"Terima kasih Deri, tapi maaf kali ini pun aku tetep bilang tidak bisa," jawab Ella hati-hati.
Ella memegang tangan Deri yang menatap sendu. "Jangan pernah ragukan aku. Di hatiku tetap ada tempat khusus untukmu dan ndak bakal tergantikan. Kamu adalah kakak terbaik yang aku punya," Mata Ella mengerjap-kerjap.
Deri tersenyum dan mulai mengacak rambut Ella. "Kapan "ka" berubah menjadi "ke"?"
Ella mengernyitkan kedua alisnya. "Apa maksudnya "ka"menjadi "ke"? Aku kok bingung ya?" Ella menatap tajam Deri berharap menemukan jawaban.
"Tadi kamu posisikan aku di hatimu sebagai apa?"
"Kakak … ," jawab Ella singkat.
Tiba-tiba matanya berbinar. Jadi "ka" di sini yang divaksud kakak. Ooo … I see … I see … ." Ella tersenyum geli.
Kemudian dia bengong kembali. "Lalu "ke" itu maksudnya apa?"
"Apa permintaanku yang selalu kamu tolak?" Deri memberikan clue dengan santai.
Ella langsung menunduk. "Aku ndak bermaksud menolakmu tapi aku ndak bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku sayang kamu hanya sebatas kakak adik bukan sebagai … ." Sejenak Ella terdiam seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Jadi "ke" itu kekasih … Hahaha … kamu emang lucu … selalu bikin aku tertawa " Ella tertawa sambil menghujani pukulan-pukulan manja pada Deri. Deri hanya tersenyum masam.
Deri meraih tangan Ella dan menatapnya lembut. "Kamu suka?"
Ella menganggukkan kepala. "Pastilah … aku suka, ini cukup menghibur ..." Tawa Ella kembali terdengar.
"Kalau suka, kita pacaran yuk …," ajak Deri kemudian disusul cengiran akibat tabokkan keras dari tangan Ella.
"Mulai lagi … dibilangin takdir kita ini kakak dan adik. Apalagi saat ini, ada seseorang yang sedang aku tunggu," ucap Ella sambil tersenyum.
"Siapa? Devin kah?" cerca Deri.
"He eh … kamu kok tahu?" tanya Ella berbinar.
Deri menatap tajam. "Aku mengenalmu mulai dari bayi. Aku tahu tentang kamu lebih dari yang kamu ketahui. Tapi apakah kamu yakin Devin memintamu menunggu?" desak Deri.
Ella tersenyum sambil memainkan sedotan di gelasnya. "Ya … aku yakin. Dia bilang untuk saat ini tidak punya waktu untuk pacaran. Dia mau fokus belajar untuk menghadapi ujian akhir." Senyum Ella kembali merekah di wajah yang bersemu kemerahan.
"Apakah kamu yakin Devin mencintaimu?" kejar Deri.
"Dia bilang tidak membenciku," jawab Ella mata berbinar.
Deri menarik dan menghembuskan nafas panjang dengan sedikit kasar. "Tidak membenci bukan berarti mencintai La … ."
"Aku yakin dia mencintaiku. Percakapan kami terakhir dia bilang begitu," jawab Ella agak sengol.
Deri kembali menatap dengan tajam. "Sekali lagi La … yakin Devin mencintaimu? Yakin kamu tidak salah dengar?" Suara Deri mengintimidasi.
Wajah Ella dipenuhi amarah. "D E R I … mengapa kamu mulai tidak percaya padaku? Katamu, kamu ikhlas asal aku bahagia tapi mengapa di saat aku bahagia kamu malah meragukanku?" Suara Ella meninggi dan balas melotot.
Sedetik kemudian Ella pergi meninggalkan Deri. Baru kali ini Deri melihat Ella yang biasanya manis manja membentaknya. Deri masih terpana sampai sosok Ella menghilang dari pandangan.
(Flashback off)
Ahhh … dadaku tambah nyeri. Deri memegang dada kirinya. Sementara tangan kanannya meraih laptop yang sempat melorot dari pangkuannya.
Pelan-pelan dengan 2 tangannya, laptop itu diletakkan di lantai. Deri berulang kali menghirup dan menghembuskan nafas panjang. Sementara tangan kanannya memegang dada sebelah kanan.
