"Bukannya waktu itu lo udah setuju kalau lo akan melakukan pengangkatan rahim." Tara menatap isterinya beberapa saat. Mengingat dengan jelas perkataan mereka saat honeymoon. Mengingat lagi dalam kepalanya memori Dita saat itu. memang tidak banya bereaksi.
"Anak di panti belum tentu ada wajah gue dalam dirinya, Tar. Ia belum tentu menuruni sifat lo." Dita juga melemah sekarang memeluk suaminya erat. "Kali ini …. Aja. please!"
"Kenapa lo enggak bilang aja kalau lo muak hidup dengan gue, Dita? Kenapa lo enggak bilang aja kalau lo enggak mau lagi tinggal bersama gue. Lo enggak perlu membunuh diri lo dengan cara tolol kayak gini. Mungkin gue akan lebih rela melepaskan lo pergi dengan Harris daripada melihat nama lo terukir di batu nisan nantinya. Gue enggak akan pernah sanggup." Tara menjatuhkan airmatanya pada isterinya tersebut. dia benar-benar kehilangan kata. Kania hampir tidak pernah bisa mengatakan apapun.