"Uwaahhh … tolong aku! Tolong berhenti mengejarku, makhluk menjijikkan! Siapapun, aku mohon! Tolong aku!"
Suara teriakan itu berasal dari seorang gadis muda bertubuh mungil yang tengah berlari tergesa-gesa di tengah hutan. Dua iblis mengejarnya. Keduanya bertubuh besar dan gemuk. Memanggul gada yang juga berukuran besar.
Burung-burung beterbangan dan dedaunan gugur saat mereka berlari.
Gadis yang tengah dikejar iblis itu adalah Shintia, manusia setengah elf. Tampak dari bentuk telinganya yang mirip seperti telinga elf. Ia mengenakan gaun berwarna hijau daun yang serasi dengan rambutnya yang juga berwarna hijau dikuncir seperti ekor kuda. Ia terus berteriak sambil menangis. Napasnya terengah-engah, mulai kelelahan. Ia menoleh ke kanan kiri lalu tanpa pikir panjang melompat ke semak-semak. Ia menahan napas, berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara. Jantungnya berdebar. Berharap iblis-iblis itu tak menemukannya.
"Ke mana dia?"
"Dia pasti masih ada di sekitar sini. Ayo, cari!"
Kedua iblis itu segera mencari-cari di sekitar sana. Memeriksa di balik pepohonan dan semak belukar. Iblis yang memiliki satu tanduk di keningnya mencari di sebelah kiri dan temannya yang bertaring panjang di sebelah kanan. Shintia semakin ketakutan.
"Gadis manusia, di mana kamu? Keluarlah! Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya akan menjadikanmu peliharaanku."
"Tidak! Kau tidak bisa! Manusia itu milikku!"
"Kau sudah punya banyak, jadi dia milikku."
"Tetap saja, aku tidak bisa memberikannya kepadamu."
"Dasar serakah! Apa boleh buat, kita putuskan siapa yang berhak memilikinya dengan cara itu."
"Siapa takut!"
Mereka menaruh senjatanya masing-masing lalu saling berhadapan dengan pandangan tajam. Mereka mengangkat tangan dan dengan cepat membuat bentuk gunting dengan dua jarinya. Ternyata mereka melakukan gunting kertas batu, dan sepertinya tidak ada satu pun dari mereka yang menang.
Selama mereka sibuk sendiri, Shintia mengambil kesempatan untuk menjauh. Perlahan-lahan merangkak. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahunya. Sontak ia menjerit.
"Uh, Nona, kau tidak perlu berteriak."
Shintia menoleh ke belakang dengan enggan dan mendapati seorang laki-laki berdiri sambil mengarahkan dua buah pistol ke muka. Rambutnya panjang. Menutupi mata kirinya. Sebuah bekas luka yang cukup besar tergores di pipinya yang sebelah kanan. Ia mengenakan baju berwarna biru yang terlihat sedikit kebesaran, dengan sebuah senapan di punggungnya.
"Itu dia. Lihat, sekarang ada dua manusia. Aku akan menangkap yang perempuan."
"Oi! Tunggu, sialan! Dia milikku!"
Kedua iblis itu tentu mendengar teriakan keras Shintia. Namun, saat mereka baru saja bergerak, keduanya mendadak terkulai sewaktu terdengar suara ledakan. Kening mereka berlubang dan memancarkan darah.
Sang pria misterius menyarungkan kembali pistolnya. Kemudian mengulurkan tangan kepada Shintia.
"Kamu baik-baik saja, Nona manis?"
"Ya. Terima kasih sudah menyelamatkanku."
Shintia menerima uluran tangannya. Laki-laki berambut hitam itu tersenyum.
"Syukurlah. Perkenalkan namaku Soma. Nona, siapa namamu dan apa yang sedang kamu lakukan di hutan seperti ini?"
"A-aku Shintia. Aku sedang dalam perjalanan untuk mencari Senna. Sang pahlawan yang terkenal itu."
"Oh, kalau begitu, kenapa kita tidak pergi bersama? Kebetulan aku juga sedang mencarinya. Aku dengar, dia sedang menuju benteng Arshield."
"Be-benarkah? Tentu, jika tidak merepotkan."
Mereka bersama-sama meninggalkan lebatnya hutan. Desiran angin lembut membelai wajah mereka. Dedaunan melambai-lambai seperti sedang mengajak sepasang manusia itu untuk mendekat. Langit di atas mereka sedang cerah tanpa tedeng aling-aling. Seekor burung elang terbang berputar-putar, mencari mangsanya.
"Omong-omong, kenapa kamu ingin mencari Senna?" Tanya Soma, memulai.
"Aku … sebenarnya …." Air muka Shintia mendadak menjadi muram. Matanya berkaca-kaca. "Aku butuh bantuannya untuk menyelamatkan kakakku yang ditangkap oleh iblis dan dijadikan budak. Begitu mendengar tentang rumor pahlawan yang berhasil mengalahkan komandan iblis, dua komandan iblis, aku segera mencarinya."
"Begitu, semoga kakakmu baik-baik saja."
"Ya, lalu bagaimana denganmu, Soma? Kenapa kamu mencari Senna?"
"Hanya sedikit ada urusan dengannya."
Di ujung hutan mereka terdiam sejenak, menatap pemandangan lapangan luas dengan lengkungan bukit dan pepohonan yang menghijau. Dataran miring yang tidak terlalu terjal terbentang di hadapan mereka, menuju sebuah desa yang tampak kecil dari kejauhan. Di belakangnya, menjulang sebuah gunung kebiruan bak pemandangan fantasi yang menakjubkan.
