"Mengapa Ibu tiba-tiba senyum-senyum? Ada yang lucu ta?" celetuk Devin mulai kesal.
Bu Tanti mengangguk-angguk kecil melihat tingkah Devin. Bibirnya yang melengkung membentuk senyuman kembali datar. "Eh … sebentar, kenapa di semua peristiwa selalu ada Bu Dena? Kenapa pula yang nangis Bu Dena yang sewot malah kamu, sampai adu jotos dengan Pak Sony?" desak Bu Tanti mengurung tatapan ke manik Devin.
Devin menggerakkan bola matanya ke segala arah, berusaha menghindar dari sorot tajam Bu Tanti. "Ya ... karena kami memang dekat," jawab Devin cepat dan sedikit terbata.
"Sedekat apa?" Bu Tanti semakin mendekatkan wajahnya.
Devin spontan menarik tubuhnya ke belakang. "Pokoknya dekatlah … Makanya aku, eh … saya ndak terima kalau Bu Dena di-bully sama Pak Sony apalagi sampai nangis." Bu Tanti terdiam sesaat hanya dahinya yang kembali berkerut. Devin menggunakan kesempatan menggeser tubuhnya ke samping sehingga terbebas dari kungkungan mata Bu Tanti.
"Aku saja tidak pernah membiarkannya sedih apalagi menangis. Seenaknya saja dia menyakiti," grundel Devin lirih tapi cukup jelas tertangkap telinga Bu Tanti.
Bu Tanti langsung menggeser duduknya menghadap Devin kembali. "Heh … maksudmu apa ini?" Devin kembali menarik tubuhnya ke belakang.
"Ya .. ndak ada maksud apa-apa," jawab Devin lirih sambil matanya melenggak-lenggok menghindari tatapan Bu Tanti.
Dengan lipatan dahi yang semakin banyak, Bu Tanti segera menyebrang ke kursi yang lebih dekat ke Devin. "Saya yakin, kamu membela Bu Tanti bukan hanya karena dia wali kelasmu tapi pasti ada alasan yang lebih signifikan …," selidik Bu Tanti dengan suara dalam dan mata menyipit.
Devin menjawab dengan cengiran menahan sakit akibat cengkeraman tangan Bu Tanti di lengannya. "Jujur sama saya."
Namun yang keluar dari mulut Devin hanya suara mengaduh akibat cengkeraman tangan Bu Tanti semakin menguat. "Sakit … sakit … Tanganku sakit … ," teriak Devin dengan tangan satunya memegang tangan Bu Tanti.
"Oh … maaf." Bu Tanti langsung melepaskan cengkeramannya. Buru-buru Devin mengangkat lengan baju, pelan-pelan mengelus-elus lengannya.
"Lihat ni sampai membekas tato merah berbentuk tangan." Devin menyodorkan lengannya ke arah Bu Tanti.
"Ini namanya kekerasan. Kalau pihak Pak Seto sama KPAI tahu, Ibu bisa dituntut." Suara Devin bernada provokatif.
"Ndak usah cemeng. Ndak usah mengalihkan permasalahan." Bu Tanti melotot ke arah Devin.
"Eee … " Devin berusaha menghindari tatapan Bu Tanti yang berusaha mengunci.
"Ndak usah main-main. Saya pernah seusia kamu tapi kamu belum pernah seusia saya." Nada intimidasi mulai tercium.
"Kalau ibu tahu, ibu juga pasti bisa memahami bagaimana dinamika psikologi remaja, di mana kami sedang mencari identitas, membangun pertemanan, dan mulai mengenal cinta lebih dalam. Dengan emosi masih labil kadang meluap-luap tapi bukan berarti liar. Jadi izinkan saya menjalani hubungan ini agar masa remaja ini jadi semakin asyik." Mata Devin mengerjap-kerjap dan ada senyum di wajahnya.
"Hubungan apa yang seperti apa yang kamu maksud?" Nada intimidasi semakin menguat.
"Hubungan pertemanan, mau hubungan seperti apa lagi? Apa Ibu mengharapkan ada hubungan yang lain?" jawab Devin dengan senyum semakin lebar.
"Hubunganmu dengan Bu Dena, apakah Itu juga pertemanan?" Tekan Bu Tanti lagi.
"Kenapa ndak? Peran guru kan bukan hanya sekedar transfer pengetahuan atau keterampilan atau sebagai mentor atau konselor atau panutan. Guru juga berperan sebagai pengganti orang tua di sekolah dan ndak salah juga kalau guru juga berperan jadi teman buat siswa?" beber Devin dengan mantap.
