Chereads / Dia, Si Simbol Masalah / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

"Apa?" Jacky tercengang.

Kita?

"Kita? Apa maksudmu? Kenapa kau membawaku kesini?"

Ivan mengambil lembaran kertas yang disatukan dengan clip penjepit dan mengulurkan dokumen itu kepada Jacky. Jacky terlihat ragu tapi tetap menerimanya dan melihat tulisan di kertas paling atas.

"....Ini," Dia mengernyit. "Dokumen, polisi?"

"Yup."

Jacky tercengang. "Serius? Kau punya kenalan polisi?"

"Pamanku." Ivan menyeringai.

Jacky mengerutkan keningnya. "Aku pikir dokumen seperti ini adalah rahasia? Pamanmu membiarkanmu membaca dokumen pekerjaannya?"

Ivan bergumam. Ujung bibirnya ditarik sedikit keatas. Matanya bergerak kesamping.

"Tidak. Tapi aku diam-diam mengambil salinan-salinan dokumennya."

Jacky hampir tidak bisa berkata-kata. "Kau nekat."

Ivan menaikkan kedua bahunya. Memasang senyum nakal.

"Bergabunglah bersamaku meneliti kertas-kertas ini. Kau akan menemukan hal yang menarik."

Jacky memalingkan wajahnya dari Ivan. Menunduk memandangi tumpukan kertas di tangannya, lalu mengangkat wajahnya ke arah meja yang bagian atasnya dipenuhi tumpukan dokumen, lalu kembali ke kertas di tangannya.

"Tidak. Aku tidak punya waktu untuk ini." Dia mendekati meja lalu menaruh dokumen pemberian Ivan dan meletakkannya miring diatas salah satu menara dokumen diatas meja.

"Apa?"

Ivan melongo. Memandang Jacky tidak percaya. Jacky kemudian membalas pandangan itu.

"Ini terlalu konyol. Kita hanya anak 2 SMA. Lebih baik fokus pada sekolah kita." Jelasnya to the point.

"Lebih baik kau segera kembali ke kelas, Ivan." Dia berbalik. Meninggalkan Ivan sendirian di dalam ruangan yang sebelumnya dia sebut sebagai markas.

***

Jacky mengenakan pakaian rumahnya. Dia baru akan mengenakan earphone-nya ketika sebuah suara bel menyita perhatiannya. Dia berniat untuk membiarkan orang di luar berpikir bahwa rumahnya kosong, dan akhirnya orang siapapun itu akan pergi. Tapi setelah pemencetan bel yang ke enam, orang diluar masih tidak beranjak pergi. Bel yang ketujuh adalah rentetan suara pembuat sakit telinga yang diakibatkan oleh tombol bel yang ditekan berkali-kali dalam ritme cepat.

Jacky mengerang. Dengan hati ogah dia beranjak dari kasurnya. Ponsel genggam dan earphone dia masukkan ke saku celananya. Dia menghampiri pintu depan.

Dia tengah menggeser logam bundar penutup lubang kaca intip ketika sebuah suara muncul.

"Bel yang bagus."

Seorang laki-laki seumurannya. Mengenakan kemeja belogo di saku dan celana abu-abu yang menunjukkan statusnya sebagai siswa SMA. Jacky bisa melihat jelas rupa keseluruhan orang di depan pintu karena orang itu berdiri menjauh dari lubang intip. Seolah ingin Jacky melihat penampilan yang tengah ia miliki.

Jacky berseru kearah dalam rumahnya. "Iya mah. Aku tidak akan membuka pintunya."

"Kenapa kau berpura-pura ibumu ada dirumah? Kau di dalam sana sendirian. Ibumu adalah seorang pekerja kantoran dan baru akan pulang ketika malam. Kau sendirian di dalam rumah hingga dia selesai bekerja."

Jacky mengernyit.

"Buka pintunya. Kau tau aku bukan orang jahat. Ada CCTV di depan rumahmu. Menyala dengan baik. Dan aku yakin bekerja dengan baik juga. Jika ada sesuatu yang terjadi polisi bisa langsung mengenaliku dan membuatku menjadi tahanan remaja."

Jacky mengerang dalam diam. Dengan hati tidak rela dia membuka kunci dan menekan genggaman pintu.

"Dan, tidak perlu berpura-pura ada ayah dirumah. Model rumahmu menunjukkan dengan jelas siapa yang memilih desainnya."

Ivan menyeringai di tempatnya berdiri.

Jacky mulai memicingkan matanya.

"Apakah kita sedang memainkan peran detektif dengan tersangka?"

"Whoa," Ivan membuat ekspresi tercengang. "Kau anak perempuan yang menarik, Jacquelyn."

Dia menyeringai. Jacky sangat yakin bahwa Ivan Dasteen tengah menggodanya. Mungkin membalaskan dendamnya karena dirinya sudah bersikap apatis kepada remaja laki-laki itu.

Jacky mengeraskan wajahnya. "Kenapa kau kemari?"

Sebuah seringai bisa langsung Jacky lihat di wajah remaja itu.

"Aku mau menunjukkanmu sesuatu."

Jacky mengerutkan kening. "Apa."

"Kita harus pergi. Ambil jaketmu. Beritahu ibumu kau akan pergi dengan seorang teman dan akan kembali di bawah jam 6."

Jacky mengernyit. "Dan kenapa kau berpikir aku akan mengikuti yang kau katakan?"

"Karena," Ivan menjeda. Membuat Arlyn memperhatikan gerak-gerik si remaja laki-laki dengan waspada.

"Karena aku sudah memutuskan." Ivan memasang senyum jahil. "Ketika aku sudah memutuskan sesuatu, maka aku akan membuat keputusan itu menjadi nyata." Dia berujar dengan percaya diri.

