Dua tahun telah berlalu, Cakra telah menjadi seorang sarjana. Ia lulus dengan cumlaude, membawa penghargaan tertinggi dari pihak kampusnya waktu itu. Kini, ia telah berhenti dari rumah makan yang ia geluti sejak awal di bangku perkuliahan.
Saat ini, Cakra mulai mengamalkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Menjadi pengajar di sebuah SMP negeri, meski hanya sebagai guru honorer yang gajinya tak seberapa. Namun, rasa bangga ketika melihat keceriaan anak didik itu telah melebihi puasnya ketika menerima gaji sebesar apa pun.
"Baiklah anak-anak, cukup dulu pertemuan hari ini, ya. Tugasnya jangan lupa dikerjakan." Titah Cakra siang ini pada seluruh anak didiknya di salah satu kelas sembilan.
"Iya, Pak Cakra." Anak-anak serentak menjawab. Sebagai satu-satunya guru muda di sekolah itu, tak ayal jika ia selalu menjadi idola bagi murid-muridnya. Apa lagi anak perempuan, yang rata-rata anak SMP saat ini sudah pandai bersolek dan memikat lawan jenis.
"Selamat siang, semuanya," ucap Cakra untuk mengakhiri pembelajarannya.
"Siang, Pak."
"Besok ketemu lagi ya, pak. Hehe ...."
Celotehan mereka masih sayup-sayup terdengar ketika Cakra sudah keluar dari kelas itu. Berjalan menuju kantor pun tak luput dari tatapan kekaguman dari siswi yang sedang bergerombol di sepanjang teras sekolah.
Jam dua belas siang, ketika jadwalnya telah selesai, ia harus segera pulang. Pekerjaan rumah selalu menunggunya setiap hari. Iya, Cakra masih tinggal di rumah Paman. Meski sifat Bibi dari dulu tak berubah, mau bagaimana lagi? Untuk membayar kontrakan pun tak ada uang. Apalagi membeli rumah.
Hanya motor butut dan ponsel bekas itu, yang mampu ia beli sejak masih kuliah. Beberapa semester Cakra terbebas dari biaya, karena ada donatur yang membayarnya, dengan alasan ia adalah mahasiswa berprestasi. Kala itu gaji dari kerja paruh waktu utuh, hingga bisa membeli motor dan ponsel. Sering mendapatkan beasiswa, itulah yang menyebabkan Anggara selalu iri kepadanya.
Tiba di rumah, usai mengganti baju dengan kaos oblong berwarna putih dan bawahan jogger. Cakra siap menjalani aktivitas, lantai kotor debu bercampur minyak berceceran. Hingga banyak sekali bekas sepatu dan sendal tercetak, di sepanjang jalur lantai yang sering dilalui.
Di depan TV pun, tumpukan baju berserakan. Baju milik ketiga orang penghuni rumah ini, selain Cakra tentunya. Baju-baju itu bercampur begitu saja, antara yang kotor dengan yang baru diangkat dari tempat jemuran.
Cakra hanya mengintipnya sebentar, lalu berjalan menuju dapur yang kotorannya telah menumpuk. Kadang ia hanya bisa menggeleng sambil menghela napas panjang, selama tinggal di rumah itu, ia hanya diperlakukan layaknya pembantu. Iya, pembantu rumah tangga dengan seabrek pekerjaan rumah yang tiada habisnya.
Semua pekerjaan rumah itu, baru selesai menjelang sore hari. Ketika Anggara baru pulang dari pekerjaannya sebagai teller di salah satu Bank. Yang membuat sikap sombongnya semakin menjadi, karena merasa penghasilannya lebih besar daripada Cakra.
Tok tok tok!
"Masuk," ucap Cakra pada seseorang yang malam ini mengetuk pintu kamarnya. Terlihat sang paman seiring dengan terbukanya pintu.
"Cakra, apa kamu sibuk?" tanya paman Karwo. Ia pun ikut duduk di samping Cakra yang bergeser sedikit dari tempat duduknya.
"Tidak, Paman. Memang ada apa?" tanya Cakra. Ia menatap heran pada pamannya yang tampak tak seperti biasa.
"Cakra ... maafkan Paman." Seperti ada sesuatu yang membuat pemilik wajah setengah abad itu muram, suaranya bergetar lirih. Sambil menyentuh pundak Cakra.
Tentu saja, pemuda itu merasa tak enak hati. Ia raih tangan sang paman dan menggenggamnya erat, dengan memandang lekat wajah tertunduk.
"Paman tidak perlu bicara begitu. Saya sudah terbiasa mengalami ini semua," katanya tenang. Namun, Paman Karwo malah menggeleng penuh rasa bersalah.
