Chereads / Tales of Legendary Hero / Chapter 3 - Pahlawan dan Pemburu Bayaran

Chapter 3 - Pahlawan dan Pemburu Bayaran

Black Death atau maut hitam, itu adalah julukan yang diberikan orang-orang kepada penembak jitu sekaligus pemburu bayaran yang paling ditakuti di benua barat. Identitas aslinya tidak diketahui banyak orang tetapi satu hal yang pasti, ada alasan mengapa ia sampai dijuluki Black Death. Ia tidak pernah meleset saat menembak dan juga tidak pernah gagal dalam melakukan pekerjaannya. Namun, untuk dapat menyewa jasanya memerlukan biaya yang tidak tanggung-tanggung, sesuai dengan hasilnya yang sudah dapat dipastikan. Terkadang, ia juga mengambil buruan dengan harga murah, jika orang yang ada di dalam poster tersebut menarik perhatiannya.

Pemburu bayaran paling ditakuti itu kini berhadapan dengan Senna. Ksatria yang dirumorkan telah mengalahkan dua komandan iblis dan dipanggil sebagai pahlawan, karena telah menolong banyak orang dalam perjalanannya. Ia menodongkan pistolnya seraya tersenyum tipis. Keadaan hening sejenak. Mereka saling memandang dengan tatapan tajam.

"Senang bertemu denganmu, tuan pahlawan."

"Ya, aku juga. Terima kasih, kau sudah menolong kami, tapi sepertinya kau juga sama seperti orang-orang tadi."

"Ya, begitulah."

"So … Soma, Kenapa …?"

Shintia memasang ekspresi bertanya-tanya. Tanpa mengindahkan pertanyaannya, Soma berkata. "Shintia, sebaiknya kamu menjauh!"

"Kalian juga, Marlin, Tuan Putri."

"Hem, berhati-hatilah, Senna! Dia bukan pemburu bayaran biasa."

"Ya, aku tahu."

Marlin memberi peringatan sebelum pergi ke pinggir lapangan, diikuti perempuan berambut merah dengan bola mata sebiru langit—putri kerajaan Winstarte, Lara. Shintia menghampiri mereka.

"A-anu, apakah kalian teman Senna?" tanyanya.

"Ya, tentu saja! Aku baru bertemu dengannya beberapa minggu lalu, tapi bisa kukatakan dia adalah sahabatku," kata Marlin seraya tersenyum lebar.

Putri Lara menyipitkan matanya. Menatap gadis berambut hijau itu dengan pandangan tajam yang menakutkan. Sontak Shintia terlihat gugup bercampur ketakutan, ia mundur beberapa langkah sembari menelan ludahnya sendiri.

"Mau apa? Kau mau mengincar kami juga?"

"Ti-tidak, bukan begitu …."

"Tenang, Tuan Putri! Tenang! Aku yakin, dia bukan pemburu bayar, kan?"

Marlin mencoba menenangkannya seraya melirik Shintia.

"I-iya. Aku, aku hanya ingin berbicara dengan Senna."

"Hem! Baguslah kalau begitu!" kata Lara seraya memalingkan wajahnya.

Di tengah tanah lapang, Senna dan Soma masih saling berhadapan. Belum ada yang bergerak sama sekali, bahkan para penonton pun terpaku. Ketegangan menyelimuti tempat itu, lebih dari sebelumnya. Tiupan angin seakan-akan menjadi aba-aba bagi mereka untuk memulai pertarungan.

"Pahlawan, bersiaplah! Mari kita bertarung!"

Soma membidik ke arah kepala sang ksatria tetapi beruntung Senna berhasil menghindar. Timah panas itu melewati kepalanya dengan jarak hanya beberapa milimeter saja, melesat mengenai tempat kosong.

"Weh … seperti dugaanku, kau bukan sasaran yang mudah."

"Terima kasih untuk pujiannya, tapi tidak bisakah kita berteman saja?"

"Itu tawaran yang menarik, tapi harga kepalamu sayang untuk dilewatkan."

Beberapa peluru meluncur dari pistol Soma diiringi suara ledakan beruntun. Kali ini, Senna tidak menghindar, ia menerjang ke depan seraya menangkis setiap timah panas yang melesat di udara dengan pedangnya lalu melakukan gerakan tebasan.

Dengan serta-merta Soma merunduk kemudian melompat ke belakang seraya menarik pelatuk senjatanya. Timah panas menembus baju besi Senna dan mengenai dadanya. Sang pahlawan berseru tertahan, darah mengalir di sudut mulutnya tetapi tidak membuatnya gentar. Ia meluncur ke depan seraya mengayunkan pedangnya tetapi tiba-tiba berhenti di depan sang Black Death, sesaat setelah membuang pistol dan menarik sesuatu dari pergelangan tangannya.

