"Makan sayuranmu, Jacky. Ibu tidak mau memiliki sayuran busuk di tempat sampah."
Jacky, duduk di depan ibunya di meja makan, menusuk-nusuk sayuran di dalam mangkuknya dengan pandangan kosong.
"Kenapa kamu sebegitunya tidak menyukai sayuran?"
Si remaja menjawab. "Karena rasa mereka aneh? Tawar? Dan membuatku merasa menjadi sapi?"
"Jangan mengatakan hal konyol padaku."
Dengan hati tidak ikhlas Jacky menusuk sayur selada itu dan memasukannya ke dalam mulutnya.
Damn it..
Jacky benci sayuran.
"Beritahu ibu perasaanmu tentang sekolah baru."
Dia menghela nafas. "Sekolah baru, kelas baru, guru baru, semua yang baru."
Ibu cemberut. Jacky menyadarinya tapi tidak peduli.
"Besok hari pertamamu. Kamu tidak mau menyiapkan sesuatu? Gaya rambut baru?" Ibu menyeringai. "Kepribadian baru?"
Jacky tercengang dan mengangkat wajahnya. "Apa yang salah dengan kepribadianku?"
Ibu mengangkat bahu. "Tidak. Kamu adalah putri kebanggaan ibu. Ibu menyayangimu apa adanya."
Ibu masih menyeringai dan Jacky memasang wajah aneh.
Ibu menyelesaikan makan malamnya lebih dulu tapi tetap diam di kursinya menontoni putrinya yang makan dengan begitu enggan dan perlahan. Mida, merasa dirinya begitu terhibur melihat putri semata wayangnya menderita.
"Lyn."
Jacky mengangkat wajahnya mendengar panggilan itu. "Apa?"
Dia mengerutkan kening. Memiliki firasat buruk. Mida tersenyum lebar.
"Terimakasih sudah memilih ibu."
Jacky terdiam. Terperangah memandangi ibunya yang meletakkan dagu di atas kedua kepalan tangannya, tersenyum jahil padanya, tapi menyimpan arti yang lebih dari itu.
"Hm." Dia hanya bergumam untuk memberi jawaban. Jacky bukan anak yang banyak bicara dan Mida tau itu dengan baik.
Mida masih tersenyum. "Menurutmu berapa lama kamu akan menghabiskan makananmu? Haruskah ibu tidur, dan bangun untuk melihatmu masih duduk makan?"
Jacky cemberut. Dia juga tidak mau lama-lama tertahan disini hanya karena makanannya belum habis.
Makanannya hanya tersisa sedikit dan dengan pikiran serta hati yang dikeraskan, Jacky dengan cepat melahap semua makanannya dengan satu suapan besar.
"Wah."
Mida membuka mulutnya dan kemudian bertepuk tangan. "Anakku memang yang paling hebat."
Mida melihat putrinya yang langsung meraih air dan meminumnya cepat. Jacky kemudian berdiri dan menghampiri kamarnya.
"Tidurlah. Ibu sudah menyiapkan semuanya." Mida terkekeh.
"Hm."
Dengan itu Jacky membuka pintu kamarnya dan masuk. Dia berbaring sembari memasangkan earphone pada kedua telinganya. Dia tidur dengan suara musik mengisi telinganya.
***
"Good luck, dear. Putriku adalah gadis terbaik di dunia."
Jacky menyimak ucapan ibunya yang ditemani oleh suara kaca turun terbuka dan pintu mobil tertutup.
"Hm. Hati-hati ibu."
Mida menyeringai. Putrinya sangat menggemaskan. Setelah Jacky berbalik pergi memasuki gerbang sekolah, barulah Mida melepas injakan rem dan memutar stir mobilnya ke kanan.
Sedangkan Jacky, kembali berbalik setelah beberapa detik, menonton mobil ibunya melaju meninggalkan kawasan sekolah. Baru ketika mobilnya sudah cukup jauh, dia kembali melanjutkan langkahnya memasuki kawasan sekolah barunya.
Ada beberapa pasang mata yang mengambil lirikan kearahnya. Laki-laki dan perempuan. Jacky mengabaikannya sebagai angin lalu. Dia langsung menuju ke kelasnya. Tidak perlu menemui wali kelas ataupun memberitahukan kedatangannya.
Dia bisa melihat tatapan anak-anak padanya. Sosok baru yang sebelumnya belum pernah mereka lihat di sekitar kelas, memiliki wajah datar dan mengeluarkan aura yang seolah meneriakkan 'aku adalah murid SMA yang pendiam dan tidak pandai bersosialisasi' berjalan kecarah kelas mereka.