Setelah beberapa lama, nafasnya kembali teratur. Deri kembali mencermati 4 kamera yang dipantau dari layar laptop. Namun perhatiannya kembali terpecah.
Mengapa Ella begitu yakin kalau Devin mencintainya? Apakah memang aku yang salah menangkap sinyal itu? Tapi tidak mungkin, aku yakin dengan apa yang kulihat dan kudengar saat nonton final DBL. Ada cinta di mata dan bahasa tubuh mereka.
(Flashback)
Devin berdiri tepat di belakang Dena. Kedua tangannya memegang bahu Dena. Dengan postur yang tinggi dan bervolume, ia dengan mudah mengendalikan pergerakkan agar tidak jatuh akibat desakan dari segala arah. Awalnya Dena merasa kurang nyaman tapi akhirnya dia berusaha memaklumi.
Penonton hari ini sungguh luar biasa antusiasnya. Selain babak final, pertandingan ini mempertemukan musuh lama. Musuh yang sering bertemu di babak final dari generasi ke generasi. Semua pendukung kedua tim sama-sama tahu bahwa kekuatan kedua tim tersebut sama bagusnya, bisa dikatakan keduanya seimbang.
Dalam kerumunan, Devin berusaha menstabilkan posisinya agar tetap lurus dalam antrian yang mengular. Selangkah demi selangkah, akhirnya Ia dan Dena bisa mencapai pintu masuk.
Tangan Devin langsung menggenggam tangan Dena. Tubuh Dena membeku. Namun Devin tidak menghiraukan. Ia bergegas menuntun Dena di antara deretan tempat duduk sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
"Mereka ada di deretan pojok kanan," bisik Devin tiba-tiba berhenti dan mencondongkan badannya ke belakang ketika melihat spanduk bertuliskan nama sekolahnya.
"Aduh …" Dena mengusap-usap dahinya yang terbentur punggung Devin karena tiba-tiba berhenti.
"Maaf ..., maaf …, sakit ya …" Spontan Devin ikut mengelus dahi Dena.
Dena melotot. "Eh ...ndak kok, cuma kaget … ," jawab Dena menarik kepalanya menjauhi tangan Devin. Karena terlalu ke belakang membuat keseimbangan Dena goyah. Melihat tubuh Dena yang hampir roboh, dengan sigap Devin menarik tangan Dena. Akibatnya Dena jatuh dalam pelukkan Devin.
"Kamu ndak pa-pa?" tanya Devin.
"Ndak …." Dena menggelengkan kepala sambil mengurai pelukkan Devin. Keduanya tampak canggung.
"Ayo, kita duduk di sana." Devin mengalihkan topik begitu melihat Dena membuang tatapannya ke samping. Sambil menuntun Dena menuju deretan suporter tim sekolah Nusantara, ada sekilas senyum tipis menghias di wajah Devin.
"Bu Dena … Bu Dena … ," teriak Bertha dan beberapa anak cewek bersahutan di sela-sela sorak-sorai penonton final DBL memperebutkan juara 3. Dena langsung melepaskan gandengan Devin dan melambaikan tangan ke arah mereka. Kemudian Dika bergeser memberi tempat ketika Dena sampai. Dena duduk di paling pojok, di belakang deretan Bertha. Kemudian Devin menyusul duduk di sebelahnya.
"Tim kita kapan main?" bisik Devin pada Dika.
"Sebentar lagi, agak mundur karena pertandingan ini ada perpanjangan waktu karena skornya sama." Devin mengangguk pelan. Kemudian dia memutar kepalanya ke arah Dena.
"Tim kita akan main sebentar lagi," bisik Devin ke telinga Dena. Dena menganggukan kepala tanpa mengalihkan pandangannya ke lapangan. Tiba-tiba peluit panjang berbunyi tanda pertandingan berakhir dan disambut dengan tepuk sorak-sorai.
Selama menunggu pertandingan final Dena lebih banyak diam. Sesekali nimbrung obrolan dan guyonan Bertha, Sisil, Maya, dan Nada yang duduk persis di depannya. Untuk sementara, ini sangat membantu menjauhkan Dena dari Devin, sekaligus mengalihkan perasaan malu Dena atas kejadian tadi.
Tak lama kemudian peluit panjang dibunyikan, gerombolan Bertha kembali ke posisi semula.
"Nih, ambil … tadi dikasih anak-anak." Devin menyerahkan sepasang balon tepuk.
