yang telah disediakan. Berhubung telah malam mereka tidak ada acara penyambutan resmi, ditunda hingga esok hari. Bram dan keluarganya lega mendengar hal tersebut. Perjalanan kepindahan mereka ke kota ini sangat melelahkan. Sejak subuh sudah berada di pesawat yang menuju kota Papua tersebut. Transit di bandara Patimura sekitar dua jam. Lantas tiba di bandara Sorong Jepman dan menunggu hingga senja penerbangan ke kota tersebut. Anak-anak sudah tak ada suaranya, pertanda kesal dan kelelahan.

Apa lagi anak sulung Bram sempat meminta pada ayahnya agar diperbolehkan tinggal di Jakarta. Karena sekolahnya tinggal beberapa bulan. Putri kedua Bram yang bernama Sevia ikut-ikutan sang kakak ingin tinggal di Jakarta saja. Papa, Mama dan Adik saja yang pergi bertugas. Sevia keberatan tinggal di kota primitif.

"Barangkali ada yang Bapak dan Ibu butuhkan, bisa kami bantu?" Saat mereka sampai di tujuan laki-laki yang menjemput bertanya, Bram menggeleng, Ia sangat berterima kasih telah dijemput ke bandara dan diantar hingga rumah. Mereka punya persediaan makanan dan minuman yang cukup.

Para penjemput itu pergi. Bram dan keluarganya menaiki undakan semen menuju rumah yang telah siap huni. Bram membuka pintu dan mempersilahkan istri dan anak-anaknya masuk. Rumah yang besar, bersih serta nyaman. Tidak ada komentar dari istri dan anak-anaknya. Pertanda tidak ada sesuatu yang kurang. Pak Bram telah datang ke kota itu untuk melihat tempatnya bertugas. Ia menyuruh karyawan membersihkan rumah dinas tersebut dan mengisi dengan perabot yang baru. Sehingga rumah itu cemerlang dan harum.

"Sevia mau kamar yang mana? Ada tiga kamar yang saling berdekatan, kamar Papa dan Mama di sebrang kamar kalian ya." Papa menyeret kopernya dan koper Mama. Kakak lelaki Sevia memasuki kamar paling depan dan adiknya yang tengah. Tinggal Sevia mendapat kamar yang satunya. Ketiga anak itu tak terlalu mempermasalahkan kamar, mereka lelah dan ingin membaringkan tubuh. Mama mengingatkan agar membersihkan tubuh terlebih dahulu.

***

Siang itu di gedung atas esema satu anak-anak berlarian menuju kelas masing-masing. Ada enam kelas di atas sedangkan gedung bawah lebih banyak. Semenit lagi serine tanda masuk akan berbunyi, Yohana berlari-lari kecil menuju ke kelasnya. "Cepat Yohana Bapak guru sudah di dalam kelas! Tadi beta lihat sendiri." Seorang teman sekelas Yohana mendahuluinya, cepat-cepat gadis asli Papua itu menyusul.

Benar saja, ia melihat Bapak Guru sedang berdiri di depan kelas. Yohana bergegas ke bangkunya. Gadis itu tercekat ada siswa baru. "Yohana! torang duduk saja di sebelah murid baru itu." Kata seorang yang melihat Yohana terpaku memandangi si murid baru. "Oh, kamu duduk di sini juga ya? Mau sebelah sini atau di sana?" Si siswa baru menatap ramah dan ia keluar serta berdiri mempersilahkan Yohana masuk ke bangkunya di dekat dinding.

Yohana segera masuk, ia tak percaya pada matanya, murid baru yang menjadi teman sebangkunya itu putih dan mulus. Wajahnya cantik, bulu mata lentik dan hidungnya mancung. Rambutnya sebahu diikat sebagian membuatnya kian cantik. Senyum serta pandangan mata yang tadi mengarah padanya juga lembut. Seumur-umur Yohana baru melihat gadis secantik murid baru itu. Ia beberapa kali mencuri pandang berusaha meyakinkan dirinya bahwa orang yang duduk di sebelahnya benar manusia bukan bidadari.