"Eh, dia. Siapa?"
"Hm.. anak baru?"
"Tapi Bu Indri tidak bilang akan ada anak baru."
"Mungkin bukan kelas kita? Kelas sebelah?"
"Tapi dia ke arah kelas kita."
"Oiya."
Jacky bersikap tidak mendengar apa-apa dan langsung masuk ke dalam kelas.
"Hai.."
Seorang murid perempuan terlihat bangkit dari duduknya, menunda obrolannya dengan teman-temannya.
"Kamu.. Anak baru?" Anak itu berucap hati-hati.
Jacky terdiam sebentar sebelum membuka mulutnya. "Iya."
Perempuan di depannya memberi senyum. "Namaku Abigail. Panggil aja Abi. Aku ketua kelas. Udah tau duduk dimana?"
Jacky terdiam lagi. "Belum."
"Bi. Dia duduk sama aku aja." Salah satu anak perempuan yang ada di perkumpulan Abigail bersuara, mengangkat tangannya dengan senyum lebar.
"Ma. Kamu memang yang terbaik." Anak lain mengayunkan tangannya. Tertawa jahil kearah anak tadi.
"Nah, iya. Kamu namanya siapa?" Abigail bertanya.
Jacky masih dengan tingkah biasanya. Terdiam dulu sebelum menjawab. Tapi sebelum dia mengeluarkan suara Abigail sudah bersuara lebih dulu.
"Jacquelyn? Wow. Nama kamu bagus. Aku bisa panggil kamu apa? Lyn? Jacky?"
Abigail pasti melihat bordir nama di seragam Jacky.
Jacky terdiam, sedikit terperangah dengan antusiasme anak didepannya.
"Terserah." Dia menjawab pelan.
Abigail dan teman-temannya yang masih duduk, menonton teman mereka berdiri berhadapan dengan si anak baru terdiam.
Mereka semua memiliki pemikiran yang sama.
Dia anak pendiam.
Abigail kembali memasang senyumnya. "Aku bakal manggil kamu dengan dua panggilan itu. Jacky, kamu pasti mau menaruh tas kan? Pasti berat. Buku yang harus dibawa hari ini memang banyak. Sini." Dia memberi kode pada Jacky untuk mengikutinya.
Jacky dibawa ke meja di tengah kelas.
"Disini. Kamu bakal duduk sama dia. Namanya Haima."
Abigail menggerakkan dagunya kearah anak tadi, yang kembali mengangkat tangannya dengan senyum kearah Jacky dan Abigail.
"Sekolah swasta. Muridnya tidak banyak. Benar kan?"
Abigail tersenyum pada Jacky yang menggerakkan tangannya melepaskan lengan tas dari bahunya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Semuanya berteman disini. Kamu pasti bisa beradaptasi dengan cepat. Jangan lupakan nama dan muka ku. Abi. Kalau ada perlu bicara saja, oke?
"Kamu juga bisa bicara ke Haima nanti. Dia anak estrovert. Mungkin keterbalikan dari kamu. Tapi kalian pasti bisa mejadi teman semeja yang baik. Kita bisa mengobrol nanti. Sekarang kamu duduk dulu saja, oke?"
Abigail sudah paham dengan karakter orang dengan beragam kepribadian. Anak seperti Jacquelyn, yang masuk ke sekolah dan kelas baru dengan kepribadian pendiamnya, harus didekati dan diberi ruang. Kalau Jacquelyn lebih nyaman sendirian, maka Abigail dan teman-temannya akan membiarkan anak itu sendirian. Tapi jika suatu saat Jacquelyn memutuskan untuk bicara dengan mereka, maka Abigail dan teman-temannya akan menerimanya dengan tangan terbuka.
"Hm. Makasih."
Abigail memberi senyum dan menepuk pundak Jacky pelan sebelum kembali ke kursi yang ada di sekitar teman-temannya.
Jacky tidak memandang kearah Abigail dan teman-temannya lagi dan langsung meletakkan ranselnya di kursi kosong di sebelah bangku dengan tas milik Haima, sebelum duduk.
Jacky mengeluarkan salah satu buku dari tasnya dan membacanya. Abigail dan teman-temannya, dari jauh melihat kearah sang anak baru dan menonton gerak geriknya. Mereka saling berpandangan dan membuat persetujuan tak tertulis melalui tatapan mata mereka.
