Chereads / Tales of Legendary Hero / Chapter 4 - Kerusuhan di Penginapan

Chapter 4 - Kerusuhan di Penginapan

Di dalam penginapan. Di kamar yang berada di lantai dua.

Senna duduk di ujung ranjang. Tanpa mengenakan jirahnya yang berlubang. Lukanya sudah sembuh sama sekali, berkat sihir penyembuhan Shintia yang begitu hebat. Gadis setengah elf itu sudah tidak terlihat gugup lagi tetapi jelas di wajahnya dia merasa canggung. Di sampingnya, Putri Lara tidak melepaskan perhatiannya dari Soma yang berdiri di depan jendela. Memandangi matahari yang separuhnya telah ditelan bumi.

Marlin meletakkan kedua tangannya di dada sambil bersandar pada dinding kayu.

"Huh, kenapa akhir-akhir ini kita selalu diincar tentara bayaran?" Senna mengeluh seraya menghela napas.

"Ya, karena seseorang memasang harga besar untuk kepalamu."

Soma memalingkan wajahnya dari luar dan mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Selembar kertas. Ia memberikannya kepada Senna. Itu adalah poster buronan yang bergambar wajah Senna dengan nilai yang terbilang fantastis. Satu juta gold. Hidup atau mati.

"Hahaha, pantas saja. Siapa yang tidak tergoda dengan uang sebanyak itu."

Lara, Shintia dan Marlin yang penasaran mengintip dari samping.

"Eeek … tidak mungkin. S-siapa yang melakukannya?" seru Shintia.

Putri Lara mendengus. "Siapa lagi kalau bukan mereka."

"Eh?"

"Mau bagaimana lagi." Marlin menimpali. "Kau sudah mengalahkan dua jenderal mereka. Sudah pasti mereka menganggapmu ancaman besar."

"Benar juga."

Tiba-tiba terdengar suara ketukan, disusul suara berderit. Pintu terbuka. Semua orang berpaling ke arah pintu. Tampak seorang perempuan cantik berdiri sambil memasang ekspresi poker face.

"Maaf mengganggu. Makan malam sudah siap. Tuan-tuan dan nona silakan ke ruang makan. Tuan Hogan sudah menunggu."

"Hem, baiklah. Kami akan segera ke sana."

Saat Senna dan yang lain sampai di ruang makan, sejenak mereka tampak takjub dengan apa yang dilihatnya. Di atas meja makan berbentuk persegi panjang itu berjajar makanan mewah, hampir tidak menyisakan ruang untuk menaruh piring, dengan empat kursi di kedua sisi meja dan masing-masing satu di ujung.

Sang penjaga penginapan sudah ada di sana. Duduk di kursi yang berada di ujung meja.

Terlalu terkejut, Senna hanya berdiri mematung sampai Hogan memanggil. Begitu pun teman-temannya.

"Hei, kenapa kalian cuma berdiri saja. Semua makanan ini untuk kalian. Nikmatilah!"

"B-baik …."

Mereka segera menarik kursi lalu duduk di atasnya. Mengambil makanan yang ada. Namun, saat mereka hendak memakannya tiba-tiba Soma berseru.

"Tunggu, semuanya! Jangan ada yang makan!"

"A-ada apa, Soma?"

"Hah, kenapa sih?"

"Ada apa, anak muda? Apakah ada yang salah dengan makanannya?"

Dengan pandangan terfokus kepada orang tua penjaga penginapan Soma berkata.

"Semua makanan ini sudah diracuni."

"Ap …?"

Sontak semua orang terkejut. Shintia yang hampir menggigit sepotong daging segera melemparkannya.

"Benarkah itu, Soma?"

Senna memandang Soma dengan ekspresi serius.

"Ya, bagaimanapun aku bekerja sebagai pemburu bayaran. Jadi mengenali bau racun itu sangat mudah."

Wajah cantik Putri Lara tiba-tiba berubah menjadi seram begitu mendengarnya. Ia menggebrak meja hingga banyak makanan yang tumpah. Matanya yang melebar tampak seperti seekor serigala ganas yang kelaparan, dengan urat di kening bertonjolan.

"Pak tua! Kau juga ingin membunuh kami."

Hogan tetap bersikap tenang seolah semua berjalan sesuai rencananya. Ia berdiri dari kursinya, tersenyum. Menepuk tangannya beberapa kali.

"Sayang sekali, rencanaku ketahuan. Seperti yang diharapkan dari pemburu bayaran terhebat, Black Death. Kalau begitu, apa boleh buat …."

Ekspresi orang tua itu tiba-tiba berubah. Matanya menyipit. Dengan suara nyaring ia bersuit. Tak berselang lama, semua pelayan laki-laki dan perempuan muncul. Menodongkan senapan.

"Tidak …." Shintia gemetaran.

"Tembak!"

Suara ledakan terdengar begitu orang tua itu berseru. Puluhan, ratusan timah panas beterbangan di udara dalam kecepatan luar biasa.

Beruntung, Marlin membuat pelindung sihir tepat waktu. Pada waktu yang bersamaan, para pelayan satu per satu berjatuhan dengan masing-masing kepala mereka berlubang. Seperti biasa, tembakan Soma tidak pernah meleset.

