Chereads / Dia, Si Simbol Masalah / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

"Sampai jumpa besok, Jacquelyn."

Remaja laki-laki di belakangnya bersuara. Dengan mata ganas Jacky membalikkan tubuhnya. Melihat Ivan duduk di atas motornya. Helm menutupi kepalanya sehingga Jacky tidak bisa melihat ekspresinya. Tapi Jacky merasa bahwa remaja itu tengah tersenyum jahil. Dia kemudian memutar stirnya. Melajukan motor beranjak dari depan rumah Jacky.

Hari sudah mulai gelap. Bayangan tubuhnya sendiri menyulitkan Jacky dalam memasukkan kunci ke lubang pintu.

Jacky sedang memegang buku ketika Mida masuk ke kamarnya.

"Hi daughter."

Dia tersenyum ceria. Jacky mengangkat wajahnya sebentar dan langsung menundukkannya lagi.

"Bagaimana sekolahmu?"

"Baik-baik saja."

"Tidak ada yang mau kau ceritakan?"

Mida melihat putrinya tidak menjawab langsung terkekeh dan hendak berbalik. Namun di luar dugaannya putrinya berbicara.

"Bagaimana kalau aku melakukan sesuatu di luar sekolah?"

Mida menaikkan alisnya.

"Sesuatu di luar sekolah? Seperti apa?"

Dari kejauhan Mida melihat Jacky menggigit bibirnya. Hal yang sudah lama tidak Mida lihat dilakukan oleh putrinya.

"Seperti, bermain dengan teman."

Mida terkesiap. "Teman?"

"Ya." Jacky mengangkat wajahnya. Membalas pandangan Mida. "Apakah boleh?"

Mida agak tergagap. Beberapa kali dia membuka tutup mulutnya sebelum akhirnya berhasil mengeluarkan jawaban.

"Ya. Ya tentu! Bermainlah semaumu, Jacky. Hanya pastikan untuk selalu bisa dihubungi." Mida tersenyum sumringah. "Apakah ada yang kamu mau? Uang jajan mungkin?"

Jacky menggeleng. "Tidak. Aku tidak butuh apa-apa."

Mida tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang begitu. Beritahu ibu jika ada yang kamu butuhkan, mengerti?"

Jacky hanya bergumam sebagai jawaban. Tapi Mida sudah puas dan langsung keluar dengan wajah cerah.

***

"Bacalah kertas-kertas ini."

Jacky memberikan gumaman. Tangannya meraih tumpukan kertas yang ditunjuk Ivan dan mulai membaca isinya.

"Tidak ada petunjuk?"

Ivan mengangguk. Menunjuk tumpukan kertas lagi.

"Lihat itu."

Jacky mengambil tumpukan kertas pendek.

"Rumah sakit yang kemarin."

"Benar." Ivan mengangguk lagi.

Dia lalu menunjukkan dua buah gambar. Tercetak dengan kualitas yang bagus di kertas foto.

"Kau tau mereka siapa?"

"Kalau kau bertanya apakah aku tau siapa mereka, maka jawabannya adalah aku tidak tahu. Itukah yang mau kau tanyakan?"

Dua gambar itu masing-masing menunjukkan foto seorang pria di umur pertengahan.

Ivan terkekeh. "Aku pikir aku bisa membacamu tapi aku rasa aku salah." Dia mendengus. "Atau mungkin aku benar-benar bisa." Ivan menyeringai.

"Yang ini Dr. Medo. Dan yang ini Dr. Rick." Lanjutnya. "Mereka berdua bekerja di rumah sakit Sasma."

"Gambar yang aku silang adalah orang rumah Calisa. Yang warna hijau adalah rumah Medo dan Rick,"

"Kau memanggil dengan nama?"

"Mereka adalah tersangka kita. Tidak ada gunanya menggunakan panggilan hormat pada mereka."

Jacky mengernyit. Ivan menyeringai.

Dia melanjutkan. "Garis-garis merah itu adalah kemungkinan-kemungkinan jalur yang mereka lewati. Sekarang, kita bisa tanya orang-orang di daerah itu jika mereka melihat sesuatu malam itu,"

"Jangan gunakan 'kita'. Aku tidak punya kegemaran menyetop orang-orang dan melakukan wawancara."

"Sekarang aku semakin tertarik untuk mengenalmu, Jacquelyn." Ivan menjentikkan jarinya.

Jacky tidak menanggapi. "Pamanmu dan rekan-rekannya pasti sudah melakukan itu kan?"

"Sudah. Daerah tempat hilangnya Calisa adalah daerah menongkrong. Banyak ruko. Dan cctv. Seperti rumahmu."

Jacky mengingat adegan hari lalu dan langsung berwajah masam. Ivan tertawa.

"Tapi tidak ada foto yang di cetak atau gambar sketsa. Yang memberi kita asumsi kalau cctv dan warga sekitar tidak melihat apapun."

"Lalu?"

"Sekarang polisi dan pamanku harus berpikir kreatif. Dan kebanyakan orang-orang di kepolisian terlalu berkutat pada laporan tertulis dan payah dalam berpikir kreatif."

"Biar kutebak. Kau akan bergabung dalam kasus pamanmu dan menyelesaikan kasus Calisa dengan tanganmu sendiri." Jacky melanjutkan. "Sindrom pahlawan?"

"Ini akan menyenangkan."

"Aku tidak berpikir siapapun akan memberikan kita nilai satu digit pun untuk laporan rinci tentang bagaimana kita membuntuti dan mengacau orang asing."

"Ini bukan untuk nilai. Kau adalah murid yang pintar. Kau tidak punya kesulitan memperoleh nilai bagus di kelas. Bukan begitu?"