Terlihat cahaya putih yang berkilauan memantul di antara bilah pedang yang tertahan di udara—melilitnya. Itu adalah benang transparan yang sangat tajam. Saat tubuh Senna condong ke depan, Soma maju satu langkah ke samping dan menendang perutnya dengan keras.

Senna terhuyung. Segera ia menyangga tubuhnya dengan kaki kanan di belakang. Setelah itu ia menarik pedangnya ke belakang, membuat sang pemburu bayaran sedikit tertarik karena benang-benang halusnya masih mengikat bilah pedang tersebut.

Soma mengeluh kesakitan sewaktu keningnya beradu dengan kepala Senna. Ia mundur sambil memegang keningnya yang kemerahan.

"Aduduh, kepalamu seperti batu. Itu cukup menyakitkan."

"Mari kita akhiri saja!"

Senna mengacungkan pedang ke muka Soma. Sang pemburu bayaran tersenyum sembari mengangkat kedua tangannya.

"Ya, baiklah, aku mengaku kalah. Sepertinya aku harus merelakan satu juta gold itu. Lakukan sesukamu!"

"Bergabunglah denganku!"

"Hem, apa kau yakin ingin mengajakku? Aku baru saja ingin membunuhmu, lo."

"Tidak masalah! Aku tahu kau tidak serius ingin membunuhku. Jika kau serius, tembakanmu tadi pasti sudah membunuhku, tapi kau sengaja tidak mengincar titik vital. Selain itu, kau tidak perlu repot-repot bertarung denganku, kau bisa membunuhku dari jauh dengan senapan itu."

"Yah, ketahuan. Aku akui kau cukup pintar, Senna. Sayangnya, aku masih menolak tawaranmu. Kau sudah tahu, aku tidak bisa bekerja gratis."

"Kalau begitu aku akan membayarmu satu juta gold."

"Fufufu, kalau seperti itu, dengan senang hati aku akan membantumu sampai kau mengalahkan semua iblis."

"Tunggu dulu!"

Saat Senna hendak memberikan sekantong besar berisi emas yang sangat banyak, Putri Lara berlari ke arah mereka dengan mata menyala-nyala dan pipi memerah karena marah, lalu memukul kepala Senna dengan keras hingga terhempas ke tanah.

"Dasar bodoh! Kenapa kau memberikan uang bekal perjalanan kita kepada orang yang hampir membunuhmu, Senna bodoh!"

Itu pukulan telak tetapi Senna hanya mengekeh sembari mengusap kepalanya yang terasa sakit.

"Sudahlah … sudahlah … Tuan Putri! Aku baik-baik saja, kok. Kita juga masih punya banyak sisa uang, kan? Dan sekarang kita punya teman hebat yang akan membantu kita."

Putri Lara menggertakkan giginya dengan tangan kanan masih dikepalkan kuat-kuat. Urat di keningnya berdenyut-denyut. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri.

"Ya ampun, kau selalu saja seenaknya!"

"Hahaha, seperti itulah sahabatku." Marlin tertawa. Kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Jangan tertawa!"

"A-anu, kamu baik-baik saja?" tanya Shintia, terlihat gugup. "Lukamu, bolehkah aku mengobati lukamu, Tu-tuan pahlawan?"

"Kamu bisa melakukannya?"

Senna memandang Shintia yang semakin gugup dengan senyuman hangat tersimpul di bibirnya.

"Ya, ta … tapi sebelum itu pelurunya harus dikeluarkan dulu."

"Aku akan membantumu mengeluarkan peluru itu. Jangan khawatir! Aku cukup ahli melakukannya."

Para penduduk desa satu per satu memberanikan diri mendekat. Seorang kakek tua berjanggut kelabu menghampiri kelompok itu. Ia berjalan lenggang kangkung sambil menggerakkan tongkat sesuai ritme langkah kakinya.

Soma memasang wajah menakutkan saat melihat orang tua tersebut.

"Hehehe … itu tadi menegangkan sekali, tapi syukurlah kalian selamat. Kalian pasti kelelahan, bagaimana kalau beristirahat di penginapanku. Aku kasih diskon deh. Oh, ya ampun, lancangnya orang tua ini, sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Hogan. Pemilik semua penginapan di sini. Bagaimana? Kalian mau?"

Laki-laki tua itu mengekeh lambat. Sorot matanya terlihat teduh dengan sepasang alis tebal yang saling berdekatan, dipisahkan oleh hidung yang mancung seperti paruh burung.

"Ya, aku rasa kita akan menginap satu malam."

Senna dan teman-temannya setuju dengan tawaran orang tua itu, mengingat hari sudah menjelang sore dan sang ksatria perlu perawatan. Matahari sudah berada tepat di atas puncak gunung. Pak tua Hogan memimpin jalan sampai di depan bangunan penginapan yang memiliki dua lantai. Rumah paling besar di desa.