"Okey, masalah Tama biar diselesaikan David. Aku yakin setelah mendengar penjelasan David, ia akan paham dengan situasi saat itu," urai Devin.
"Benar, mereka sangat dekat. Dalam hal ini aku setuju dengan Tama, "Darah bisa jadi lebih kental dari air tapi ikatan persaudaraan bisa lebih kuat dari itu." Akhirnya ini menjawab tanyaku." Dika bergumam sendiri.
"Emang apa pertanyaanmu?" tanya Bima.
"Sebenarnya yang kembarnya David itu Devin atau Tama? Logis kan pertanyaanku?" Suara Dika lirih agak ragu.
"Persis, itu pertanyaan yang sering menggangguku ketika melihat kedekatan David dan Tama. Tapi selalu aku tepis karena Devin dan David terpisah jarak dan waktu sehingga David jadi lebih dekat dengan Tama," urai Bram.
"Bisa jadi seperti itu, karena …" Belum sempat Dika menyelesaikan kalimatnya.
"Karena aku lebih cakep, makanya David mencari kembaran yang lain yang setara dengannya," potong Davin dengan percaya diri. Langsung tangan Bima menoyor kepala Devin diikuti gelak tawa yang lain.
"Daripada mbahas Tama, lebih baik mbahas kamu" usul Bima.
"Lho, kok aku?"
"Laiya, siapa lagi yang penuh misteri kalau bukan kamu" tambah Bram.
"Gitu ya …" jawab Devin mbodoni.
"Ya iyalah, urusan kamu dengan kami belum selesai. Bagaimana kalian setuju kan?" Bima menatap Dika dan Bram secara bergantian.
"Setuju, kalau mbahas yang lain keenakan Devin, ntar keburu dianya kabur. Ayo Vin, balik ke topik semula," potong Dika semangat.
"Hehehe … kirain kalian sudah lupa," cengir Devin.
"Ndaklah, sudah lama pertanyaan ini gantung," ucap Bram antusias diikuti celoteh dan anggukkan dari yang lain.
"Ini mau dari mana harus cerita?"
"Waktu di Blitar, aku banyak kehilangan moment saat camp waktu itu," usul Bram.
"Emh … okey …" jeda sesaat.
Asli, saat di Blitar itu aku sering khilaf karena settingan di otakku kalau di luar lingkungan sekolah bawaanku usil bila deket Dena."
"Setahu saya yang namanya khilaf itu sekali. Kalau sampai berulang-ulang itu namanya tuman," celetuk Bima disambut dengan tawa yang lainnya.
"Ya itulah Devin. Kalau ketahuan selalu bilang khilaf," Dika menambahi.
"Jangan-jangan tanpa sepengetahuan kami, di sekolah kalian sering berduaan?" desak Bram.
"Eh… hampir ndak pernah ya… , aku lebih sering bersama kalian," elak Devin.
"Ndak juga, kamu pernah lama banget ndak ikut ngumpul dengan kami," bantah Bram.
"Kapan? Ndak pernah lah aku ndak ngumpul sama kalian," elak Devin.
"Waktu kamu nggarap school production" potong Dika.
"Ealah … Ya, jelas to itu kan karena aku ngurusi school production. Lagian saat itu aku lebih sering berempat daripada berdua, ada Pujo dan Ella. Kalaupun berdua, aku seringnya sama Pujo dan Dena sama Ella," terang Devin.
"Biasanya orang yang dimabuk cinta lupa segalanya," timpal Bram.
"Dagadu … aku masih waras yo…"
"Sebentar, sepertinya cerita tentang camp di Blitar hanya itu saja yang lainnya off the record. Hahaha ..." Devin berusaha menyudahi pembahasan.
"Enak aja, aku pingin tahu respon D ketika kamu membantu mengobati Ella. Masak yang jealous cuma kamu saja, ndak mungkin kan? Masak ndak tercium bau-bau kecemburuan walau sedikit," selidik Bram.
Devin menanggapi dengan tersenyum. "Emang kok di dunia ini tidak ada yang serba kebetulan. Allah benar-benar sudah mengaturnya dengan sangat presisi. Ndak salah dugaanmu Bram, bau-bau cemburu muncul dari sana. Itu yang semakin membuatku yakin bahwa aku tidak bertepuk sebelah tangan."
"Waduh … tambah penasaran aku." Jiwa kepo Dika langsung bangkit dan membuatnya beringsut mepet biar dekat dengan Devin.
Bram langsung bergeser. "Jinjay juga anak satu ini."
"Eh … ndak lah, kamu terlalu berlebihan," ucap Dika yang duduk tepat menghadap wajah Devin, nyaris muka mereka bersentuhan.