"Hello, Aku Sevia, kalau kamu?" Murid baru itu menoleh dan mereka berserobok pandang, agak ragu Yohana menerima uluran tangannya. "Yo-Yohana." Katanya mengangguk kecil, sayangnya mereka harus mendengarkan Pak guru yang memulai pelajaran. Sebelum Yohana masuk, Pak Guru telah mendahului bersama Sevia. Hampir semua siswa telah masuk, hanya Yohana yang terlambat. Pak Guru memperkenalkan Sevia yang berasal dari Jakarta. Orang tuanya bertugas di kota itu memimpin sebuah departemen milik pemerintah. Sevia mendapat sambutan yang hangat, teman-temannya mengucapkan selamat datang dikelas itu. Hanya sebentar saja perkenalan itu. Saat Yohana masuk, Sevia baru saja dipersilahkan menduduki bangkunya.

Pelajaran pertama hari itu tentang tanam menanam, bagaimana cara menanam cabe hingga tumbuh dan berbuah lebat. Sevia terbengong sebab di Jakarta tidak ada pelajaran seperti itu. Ataukah karena sudah esema? Ia jadi ingin bertanya pada kak Saka apakah waktu kelas satu esema belajar cara menanam cabe? Meski merasa asing dengan pelajaran itu tetap Sevia mendengarkan keterangan guru dan mencatat hal-hal yang penting. "Aku bisa mengajari Mama menanam cabe. Kami nanti akan berkebun cabe di halaman belakang. Sevia tersenyum kecil.

Dua jam terlalui dengan cepat, Pak Guru yang mengajari cara bercocok tanam pamit pada siswa. Waktu kosong tersebut langsung digunakan anak-anak mendatangi bangku Sevia untuk berkenalan. Bukan Yohana saja yang takjub akan kecantikan gadis remaja bernama Sevia itu tetapi juga anak-anak lain. Lebih cantik dari barbie. "Sevia! kenalkan namaku Ibrahim, panggil Ibra saja. Aku ketua murid kelas ini. Kalau ada apa-apa bilang saja padaku ya." Sesosok tubuh jangkung tegap menyalami Sevia, disusul yang lain sembari tebar-tebar pesona.

"Kenalkan aku Husen Ramudau, keamanan kelas! Jangan takut siapa-siapa di sini Nona sebab ada beta Husein Rumadau." Yohana menoleh mendengar suara yang ia kenali. Hemmm Husein Rumadau, ikut-ikutan cari perhatian nona pendatangkah? Yohana mencebir gemas pada Husein. Laki-laki itu tak lupa mengerlingkan matanya pada Yohana membuat gadis itu meremas jemarinya gemas. "Terima kasih Husein." Terdengar lembut dan halus sekali gadis di sebelahnya membalas ucapan Husein.

"Yohana kenapa ada nama Wa banyak sekali, Wamariani, Warusiani, Wahalima, Wanursani dan masih banyak lagi, apakah mereka kembar? Atau bersaudara?" Teman sebelahnya menolehi Yohana, matanya yang bulat itu indah dan nona pendatang itu bicara seperti kereta api ekspres, cepat sekali. Yohana terbengong, ia sendiri tak pernah memperhatikan hal itu dan sama sekali tidak tahu. Untung teman di belakang mendengar pertanyaan Sevia dan menjawabnya. "Mereka tidak kembar, juga bukan bersaudara, tetapi mereka berasal dari daerah yang sama yakni Buton."

"Oh daerah Buton? Kota penghasil aspal." Sevia pernah mendengar nama kota itu di pelajaran esempe, ia tak menyangka akan bertemu orang-orang Buton. Nama mereka unik, kalau perempuan memakai wa didepan namanya dan laki-laki mengunakan La.