"Ini, lebih rumit Cakra. Paman telah melakukan sebuah kesalahan fatal, yang berdampak pada masa depanmu," ucap sang Paman semakin menunduk.
"Mbak Sekar pasti marah, mengetahui adiknya ini tidak bisa menjaga anaknya dengan baik," lanjut paman Karwo. Cakra mengerutkan dahi semakin tak mengerti.
"Maksud Paman apa?" tanyanya makin penasaran. Paman Karwo menatapnya sekilas dan kembali menunduk. Seperti ragu untuk mengutarakan permasalahannya.
"Selama ini, Paman punya hutang cukup besar pada pak Sudarmoko yang rumahnya dekat pantai sana. Dan, Paman ... paman kesulitan untuk melunasinya."
"Memangnya, berapa besar hutang Paman? Barangkali, saya bisa membantu melunasinya." Cakra memberanikan diri bertanya, meski dalam hati merasa ragu. Apalagi dengan gajinya selama ini.
"Hutang Paman sangat besar. Lima puluh juta. Justru itu, Paman tidak bisa melunasinya. Dan Pak Moko kemarin datang kemari, memberikan pertimbangan yang cukup berat."
"Apa itu, Paman?"
Paman Karwo yang awalnya menunduk, kini mendongak. Menatap Cakra dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Raut wajah ragu, juga iba, semua bercampur menjadi satu.
"Cakra, Pak Moko akan menyatakan lunas. Jika, kamu ...mau menikah dengan anak pak Moko yang pendiam itu." Suara paman kali ini terdengar lirih.
Sementara Cakra, yang mendengar ucapan pamannya itu sangat kaget. Saking kagetnya, hingga ia tan bisa mereaksi apapun. Wajahnya terlihat datar, hanya sekilas langsung membuang muka ke arah jendela yang bertirai transparan.
"Paman tidak akan memaksa kamu, Cakra. Jika kamu tidak bersedia pun tidak apa-apa. Lagi pula ini Paman yang punya hutang, Paman juga yang harus bertanggung jawab."
Perih. Itulah yang dirasakan Cakra saat ini. Seharusnya bisa membalas semua jasa sang paman yang telah merawatnya sejak kecil. Namun, haruskah dengan cara seperti ini caranya? Ia menunduk dalam.
"Apakah harus saya yang menikah dengan anak pak Noko itu, Paman?" tanyanya. Meski selama ini belum pernah mencoba merajut cinta, tetapi bukan berarti akan berakhir seperti ini. Menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya, apalagi dengan alasan untuk melunasi hutang Paman.
"Paman juga tidak tau, Pak Moko hanya menyebutkan namamu saja. Padahal beliau tau, ada dua pemuda di rumah ini,"
"Pak Moko pasti juga memiliki perasaan yang sama sebagai seorang Ayah, yang tidak mungkin .... " Cakra menggeleng, tak mampu lagi melanjutkan ucapannya.
"Iya, Cakra. Paman juga tidak akan memaksamu, Paman keluar dulu, ya."
Tanpa menunggu jawaban lagi. Paman Karwo keluar, meninggalkan Cakra di kamarnya.
Ia akhirnya hanya bisa merebahkan badan, terjaga hingga menjelang dini hari. Lalu, tergeragap ketika mendapati tirai jendelanya telah benderang. Lampu-lampu bagai bintang di pegunungan itu telah redup oleh cahaya langit yang mulai memutih.
Usai membersihkan badan, ia penasaran karena ada suara riuh di ruang tamu. Cakra mendekat, dan seketika berhenti di tempat. Ketika ujung telunjuk sang Bibi tiba-tiba terhidang di depan mata, "ini dia orangnya!" Bibi Karwo berseru.
"A, ada apa, ini?" tanyanya. Pandangan menyapu pada setiap wajah yang pagi ini berdiri tegang di ruang tamu. Rupanya ada seseorang bertampang sangar, membuat pagi mereka menjadi setegang ini.
"Mas Cakra. Tunjukkan balas budimu pada kami yang telah benyak berkorban selama ini!" Suara Anggara terdengar lantang, mengalahkan kicauan burung penyambut surya pagi.
"Iya, Cakra. Ikutlah dengan Pak Moko biar kami bisa terbebas dari hutang!" Suara Bibi tak kalah lantangnya.
"Anggap saja itu sebagai balas budimu pada keluarga kami. Lagi pula pamanmu berhutang juga untuk kita semua. Termasuk kamu!" Belum sempat Cakra menjawab. Bibi sudah mencecar dengan kalimat bertubi-tubi, yang semakin membuatnya bungkam.
***