Jacky yang sedang melihat isi buku pelajaran barunya menyadari pandangan dan bisikan-bisikan orang disekelilingnya tapi bersikap tidak tahu. Anak-anak di sini seolah terbagi menjadi dua kubu. Laki-laki dan perempuan. Yang perempuan adalah Abigail dan teman-temannya. Sedangkan kubu laki-laki adalah para murid laki-laki yang kini sedang asik dengan kegiatan mereka di sisi kanan Jacky.
Semenit kemudian bel berbunyi. Semua anak bangun dari perkumpulan mereka dan menghampiri bangku masing-masing. Anak perempuan yang bernama Haima akhirnya menghampiri Jacky, duduk di bangkunya, dengan senyum yang seolah tidak pernah pergi dari wajah itu.
"Jacky, kan? Aku Haima. Kamu pendiam, tapi aku yakin kita bisa berteman baik."
Haima mengulurkan tangannya. Memberi kode pada Jacky untuk menjabat tangannya. Dengan hati-hati Jacky menggapai uluran tangan itu dan menjabat tangan Haima.
"Iya."
Haima menerima jawaban singkat tapi tidak merasa masalah sama sekali. Dengan senyum diwajahnya dia berbalik mengambil buku dari tas dibelakangnya.
"Kamu tau pelajaran pertama apa?"
Jacky menjawab pelan. "Bahasa Indonesia?"
Haima mengangguk. "Benar. Gurunya namanya Bu Mia. Wali kelas kita namanya Bu Indri, tau kan?"
Jacky mengangguk. Tak lama dua anak perempuan berjalan kearah meja dibelakangnya.
"Oh bener. Anak baru Za."
"Nama kamu siapa?"
Keduanya berujar bergantian. Haima menontoni Jacky yang membuka mulutnya dengan sangat lambat.
"Jacky."
"Oh. Aku Eliza. Panggil aja Iza. Dia, orang gila ini, Afra. Panggil Afi saja."
Anak yang bernama Afra tersenyum lebar. "Hahahah. Tapi dibandingkan denganku, Haima lebih parah."
Haima tertawa lepas.
"Iya kan darl?"
Afra berkata pada satu anak laki-laki yang duduk dikanan depan Jacky. Si laki-laki menolehkan kepalanya kebelakang.
"Apa?"
"Aku sama Haima lebih gila siapa?" Afra tersenyum lebar.
"Tidak ada apa-apanya dibanding Dasteen."
Dia menjawab. Haima tertawa lagi. "Ivan sih tidak usah disebut lagi."
Jacky mengangkat alisnya. Eliza menyadari pergerakannya dan bersuara. "Kita punya teman terunik di 2-A."
Dia tersenyum miring. Afra terlihat menyadari sesuatu. "Eh iya. Ivan belum dateng?"
Eliza mengangkat bahu. "Pacarmu itu Arkan. Bukan Ivan. Untuk apa kamu mencari dia?"
Eliza dengan hati-hati menduduki bangkunya. Afra menyusul.
"Akan seru kalau dia terlambat dan disuruh push up oleh Bu Mia." Afra menyeringai. Tak lama kemudian sosok laki-laki dengan seragam berantakan dan gaya jalan songong masuk ke dalam kelas.
"Panjang umur."
Eliza menggerutu. Hampir semua anak menonton sosok Ivan yang berjalan kearah tempat duduknya. Kursi dipaling belakang, yang disebelahnya sebuah kursi sudah diduduki oleh seorang murid laki-laki yang menyeringai menonton Ivan berjalan kearahnya.
Jacky terperangah dengan gaya masuk anak yang bernama Ivan itu dan tanpa sadar menonton setiap gerak gerik si laki-laki. Ivan yang sudah duduk di bangkunya kemudian menyadari keberadaan Jacky.
"Itu siapa?"
Ivan bertanya pada murid disebelahnya.
"Anak baru."
Laki-laki yang duduk didepan Ivan memutar tubuhnya dan menjawab.
Ivan tidak menjawab dan mengalihkan pandangannya pada Jacky.
Jacky tidak peduli telah ketahuan memperhatikan orang, dan dengan cuek memutar balik tubuhnya menghadap depan.
"Hai Jacky. Aku Ilya. Dia Via."
"Aku Dewi."
"Aku Cessa."
Suara-suara itu datang dari kiri dan depan Jacky.
"Stop..." Haima mengangkat kedua tangannya dramatis. "Guys. Kalau kalian perkenalannya begitu Jacky tidak akan bisa ingat. Jacky. Mereka tidak penting.. Kamu cukup ingat namaku dan Abigail."
Haima bersuara. Mengundang sorakan dari teman-temannya.
Jacky tidak menanggapi dan kembali membuka bukunya.
Murid-murid itu tersenyum melihat betapa cuek dan pendiamnya si anak baru.