"Ah … bener-bener gila anak satu ini. Jangan terlalu dekatlah," omel Devin sambil menarik tubuhnya ke samping.
"Eh, maaf terlalu dekat ya … . Salah kamu juga sih Vin, tiba-tiba noleh. Aku kan ndak nyangka kalau posisi itu bikin wajah kita hampir bersentuhan." Dika berusaha membela diri.
Kemudian Dika tolah-toleh. "Untung Dara ndak ada, bisa salah paham dia."
"Emangnya apa hubungan dengan Dara. Jangan bilang teklek kecemplung kalen yo …" tebak Bima.
"Emang itu yang diharapkan sama jomblo karatan satu ini," pancing Bram.
"Pabu, aku ketinggalan cerita lagi ya …" kata Bima sambil menatap Dika dalam-dalam.
"Bukan begitu maksudku …" jawab Dika sambil garuk-garuk kepala.
"Pantesan tadi waktu foto-foto nempel terus kayak perangko," seloroh Devin.
"Wah … pelanggaran, katamu ndak ada kata balikan. Ternyata kamu menelan ludah sendiri," tuding Bima tepat di depan wajah Dika yang mulai memerah.
"Waktu itu tak kira aku ndak ada peluang lagi karena begitu putus Dara langsung tunangan. Aku kan jadi illfeel," Dika menunjukkan wajah memelas.
"Baik, kita akan bahas ini nanti. Pastikan semua transparan tanpa ada yang terlewatkan," kata Bima dengan suara tegas.
"Okey lah, aku pasrah aja. Anggota BIN dilawan, ya pasti kalah lah …" keluh Dika lirih.
"Eh … kamu ngomong apa? Nyumpahin aku ya?" bentak Bima.
Dika gelagapan. "Eh … ndak, aku bilang okey … Okey, Bim …" jawab Dika sambil menunjukkan dua jarinya yang membentuk huruf v. Bima menanggapinya dengan tatapan dinginnya. Sementara Bram mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
"Vin, nyambung yang tadi. Pasti ada moment yang menunjukkan kebersamaan kalian yang membuat CD perlahan mundur," kejar Bima.
"Ehm … sebentar. O … iya… ingat aku sekarang. Kami berdua pernah bertemu di warung bakso sehabis cari properti buat School Production di Pasar Beringharjo.
"Jalan berdua belum tentu menunjukkan adanya hubungan khusus," sahut Bram.
"Masalahnya …. kami kepergok saat Dena lagi nyendok bakso dan tanganku lagi pegang rambutnya.
"Ha …, adegan itu jelas menggiring siapa pun yang lihat pasti berpikir kalian emang kalian punya hubungan khusus," treak Dika.
"Aslinya ndak begitu kejadiannya." Devin berhenti sejenak memperbaiki duduknya.
"Waktu Dena makan, ikat rambutnya putus. Spontan, tanganku langsung memegang rambutnya sebelum masuk ke mangkok. Karena kaget, Dena menarik tubuhnya menjauh. Maka jatuhlah bakso di sendoknya."
"Terus …?" desak Bram.
"Bakso itu terlempar ke depan dan menggelinding. Kemudian bakso itu berhenti tepat di depan sepasang sepatu. Otomatis, netra kami langsung menatap pada sang pemilik sepatu yang menatap tajam pada kami. Ternyata pemilik sepatu itu adalah CD. Kami berdua langsung saling menatap. Kami tidak tahu sudah berapa lama beliau berdiri di sana. Yang ada, kami jadi salah tingkah dan buru-buru jaga jarak." Spontan semua tertawa ngakak.
"Kapan itu?" selidik Dika.
"Sekitar awal Januari, saat libur semester 1."
"Itu sebelum kamu digantung?" tebak Bima.
"Sialan kamu Bim." Devin memukul lengan Bima. Bima terkekeh diikuti tawa yang lain.
Tiba-tiba tawa mereka terhenti begitu pintu ruang 1 terbuka. Tama dan David melangkah mendekati mereka.
Tangan Tama menyaut bunga di vas meja yang dilewati. Begitu sampai di depan Devin tiba-tiba ia berjongkok.
"Vin, maafkan aku. Aku yang tak tahu malu. Aku berhutang banyak padamu. Kau serahkan saudaramu dan keluargamu agar boleh aku nikmati kasih sayang mereka. Tapi aku terlalu bodoh hingga hatiku tertutup tidak bisa melihat kebaikanmu. Aku malah membalasmu dengan pukulan dan kebencian." Tama terguguk. Devin masih melonggo. Yang lain ikut melonggo.
"Eh ., bangun, bangun … jangan gini Tam. Ini di tempat umum, ndak enak dilihat mereka," pinta Devin sambil mengangkat tubuh Tama supaya berdiri begitu ia menyadari situasi.