Shintia dan Soma menyusuri jalan setapak yang menuju ke desa itu.
Mereka berhenti saat melihat kerumunan orang-orang bersenjata dan terdengar suara ledakan yang disusul debu yang membumbung menyelimuti udara. Orang-orang itu mengenakan jas hitam dengan dalaman jingga dan pin berbentuk lebah menakutkan yang seragam. Mereka menembaki sebuah kedai bersama-sama dengan senapan gatling hingga hancur. Beberapa laki-laki, anak-anak dan perempuan bersembunyi di tempat aman dan sisanya menyaksikan dari jauh.
"A-apa yang terjadi? Siapa orang-orang itu?"
"Mereka adalah kelompok pemburu bayaran bernama Lebah Beracun, tapi tidak biasanya mereka bergerak dalam kelompok besar, apalagi sampai pemimpinnya sendiri ikut muncul, kecuali tangkapannya besar."
Soma menatap laki-laki bertubuh kekar yang membawa bumerang raksasa di punggungnya.
Pemimpin Lebah Beracun itu melipat kedua tangannya yang berotot di dada seraya menyeringai lebar. Ia memiliki gaya rambut yang aneh, separuh botak dan separuh lagi hampir menutupi matanya. Tatapannya terpaku ke arah puing-puing kedai. Debu yang membumbung di sana mulai menghilang terbawa angin.
Tampak di sana seorang laki-laki muda berambut kecokelatan, menyilangkan pedangnya ke muka. Berdiri di dalam sihir penghalang yang mengitarinya. Baju jirahnya sudah dipenuhi goresan yang menandai ia telah melewati banyak sekali pertarungan sengit. Tak sedikit pun terlihat ada ketakutan dari sorot matanya yang tajam dan menyala seperti arang yang terbakar. Di belakangnya adalah seorang gadis manis yang mengenakkan gaun biru dengan mahkota kecil menghias di atas rambutnya yang tergerai bebas, dan pria kurus berwajah tampan yang segera menurunkan kedua tangannya yang semula direntangkan ke atas. Kubah cahaya biru yang melindungi mereka lenyap seketika.
"Huh, berbahaya sekali. Untung kau membuat penghalang tepat waktu, Marlin. Kalau tidak, kita pasti sudah mati. Tuan putri, kau baik-baik saja?"
"Ya, tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Sial, kali ini mereka benar-benar serius ingin melenyapkan kita."
Pemimpin Lebah Beracun mendengus. Ia mengangkat bumerangnya tinggi-tinggi lalu melemparkan senjata melengkung tersebut sekuat tenaga. Menderu ke arah ketiga orang itu. Gelombang angin yang sangat kencang menyertai putarannya.
Sang ksatria bermata merah kecokelatan memasang kuda-kuda seraya mengeratkan genggaman pedangnya. Pemuda yang dipanggil Marlin pun kembali merentangkan tangannya untuk memasang sihir penghalang.
"Oh … ternyata begitu. Pantas Gale sendiri sampai turun tangan."
Soma tersenyum tipis saat mengetahui siapa orang-orang yang tengah diburu oleh kelompok Lebah Beracun tersebut. Shintia yang menyadarinya segera ia bertanya.
"Soma, kamu kenal ketiga orang itu?"
"Tentu saja. Mereka adalah orang-orang yang kita cari."
"M-maksudmu?" Mata Shintia seketika berbinar-binar.
"Ya, itu adalah Senna dan teman perjalanannya."
Soma mengeluarkan pistolnya lalu menembak ke arah bumerang yang tengah berpusing di udara. Membuat putarannya berubah arah. Meleset ke samping dan menancap di tanah dengan retakan besar, hampir patah.
"Apa? Siapa yang berani menggangguku!"
Gale sang pemimpin kelompok Lebah Beracun terkejut. Lantas ia naik pitam dan melirik ke sana kemari dengan ganas. Namun, seketika ia terperangah saat melihat Soma yang menyeringai. Mundur beberapa langkah dengan geligi saling bergesekan dan mata melotot, menahan marah.
"K-kau …."
"Berani sekali kau mengganggu Tuan Gale!"
"Tahan! Kalian jangan …."
Gale mencoba menghentikan anak buahnya yang serempak mengangkat senjata ke arah Soma dan gadis yang terlihat ketakutan itu tetapi terlambat. Saat mereka baru saja hendak menarik pelatuk senjatanya terdengar suara ledakan beruntun. Soma telah mendahului menembak tepat di kepala mereka. Menyisakan hanya setengah dari anggota Lebah Beracun.
Soma menyimpan kembali pistol yang telah kehabisan peluru itu dan mengambil pistol lain dari sabuknya sambil berlari dan menghindari setiap tembakan senapan mesin lawan. Menjauh dari Shintia.
"Aku bilang berhenti!" bentak Gale dengan urat bertonjolan. Sontak sisa anak buahnya berhenti menembak.
"K-kenapa, Bos?"
"Dasar bodoh! Apa kalian tidak tahu, siapa orang itu? Dia adalah Soma sang Black Death!"
"T-tidak mungkin."
"Ke … kenapa dia ada di sini?"
"Sepertinya dia mengincar buruan yang sama dengan kita. Aku tidak ingin berurusan dengannya. Lebih baik kita mundur!"
"B-baik, Bos."
Gale beserta anak buahnya segera meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pepohonan.