Tak lama kemudian sosok guru perempuan yang Jacky yakini sebagai Bu Mia masuk.
"Pagi."
""Pagi Bu.""
Anak-anak menjawab berbarengan. Bu Mia meletakkan barang bawaannya diatas meja dan mengamati anak-anak didepannya.
"Ivan. Tidak terlambat?"
Suara remaja laki-laki terdengar dengan nada jahil. "Sayangnya tidak."
Beberapa murid menggelengkan kepala mereka. Bu Mia mendengus.
"Tengil seperti biasa."
Dia kemudian menyadari keganjilan.
"Haima. Siapa dia?"
Haima dengan ceria menjawab. "Anak baru bu. Namanya Jacky. Bu Indri tidak memberi tahu?"
Bu Mia tampak menggerutu. "Wali kelas kalian memang usil. Coba kita lihat apa guru yang lain juga tidak tahu atau tidak."
Beliau memandang kearah Jacky. "Jacky? Kamu pindahan dari mana?"
Perhatian semua orang tertuju pada Jacky. Dia dengan tenang menjawab pelan. "Medan bu."
"Oh. Oke. Kita mulai belajar saja ya Jacky. Ini hari-hari awal tahun pelajaran baru. Kamu tidak tertinggal banyak."
Pelajaran dimulai. Hari pertama Jacky berjalan normal. Ketika istirahat Haima dan anak-anak perempuan lainnya selalu menyeret Jacky untuk makan dan mengobrol bersama mereka.
Jacky melihat bagaimana anak laki-laki dan anak perempuan begitu terpisah. Teman-teman barunya hampir tidak pernah bersosialisasi dengan para anak laki-laki, kecuali Eliza dan Afra yang sempat bertukar kata dengan beberapa anak laki-laki yang belum Jacky ketahui namanya. Bahkan Abigail si ketua kelas yang terlihat gaul tidak banyak bersosialisasi dengan anak laki-laki.
"Ivan pergi kemana lagi kira-kira?"
Anak yang bernama Dewi berkata. Mengundang perhatian teman-temannya, termasuk Jacky.
"Paling ngerokok diatas." Afra menjawab asal.
"Ck. Tidak mungkin. Ivan tengil tapi dia bukan anak norak yang ngerokok."
Via bersuara. Lewat jam istirahat Jacky sudah bisa mengingat nama dan wajah teman-teman barunya. Haima dan yang lain juga membantunya mengenali anak-anak laki-laki di kelas. Jacky bisa melihat semua orang didalam kelas. Makan, bermain hp, bermain gitar, atau bersenda gurau. Hanya Ivan Dasteen yang tidak terlihat dimanapun.
"Vi. Hanya kamu yang suka membela anak itu. Aku sekelas dengannya waktu kelas satu. Tidak ada yang berteman dengannya. Teman, tapi tidak dekat. Dia selalu asik sendiri. Dan sering keluar kelas entah kemana. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Kalau ada yang bertanya dia pasti bilang bukan urusanmu."
Cessa berujar, mengubah gaya bicaranya diakhir kalimat, meniru gaya bicara Ivan yang diingatnya.
"Fahri, Mathew, sama Dilan sepertinya mau mencoba mengajak anak itu untuk berteman. Tapi kita lihat saja nanti." Afra mengeluarkan pikirannya.
"Arkan juga sepertinya tidak tertarik untuk mengobrol dengan Ivan."
Abigail berkata, menujukan kata-katanya pada Afra.
Afra menaikkan bahu. "Dia pendiam. Dia cuma bicara dengan Tian."
"Kenapa dia mau pacaran denganmu? Siapa yang menembak duluan?"
Ilya menyeringai. Afra balas menyeringai.
"Aku. Dia lucu. Membuli nya adalah hobi ku."
"Ilya. Kamu belum tahu. Arkan menerima Afi karena teman gila mu ini tidak berhenti mengganggunya. Arkan terlalu baik untuk menuruti semua ocehanmu."
Eliza menyenggol lengan Afra keras dengan bahunya.
"Aw." Afra langsung mengusap lengannya.
Jacky hanya menyimak ucapan-ucapan teman-teman barunya tanpa mengeluarkan suara apapun.
Hari pertama sekolah selesai.
Teman-teman barunya bergerombol menemaninya keluar kelas menuju gerbang. Satu persatu pulang lebih dulu.
Dijemput orangtuanya, jasa jemput pribadi, atau menggunakan angkutan umum. Jacky sendirian di gerbang bersama anak-anak dari kelas lain yang tidak menganggap keberadaannya.
04/06/2022
Measly033