"Aku bersalah padamu. Karena ketidaktahuanku, aku jadi salah paham denganmu. Maafkan aku Vin," Tama kembali bersimpuh di depan Devin.
"Lho … lho … jangan begitu Tam. Ayo, bangun saja," kata Devin bingung. Spontan Bima dan Dika ikut membantu mengangkat tubuh Tama yang kembali luruh di depan Devin. Sementara tangis Tama semakin keras.
"Gila anak satu ini," keluh Devin setelah berhasil mendudukan Tama di kursi.
"Vid, sebenarnya kamu ngomong apa saja sama Tama?" Devin mrndelik ke arah David. Sementara David hanya senyum-senyum.
"Semuanya …" jawab David tanpa bersuara.
"Maafkan aku Vin, maafkan aku," katanya memelas masih dengan cucuran air mata.
"Diam dulu, hentikan tangismu," hardik Devin kesal.
"Tapi kamu memaafkan aku kan Vin?" ucap Tama memohon tanpa tangisan lagi.
"Iya, iya … aku maafkan," jawab Devin dongkol.
"Sungguh … kamu memaafkan aku?" tanya Tama ragu.
"Kalau aku bilang iya, ya iya … paham" hardik Devin.
Tiba-tiba Tama bangkit merangkul Devin dan mencium pipi kiri kanannya. "Terima kasih Vin, terima kasih …" Devin sempat shok. Begitu kesadarannya pulih, spontan mendorong keras tubuh Tama. Hampir saja Tama terjerembab kalau tidak ditahan dengan tubuh David.
"PABU … APA-APAAN KAMU TAM," teriak Devin marah-marah.
"Sabar … sabar … Vin. Tama hanya minta maaf, jangan overthinking. Lagian tadi kamu sudah memaafkan kan ya ...?" kata David dengan mata jenaka.
"Ini pasti ulah kamu. Kamu sengaja memancing Tama. Kamu sudah tahu aku paling tidak suka disentuh wajahku apalagi dicium oleh sembarang orang. Dasar pabu kamu …" Devin meracau uring-uringan. David semakin ngakak tawanya.
"Sekali-sekali ndak salah kan kalau aku ngerjain kamu. Paling ndak, walau sekali aku pernah balas ngerjain kamu." David kembali tertawa ngakak. Yang lain hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat Devin yang masih uring-uringan. Hanya Tama yang dari tadi melonggo.
"Jadi kamu ndak suka wajahmu disentuh apalagi dicium?" tanya Tama bingung.
"Sudah tahu nanyak" jawab Devin kesal melihat wajah Tama yang o'on.
"Maaf, aku ndak tahu Vin. David ndak pernah cerita soal itu. Dia bilang aku harus minta maaf di depan umum. Dia bilang, aku juga harus menunjukkan kejujuran dan ketulusan dengan caraku sendiri." Tama berusaha menjelaskan.
"Terus …" pancing Dika.
"Ya … spontan aku peluk dan cium Devin. Aku kan terbiasa dengan pelukkan dan ciuman," jawab Tama polos. Semua langsung tertawa mendengar jawaban Tama, kecuali Devin yang tetep cemberut.
Tiba-tiba suara Bertha menghentikan tawa mereka. "Tama, timmu bisa bantu beres-beres di dalam ndak?"
Pandangan Tama beralih ke Bertha. "Mau diberesin sekarang Tha?"
"Ho oh, sebentar lagi waktu kita sudah habis dan tempat tadi mau segera di-setting ulang agar bisa ditempati oleh pelanggan lain. Sementara, bagi yang masih pingin ngobrol bisa ngobrol dengan santai. Yang penting semua sudah beres."
"Ok, yuk …," ajak Tama sama Dika dan Bram.
"Sebelum cabut, sekali lagi aku minta maaf ya Vin. Tolong dimaafkan ya …," dengan mata memohon. Bertha yang tidak tahu apa-apa hanya celingak-celinguk mencari jawab tapi semua hanya angkat bahu.
"Iya, iya aku maafkan. Dah sama pergi …," usir Devin.
Okey, kami cabut dulu, ntar malem kita jadi ngumpul di rumah siapa…?" tanya Tama.
"Ntar malem ndak ada acara kumpul-kumpul" jawab Devin sengak. Yang lain tertawa mendengar jawaban Devin. Yang bengong bukan hanya Bertha tapi Tama juga.
"Nanti ngumpul di rumah bokap aja, Devin dan Dena juga nginep di sana," usul David.
"Siap… " jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian Tama mengikuti Dika dan Bram yang berjalan di belakang Bertha.
Bersambung ...