Mata Hogan melebar saat pelayan terakhirnya tergeletak, bermandikan darah. Ia mengertakan rahangnya. Tangan kanannya menggenggam tongkat erat-erat.

Sebuah anak panah melesat dan melewati sampingnya. Menggores pipinya yang keriputan hingga berdarah.

"Sudah berakhir, orang tua!" seru Lara dengan wajah masam.

Akan tetapi, sang penjaga penginapan malah tertawa terbahak-bahak. Lalu ekspresinya kembali serius. Aura menyeruak sewaktu ia mencabut sebilah pedang dari tongkat di tangannya.

"Tidak, ini belum berakhir!"

Orang tua itu menjadikan meja sebagai pijakan untuk melompat. Meja tersebut berguncang hebat. Semua makanan yang ada di atasnya tumpah. Ia melesat di udara, dengan mata menyala-nyala. Pedangnya diayunkan ke bawah.

Senna menangkis serangan tersebut dengan pedangnya. Sang penjaga penginapan melompat ke belakang. Sebuah senyuman tersimpul di bibirnya.

"Orang tua ini … dia kuat juga."

Senna bergumam pelan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri.

Sang penjaga penginapan kembali mengirimkan serangan cepat. Bilah pedangnya mengincar leher Senna dari samping tetapi hanya mengenai tempat kosong. Tidak berhenti di sana, orang tua itu melanjutkan dengan serangan beruntun.

Senna balas menyerang setelah menghindar dan menangkis ayunan pedang penjaga penginapan tua.

Terdengar suara berdentang keras saat kedua mata pedang itu berbenturan di udara. Percikan api berpijar. Sang penjaga penginapan berhasil menahan ayunan pedang Senna. Namun, bagaimanapun tenaga sang ksatria jauh lebih besar sehingga ia terpental ke belakang. Menghantam dinding kayu dengan keras dan menghancurkannya sehingga berlubang. Pedangnya patah jadi dua.

"Huh, sepertinya aku terlalu berlebihan."

Senna berjalan ke arah lubang hanya untuk mengetahui orang tua itu telah kembali bangkit. Berdiri membungkuk di tengah cahaya merah tembaga. Entah mengapa, dia terlihat berbeda dari sebelumnya. Sorot matanya redup seperti tatapan orang mati. Ototnya membesar dengan aura gelap menyelimuti tubuhnya yang mendadak kekar. Pakaiannya robek-robek.

"Aku akan membunuhmu!" Suaranya mendadak terdengar ganda.

Dia menerjang seperti hewan buas dengan tinjunya yang besar, mengincar wajah Senna tetapi hanya mengenai tempat kosong. Saat ia hendak mengirimkan lagi pukulannya, pedang sang ksatria telah lebih dulu menebas dadanya. Darahnya memancar deras. Namun, orang tua itu tampak tidak terpengaruh, bahkan tidak mengeluh sedikit pun.

Senna terperangah. Terlambat bereaksi, pukulan orang tua itu mengenai perutnya dengan telak. Tubuhnya terhempas ke belakang. Meringis kesakitan. Ia segera bangun dengan pandangan terfokus ke depan.

"Apa-apaan orang tua itu? Dia benar-benar gila."

Mata Putri Lara melebar. Marlin dengan tenang memperhatikan gerak-gerik Hogan yang terus menerjang Senna.

"Aku tidak merasakan kehidupan darinya. Dia seperti …."

"Dia seperti undead."

Shintia menyela dengan tubuh gemetaran.

Senna berkelit ke samping sewaktu tinju Hogan melesat ke arahnya, lalu menebas tangan itu hingga tanggal. Darahnya menyembur deras. Seperti sebelumnya, wajah orang tua tersebut sama sekali tidak berubah. Pada waktu bersamaan, sang ksatria mengayunkan pedangnya yang kini diselimuti cahaya kuning. Menggambar cahaya kuning berbentuk bulan sabit yang mendorong tubuh Hogan dengan kuat. Ia berseru keras dan ambruk ke lantai.

"Tidak berguna! Benar-benar tidak berguna! Sialan!"

Dengan suara yang terdengar ganda seperti dua orang yang bercampur dalam satu tubuh Hogan memaki-maki. Ia memandang Senna dengan tatapan penuh kebencian.

"Yah, tidak masalah. Salahku sendiri mengambil tubuh orang tua tidak berguna. Lain kali, aku akan membalasmu, Pahlawan Senna!"

Sang penjaga penginapan yang terluka parah membuka mulutnya lebar-lebar. Dari mulutnya itu melesat sesuatu dengan kecepatan luar biasa, menuju lubang di dinding. Orang tua tersebut tak bergerak lagi.

"Apa itu barusan?" Senna menoleh pada teman-temannya. "Kalian melihatnya juga, kan?"

"Ya, makhluk itu kecil tetapi sangat cepat," jawab Soma.

"Itu iblis yang sangat kecil."

Marlin mengangguk, masih tetap bersikap tenang dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

"Huh, jadi dia dikendalikan."

Putri Lara memandang jasad tak bernyawa orang tua yang terbaring bermandikan darah.

Shintia memiringkan kepalanya. Wajahnya terlihat kebingungan. Hanya dia satu-satunya yang tidak dapat melihat makhluk yang keluar dari mulut penjaga penginapan.

"Memangnya apa yang kalian lihat?"