Ivan menyeringai. Jacky memicingkan mata.

"Dua orang tadi. Apakah mereka tersangka yang ditunjuk oleh pamanmu?"

"Tidak."

Alis Jacky tertarik ke atas.

"Tidak?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Mereka disingkirkan dari daftar tersangka."

Jacky tercengang. "Lalu kau mau menyelidiki dua orang yang sudah dikeluarkan dari kecurigaan oleh polisi?"

Ivan tersenyum jahil.

"Karena mereka disingkirkan aku jadi tertarik. Alibi mereka terlalu bersih. Pantas untuk dicurigai. Bukan begitu?"

Jacky merasa tidak nyaman melihat wajah remaja laki-laki itu. "Apa hubungan mereka dengan Calisa?"

"Mereka berdua dokter yang dipilih keluarga kaya Calisa sebagai dokter pribadi mereka. Khusus untuk Calisa."

"Apakah Calisa memilih penyakit?"

"Tidak. Hanya pemeriksaan rutin."

Jacky tidak bisa berkomentar. Ivan terkekeh.

"Kekayaan keluarganya jauh diatas keluarga kita. Ditambah dengan status perceraian."

Jacky mengerutkan kening. "Bagaimana kau tau ibuku bercerai?"

"Kau baru pindah dari tempat tinggal asalmu. Luar kota. Rumah baru tanpa sentuhan selera seorang laki-laki dewasa. Dan kau tidak terlihat seperti anak yang berduka."

Jacky kehilangan kata-katanya.

"Ada sesuatu yang harus aku ambil di rumah jadi kau juga pulang dan ganti baju. Aku akan menjemputmu."

Jacky tercengang. "Apa. Kau mau membawaku kemana?"

"Kau akan tahu."

Ivan menyeringai. Jacky langsung keluar dari ruangan yang disebut markas oleh laki-laki itu.

***

Ivan benar-benar muncul. Seperti kemarin. Menekan tombol bel berkali-kali hingga Jacky merasa dirinya tidak punya pilihan lain selain membuka pintu.

"Ini ada pada komputer Rick." Dia mengeluarkan sebuah kertas dari tas miliknya.

Jacky baru saja hendak bicara ketika suara seruan seseorang menarik perhatian kedua remaja di depan pintu rumah.

"Ivan!"

Ivan menoleh. Kedua alisnya terangkat naik.

"Oh, heeyy.... Alyas... Aku tidak tahu kau akan muncul."

Seorang remaja laki-laki. Terlihat lebih tua dari Jacky dan Ivan. Mungkin sudah lulus dan sedang berada di semester 1 atau 2 kuliah.

"Apa yang kau rencanakan?"

"Kau tidak bisa menghentikanku."

"Kau tau ini tidak hubungannya dengan," Dia melirik Jacky yang lebih pendek darinya. "Dengan temanmu ini."

Ivan mendengus. "Lalu apakah ini ada hubungannya denganmu? Kenapa kau kesini, Alyas. Aku tau alasannya bukan karena aku."

Jacky melihat pendatang yang dipanggil Alyas itu terlihat tidak nyaman.

"Bukan karena dia." Ivan melirik Jacky. Memasang senyum mengejek. "Dia bukan tipe perempuan yang kau suka. No offense, Jacquelyn."

Jacky mengerutkan kening melihat. Ivan membawa bawa dirinya dalam perang mulut antara dua tamu di depan rumahnya.

"Dengar, aku akan ikut dalam aksi nekatmu."

"Kalau aku mengijinkanmu ikut, kau tidak diperbolehkan untuk menceramahiku."

"Kalau kau tidak mau aku menceramahimu maka biarkan aku yang menyetir."

"Memangnya apa yang salah dengan cara menyetirku?"

"Kau membawa kabur mobilku dengan buru-buru dan membuat sen kiri dan justru berbelok ke kanan." Dia melanjutkan. "Dan kau tidak pernah menggunakan sen dalam menyetir."

Ini adalah perang mulut dimana Ivan tidak punya ketertarikan untuk menang. "Terserah." Dia menoleh dan menunjuk pada Jacky dengan jempolnya. "Tapi dia yang duduk di depan."

Alyas menoleh pada Jacky dengan kening berkerut. Jacky sudah berwajah masam.

"Dia tidak ikut." Ucap laki-laki itu.

"Oh dia akan ikut." Ivan mengangkat tangan kanannya dan merentangkan kelima jarinya di depan wajah laki-laki di yang sedikit lebih tinggi darinya. "Aku bertaruh 50 ribu kalau Jacquelyn akan ikut."

Dia membalikkan tubuhnya kearah Jacky.

Jacky memicing. "Aku tidak ikut."

"Aku serius pada ucapan soal akan menjadi teman sekelas paling menyebalkan yang pernah kau tau."

Jacky mengernyit tapi kemudian melihat Alyas yang menutup mulutnya dengan satu tangan. Seolah menahan mual.

Ivan melirik Alyas dan tersenyum lebar.

"Aku masih menyimpan kaos kaki waktu itu kalau kau penasaran."

Alyas menutup kedua matanya erat-erat. "Tolong jangan pernah menunjukkan kaos kaki itu lagi di hadapanku."

Jacky mengerutkan kening. Benar-benar bingung dengan skenario yang tengah terjadi di depannya.

Alyas kemudian menoleh pada Jacky.

Jacky menerima pandangan itu memasang wajah bingung.

"Jacqueline? Aku khawatir aku harus menyarankanmu untuk mengikuti kemauan Ivan."

Jacky kehilangan kata-kata dan berwajah masam begitu melihat wajah menyeringai Ivan.

04/06/2022

Measly033