"Terima kasih," jawab Dena datar hanya melirik sebentar ke arah Devin. Kemudian dia alihkan pandangan ke lapangan. Devin hanya tersenyum melihat Dena salah tingkah.
Kemudian keduanya berusaha fokus menonton pertandingan. Sesekali Devin mencuri pandang ke arah Dena. Sementara Dena berusaha mati-matian untuk tetap mengarahkan pandangan di lapangan. Sesekali ikut bersorak.
"Sebentar lagi saya lulus. Ingat ada janji yang harus digenapi," tiba-tiba Devin berbisik.
"Janji... janji apa?" tanya Dena sekilas melirik dan dibuat bengong.
"Tentang masa depan," bisik Devin pelan tapi cukup jelas di telinga Dena walau di tengah hebohnya sorak-sorai penonton final DBL.
"Oh .. masa depan… masa depan siapa?" Dena terbengong lagi. Sedetik kemudian, Devin kembali bersorak menyemangati teman-temannya di lapangan. Dena terpaku menatap Devin tapi ia tidak menemukan jawaban.
Belum genap nyawanya kembali, Devin kembali mensejajarkan wajahnya dan menatap dalam. "Masa depan kita," bisiknya mantap dan mengambil balon tepuk di kedua tangan Dena.
"Ha… ." Dena mendelik. Lepasnya balon tepuk dari tangan telah mengembalikan kesadaran Dena. Senyum Devin masih menghias di bibirnya ketika tanpa sengaja ujung mata mereka saling bertemu.
Baru saja Dena kembali memusatkan perhatiannya pada pertandingan, tiba-tiba Dena terpental ke samping karena terdorong seseorang yang lari menyenggol bahunya. Tubuh Dena oleng ke arah Devin. Spontan, Devin melepas balon tepuk dan secepatnya menangkap tubuh Dena.
Akibatnya tubuh Dena masuk dalam pelukkan Devin untuk kedua kalinya. Hampir saja keduanya terjerembab ke bawah. Untung saja, Devin mampu menyokong tubuh Dena.
"Eh … kalau lari lihat-lihat ya … jangan asal main tabrak," teriak Maya yang kebetulan menoleh ke belakang. Sementara yang diteriaki sudah menghilang dari pandangan.
Beberapa dari mereka merespon teriakan Maya. Beberapa yang lainnya menyaksikan Dena jatuh dalam pelukkan Devin.
Yang tidak mereka tahu, kedua pasang mata itu saling memaku. Walau sesaat, bias rona merah menghias di kedua pipi Dena. Sementara senyum Devin tak lepas dari wajahnya. Dena bergegas melepaskan diri dari pelukan Devin.
Ternyata tanpa mereka ketahui, dari tadi Deri yang duduk 3 baris di belakang sudah mengamati mereka sejak memasuki pintu stadion. Dari jauh, siapa pun yang melihatkan tak bakal menyangkan kalau keduanya berstatus guru dan murid. Kedekatan mereka telah membentuk ikatan yang lebih kuat dari hubungan pertemanan tetapi bukan pula seperti kakak dan adik.
Awalnya, Deri sempat ragu. Namun sinyal itu sering muncul dan semakin tebal. Dan hari ini, sinyal itu bertambah kuat. Dari tatapan mereka berdua, Deri bisa menangkap aura yang saling melempar dan menerima sinyal dengan harmonis. Semakin mendekat semakin berbaur dan menyatu.
(Flashback off)
Kalau dicermati lagi, sepertinya ada yang aneh. Mengapa Ella bisa begitu yakin kalau Devin mencintainya? Apakah Ella yang salah mengartikan perhatian dan ucapan Devin? Ataukah Devin yang memang sengaja mempermainkan Ella karena dia tahu Ella sangat mencintainya.
Tangan Deri mengepal. Tubuhnya bergetar. Matanya mencorong tajam pada layar laptop. Kalau ini yang terjadi, aku pastikan kamu merasakan balasannya. Sekarang kamu bisa tertawa tapi itu tak kan lama.
Deri tersenyum licik. Matanya memincing menatap sosok anak kecil di salah satu kamera di layar laptopnya. Kamu harus merasakan penderitaan Ella selama ini. Panggung untukmu sudah disiapkan. Sebentar lagi layar akan segera dibuka. Ini baru permulaan.
Bersambung …