"Teman? Teman yang seperti apa? Ndak bisa kamu samakan posisi Bu Dena dengan Ella?" kejar Bu Tanti.
"Kalo itu ya jelas bedalah … ," sahut Devin spontan.
"Kenapa juga mesti dibandingkan dengan Ella, ndak ada yang lain tah?" tambahnya lirih menggerutu.
Bu Tanti menoleh mengikuti gerakan kepala Devin yang kacau. "Emangnya ada apa dengan Ella? Kamu kan juga dekat dengan Ella?" desak Bu Tanti.
"Itu karena kami sama-sama terlibat dalam school production."
"Apa hanya karena school production?"
"Lha maunya ibu seperti apa?" jawab Devin dengan malas.
"Kalau Bu Dena dan Ella ndak bisa dibandingkan, berarti bagimu Bu Dena lebih dari teman?" kejarnya lagi
"Jelaslah ... Bu Dena guru dan Ella siswa," jawab Devin cepat.
Bu Tanti kembali menajankan tatapan ke arah Devin. "Dev, kamu bisa mengelabui orang lain dengan sikap celelekan tapi tidak bisa pada saya," selidik Bu Tanti.
"Wah ... itu suudzon, bisa dosa lho …," Devin langsung merespon.
"Ish … saat ini memang bukti belum terlalu kuat, tapi saya yakin kamu pasti ada "perasaan tertentu" terhadap Bu Dena," kata Bu Tanti yakin.
"Berasumsi tanpa dasar yang kuat bisa jadi fitnah, dan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, Ibu tahu itu kan?" Devin berusaha berbalik mengintimidasi.
"Sudah banyak bukti yang terkumpul, tinggal nunggu sedikit lagi," urai Bu Tanti dengan garis senyum di bibirnya.
Devin diam sesaat tak bereaksi. "Sebentar ..., yang Ibu maksud "perasaan tertentu" apakah cinta?" tanya Devin hati-hati.
Ibu Tanti mengangguk. "Iya, apa lagi kalau bukan cinta?" Mulai masuk perangkap, batin Bu Tanti.
"Saya akui, saya memang cinta sama Bu Dena. Apakah salah?" Mata Bu Tanti tampak berbinar.
"Saya juga cinta sama Bu Tanti, cinta Bu Broto, bahkan sama Pak Sony juga cinta. Cinta kan universal," Mata Bu Tanti berubah melotot melihat ada senyum dalam tatapan Devin.
"Kalau dengan Pak Sony cinta, mengapa main pukul?" tanya Bu Tanti asal.
"Lho berkelahi itu kan juga salah satu ekspresi cinta. Beliau saya pukul biar beliau sadar kalau saya tidak suka dengan sikapnya yang arogan. Itu kan berarti tandanya saya cinta." Senyum di mata Devin berbinar.
Bu Tanti hanya geleng-geleng. "Ah, sudahlah ... urusan hati memang tidak mudah ditebak. Yang jadi masalah kalau kamu tidak bisa menempatkan diri. Kamu siswa dan Bu Dena guru. Untuk sementara, saya terima penjelasanmu."
Bu Tanti menatap Devin dengan tajam. "Tapi ingat, jangan pernah melewati batas yang ada. Saya orang pertama yang akan meminta perhitungan denganmu. Karena bagaimana pun juga pihak yang akan banyak dirugikan adalah Bu Dena."
"Belum tentu dirugikan, siapa tahu itu menjadi berkah buat kami," jawab Devin santai.
"Jangan main-main Vin. Jangan pertaruhkan kehidupan orang lain demi egomu," bentak Bu Tanti.
"Apakah saya terlihat sedang main-main?" Wajah Devin kembali serius.
"Saya memukul Pak Sony dengan serius. Kalau tidak serius mana mungkin saya sekarang berada di ruangan ibu." Hawa dingin semakin menyebar.
"Ibu tunggu saja, saya akan buktikan. Ini hanya masalah waktu," janji Devin.
"Baik, kalau itu maumu. Sekali lagi saya tekankan, JANGAN PERNAH MELEWATI BATAS SELAMA ANDA MASIH DI SEKOLAH INI." Suara Bu Tanti pelan tapi dalam.
"Akan saya stabilo pakai warna kuning biar kelihatan mencolok," jawab Devin dengan nada normal.
"Baik, kita kembali ke masalah utama." Bu Tanti menjeda. Dalam waktu berurutan ia menghirup dan menghembuskan udara dari hidungnya sepanjang mungkin.