"Kau akan ikut denganku."

Ivan melihat Jacky yang menatapnya tajam. "Karena kalau tidak,"

Dia tersenyum. "Aku akan menjadi laki-laki paling menyebalkan kepada Jacquelyn si anak baru di kelas 2-A."

Jacky kehilangan kata-kata.

Ivan membalas pandangan Jacky dengan mata jahil namun kemudian dia mulai menggerutu.

"Oh ayolah Jacky. Aku sudah sangat senang ketika sosok anak yang kelihatan cerdas muncul di kelasku. Aku bersumpah hanya kau satu-satunya yang membuatku ingin mengajak berteman." Dia mengerang.

"Bertemanlah denganku. Please?"

Ivan memohon.

Jacky merasa dirinya kehilangan kata-kata. Remaja laki-laki didepannya membuatnya seolah dirinya tengah menghadapi seorang anak kecil yang merengek pada orangtuanya untuk dibelikan mainan.

Dia mengerang.

"Ukh, baiklah. Kuikuti kemauanmu." Dia berbalik. Hendak masuk untuk mengambil jaket. "Pastikan kita sudah kembali sebelum jam 6."

Jacky bisa melihat ekspresi Ivan yang berubah secepat kilat. Seolah dia tidak pernah memohon sejak awal.

"Santai saja."

Responnya pantas untuk dicurigai tapi Jacky tidak mau ambil pusing.

Meski enggan untuk mengakui, sebenarnya jauh di lubuk hatinya, dia cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya laki-laki itu ingin tunjukkan.

***

"Sudah siap?"

Ivan memasang senyum jahil. Jacky memutar bola matanya. Kunci rumah dia masukkan ke dalam saku jaketnya.

"Ayo." Ivan memiringkan kepalanya. Memberi isyarat agar Jacky mengikutinya menuju motornya.

Ivan duduk dan mengenakan helm nya. Dia lalu menyuruh Jacky untuk duduk di belakangnya. Jacky naik dengan hati setengah enggan.

Ivan membawa mereka berdua keluar dari kawasan perumahan Jacky. Jacky memperhatikan jalan. Dia baru saja pindah dari rumah asalnya. Dia belum pernah keluar rumah selain untuk ke sekolah. Dia tidak mengenal jalan sama sekali. Itu lah kenapa sebelumnya dia ingin menolak ajakan laki-laki yang kini tengah duduk di depannya. Menyetir kendaraan roda dua yang tengah ia tumpangi.

Seorang anak laki-laki yang terkenal sebagai anak yang bisa dibilang bermasalah. Tidak punya teman. Tiba-tiba mendekati dirinya. Menunjukkan sesuatu yang aneh. Yakni sebuah ruangan di bangunan sekolah yang tidak lagi terpakai. Berisi tumpukan dokumen polisi yang di ambil diam-diam dari pamannya. Sekarang dia mendatangi rumah Jacky. Memaksanya untuk ikut dengannya ke tempat yang belum Jacky ketahui apa.

Jacky mengernyit. Mulai menyesali keputusannya. Dia seharusnya tidak menanggapi bel berisik itu sejak awal. Beberapa tekanan bel terabaikan lagi dan anak laki-laki itu pasti akan menyerah.

Dia juga seharusnya tidak menanggapi ajakan laki-laki berumur 17 tahun yang mengajaknya keluar kelas di waktu istirahat. Dengan begitu dia pasti tidak akan dibuat melihat ruangan aneh berisi dokumen curian, dan pasti tidak akan berada di situasi ini.

Mengikuti ajakan seorang remaja bernama Ivan Dasteen. Ke tempat yang berada di wilayah kota yang belum sama sekali dirinya kenali.

Penyesalannya semakin memburuk begitu anak laki-laki yang duduk didepannya, membelokkan stir, membawa motor yang mereka naiki keluar dari jalan raya, dan masuk ke jalan yang lebih kecil dan sepi.

Jacky mengernyitkan keningnya lebih dalam. Satu tangannya meraih HP. Tangan satunya dia masukkan kedalam saku jaketnya. Dengan dahi mengerut dia mengetik nama ibunya. Mempersiapkan HP nya untuk langsung membuat panggilan begitu dia menekan deretan nomor.

Perasaan Jacky semakin memburuk begitu dia merasakan kendaraan yang dia tumpangi mulai melambat. Bergerak ke sisi jalan. Sebelum akhirnya dibuat berhenti.

Ivan menurunkan kakinya. Memutar kunci dan membuat motornya dalam keadaan mati.

"Jacky. Lihat kesana."

Jacky tidak bisa melihat ekspresi remaja didepannya tapi dia bisa menangkap seringai dari nada bicara anak itu. Dia mengikuti arah kepala laki-laki didepannya itu menoleh.

Dengan kening berkerutnya dia melihat sebuah bangunan rumah sakit swasta. Rumah sakit yang kecil. Hanya memiliki dua lantai, dan luasnya sekitar 20.000 x 10.000 meter persegi. Lampu tulisan menyala berbunyikan RS Sasma.

"Kasus-kasus yang pamanku miliki kebanyakan kasus-kasus remeh. Kasus-kasus yang bisa selesai hanya dalam kurun waktu seminggu. Tapi membaca dokumen-dokumen laporannya tetaplah membuatku terhibur." Laki-laki didepannya menjeda. "Tapi, ada satu kasus yang belum bisa diselesaikan oleh polisi dan pamanku."

Kalimat terakhir yang diucapkan Ivan membuat Jacky berwajah muram. Kedua remaja itu mengarahkan pandangan mereka ke bangunan yang sama.

"Calisa Akasia. Anak dari SMA 3. Hilang sejak bulan lalu."

04/06/2022

Measly033