"Dalam hal ini, dilihat dari mana pun kamu tetep salah. Kamu sebagai murid dianggap kurang ajar karena memukul guru. Kamu harus minta maaf pada Pak Sony," perintah Bu Tanti.
"Lha, dia juga mukul saya. Brarti dia juga harus minta maaf sama saya," kelit Devin.
"Beliau memukul karena terpancing oleh pukulan-pukulanmu yang membabi buta," bela Bu Tanti.
"Pokoknya saya ndak mau minta maaf. Daripada minta maaf lebih baik kena skorsing." Suara Devin mulai meninggi.
"Hukumanmu sudah jelas, minta maaf dan skorsing 5 hari. Baca peraturan sekolah dengan cermat," urai Bu Tanti dengan tegas.
"Saya mau minta maaf kalau Pak Sony minta maaf pada Bu Dena," tawar Devin.
"Hubungannya apa dengan meminta Pak Sony minta maaf sama Bu Dena? Ini masalah kamu dengan Pak Sony," tanya Bu Tanti heran.
"Jelas sekali hubungannya. Pak Sony sudah membully sampai Bu Dena menangis," jawab Devin yakin.
"Hati-hati Vin, seperti katamu berasumsi tanpa bukti bisa jadi fitnah," sindir Bu Tanti.
Devin langsung melotot. "Saya bicara tentang fakta. Jadi ndak mungkin fitnah."
"Apa kamu yakin kalau Bu Dena nangis gara-gara Pak Sony?" desak Bu Tanti.
"Yakinlah, saya jelas lihat sendiri," jawab Devin sedikit ngotot.
Bu Tanti gemes lihat kengeyelan Devin yang semakin ndak logis. "Ih gemes aku … pingin jitak."
"Tak …" Tiba-tiba Bu Tanti berdiri dan menjitak kepala Devin.
"Aduh … saya salah apalagi?" protes Devin sambil mengelus kepalanya.
Bu Tanti menatap kesal. "Kamu salah karena semakin lama semakin tidak logis. Bu Dena nangis karena sakit bukan karena dibully sama Pak Sony." Bu Tanti berjalan menjauh dari Devin.
Ekor mata Devin mengikuti langkah Bu Tanti. "Ha … sakit? Sakit apa? Wong waktu berangkat tidak ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa dia sakit. Tapi emang sih Bu Dena lebih banyak diam." Devin berusaha mengingat-ingat.
"Ah ... aku ingat, beberapa hari sebelum hari H dia uring-uringan terus, sedikit-sedikit marah. Hampir semua dari kami kena omelan, kayak bukan Bu Dena. Atau … jangan-jangan Bu Dena kesambet penunggu ruang basement sekolah. Buktinya, dia gampang marah dan kemudian nangis."
"Ngawur … " sahut Bu Tanti.
"Kalau sakit, dia sakit apa?" Devin tambah kepo.
"Hari pertama menstruasi," jawab Bu Tanti santai.
"Haaaa …" Mulut Devin sampai menganga lebar. Bu Tanti tersenyum melihat ekspresi wajah Devin yang beku.
"Dari pembahasan kita tentang cinta, itu cukup sebagai bukti yang kuat kalau tuduhan saya bukan sekedar asumsi, bukan fitnah," beber Bu Tanti.
Wajah Devin semakin membeku. "Kalau masih ingin menyangkal, saya bisa memutarkan rekaman pembahasan kita dari gawai saya." Bu Tanti menunjukkan gawainya.
Dengan santai Bu Tanti membuka pintu. "Silahkan diputuskan mau minta maaf atau skorsing. Anda punya waktu 1 hari untuk memikirkan. Besok jam 10 saya tunggu di ruangan ini." Devin mengangguk ragu dan melangkah menuju pintu.
"Jangan lupa, ajak orang tuamu juga," kata Bu Tanti sebelum Devin melangkah melewati pintu.
Devin kembali mengangguk. "Baik, terima kasih bu …," jawab Devin pelan.
Begitu Devin keluar, pintu segera ditutup. Bu Tanti bersandar di pintu. Ada kelegaan. Apalagi setelah tarikan dan hembusan nafas panjang keluar dari hidung. Sepertinya semua syaraf yang menegang selama menghadapi Devin mengendur.
"Huh … ternyata cukup menguras energiku. Untung saja, siswa seperti Devin ini ndak banyak. Coba kalau banyak, aku bisa-bisa jadi perawan tua. Heh … apa-apaan ini," guman Tanti menepuk jidat.
Bersambung ...