Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 2 - Keputusan

Chapter 2 - Keputusan

Karin menjelaskan semuanya pada Miranda soal Jemmi yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya untuk merawat anak itu. Sama seperti Karin, Miranda juga terkejut dengan penjelasan itu. Dia sama sekali tidak menyangka soal hubungan Evelyn dan Jemmi.

"Evelyn sudah bohong sama kita, terutama sama kamu Rin," kata Miranda.

Dengan tatapan sendu, Karin mengangguk. Kemudian dia mengusap air matanya yang tiba-tiba saja meluncur dengan bebas membasahi pipi. Tangisan yang tidak bisa dia tahan lagi.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Miranda saat melihat Karin menangis.

Karina mengangguk untuk menyatakan kalau dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Padahal pikirannya sedang mengingat tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat dia berada di kelas satu SMA.

Waktu itu Karin curhat dengan Miranda dan Evelyn kalau dia menyukai Jemmi. Kedua sahabatnya itu berjanji bahwa mereka akan membantu Karin agar bisa dekat dengan cowok itu. Apa pun rela Karin lakukan, mulai dari mengerjakan tugas sampai menjadi orang yang sering disuruh-suruh Jemmi. Namun semua yang dilakukan Karin tidak membuat Jemmi berpaling padanya.

Hingga satu waktu, Karin merasa kalau dirinya tidak mempunyai kesempatan lagi. Akhirnya dia pun lebih memilih menganggap Jemmi sebagai seorang sahabat. Akan tetapi perasaan itu sampai saat ini belum juga mati.

"Rin, kamu enggak bisa kalau harus ngerawat anak ini. Dia bukan tanggung jawab kamu. Jemmi yang harus ngerawatnya sendiri. Lagian di rumahnya, Jemmi pasti punya pembantu yang bisa ngurus anak ini."

"Tapi, Mir...."

Miranda memegangi bahu sahabatnya itu. "Bukannya kamu mau kuliah? Selama ini kamu sudah belajar mati-matian buat lulus di universitas itu. Apa kamu mau lepaskan begitu aja?"

Jika taruhannya adalah kuliah, Karin akan merasa bingung. Miranda benar, sudah banyak waktu yang Karin lalui agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang dia inginkan. Sekarang dia sudah diterima, seperti apa yang diharapkannya.

"Kita antar anak ini ke rumah Jemmi," kata Miranda memutuskan sendiri.

"Mir," ucap Karin menahan Miranda saat cewek itu hendak menggendong anak Jemmi. "Jangan."

Miranda pun tidak jadi mengambil anak itu dan beralih pada Karin. "Kenapa jangan? Anak ini bukan darah daging kamu. Papa atau mamanya yang harus bertanggung jawab. Kalau mereka enggak bisa mengurus, harusnya Evelyn itu mikir buat menggugurkan anak ini."

"Miranda!" bentak Karin.

Bentakan Karin bukannya hanya mengejutkan Miranda tapi juga anak yang berada di tempat tidur. Anak itu menangis dan Karin segera menggendongnya. Soal mengurus bayi seperti ini sudah biasa Karin lakukan saat dia berada di panti asuhan dulu. Memang sudah sangat lama tapi Karin masih mengingat caranya.

Satu tangannya memegangi belakang leher anak itu dan tangan yang lain mengusap belakangnya. Cukup lama Karin membuat anak itu terdiam dari tangisnya dan kembali tidur lagi. Setelah tenang, Karin menaruh kembali anak itu ke tempat tidurnya.

"Maaf," ucap Miranda saat Karin melihat ke arahnya.

Karin tidak ingin membahas lagi apa yang dikatakan oleh Miranda tadi. "Aku harus mikirin buat mutusin mau ngurus anak ini atau enggak."

"Karin ... enggak perlu," ucap Miranda lagi, "kembalikan anak ini ke papanya."

"Mir, biarkan aku mikir soal anak ini."

Miranda akhirnya mengalah juga dengan Karin. Dia pun setuju untuk membiarkan Karin memikirkan apa yang ingin dia pilih. Namun Miranda tetap meyakinkan Karin untuk meneruskan kuliahnya.

"Rin, ingat ya kuliah lebih penting. Bukannya kamu mau jadi dokter?"

Karin hanya memasang wajah datar, tanpa diingatkan pun dia tahu tentang cita-citanya yang sering kali dianggap tidak masuk akal dengan orang lain. Harus menghidupi diri sendiri dan tidak bisa les di tempat yang bergengsi membuat orang lain memandang remeh ke arah Karin. Semua orang berkeyakinan bahwa dia tidak akan mampu masuk jurusan kedokteran seperti yang diinginkannya.

Namun Karin bisa mematahkan anggapan orang-orang. Dengan keterbatasan, Karin belajar dari buku yang dipinjam di perpustakaan umum dan di kampus Miranda. Karin berhasil diterima di jurusan kedokteran sekaligus mendapatkan beasiswa.

"Makasih ya Mir sudah mau dengarin cerita aku," kata Karin sebagai ucapan halus untuk menyuruh Miranda pulang.

"Jangan ragu buat hubungi aku tiap ada masalah. Oke?" tanya Miranda, "aku bukan Evelyn yang bakalan bohongi kamu."

Karin mengangguk sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Dia lalu mengantar Miranda ke luar dari kontrakannya. Karin kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.

Sekarang semuanya sudah sunyi membuat Karin makin memikirkan banyak hal. Setiap ucapan Jemmi dan Miranda terniang di telinganya. Apalagi saat keduanya berkata soal hal yang sama.

"Kalo aja aku tau Evelyn hamil karena perbuatan malam itu, mungkin aku bakalan suruh dia buat gugurin anak itu."

"Kalau mereka enggak bisa mengurus, harusnya Evelyn itu mikir buat menggugurkan anak ini."

Kedua tangan Karin terangkat dan menutup telinganya. Kedua kalimat yang itu pernah menjadi mimpi buruk untuk Karin. Namun Jemmi dan Miranda dengan gampangnya berkata seperti itu.

"Mama Karin di penjara, karena ketahuan sudah melakukan percobaan pembunuhan terhadap anaknya."

Karin makin menekan tangannya di telinga karena mendengar kalimat yang tidak asing lagi baginya. Sudah lama kata-kata itu tidak bergema di dalam pikirannya. Kini muncul lagi karena dipicu dengan ucapan dari kedua temannya.

"Mama Karin sudah meninggal, dia gantung diri di kamar mandi penjara karena enggak bisa menerima kenyataan bahwa dia gagal membunuh anaknya."

"Sampai saat ini, kami tidak tahu siapa bapak Karin."

Karin menangis sejadi-jadinya karena teringat kalimat yang pernah dia dengar saat masih berusia sepuluh tahun. Rasa penasaran Karin yang saat itu sungguh besar, membuatnya mendengar sebuah kenyataan pahit. Setiap kalimat yang ke luar dari mulut pengurus panti asuhannya itu menjadi mimpi buruk baginya.

Sebelum mendengar kalimat itu, Karin hanya percaya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Sehingga dia harus tinggal di panti asuhan agar memiliki seorang teman. Namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan kisah asli.

Suara tangis di tengah malam membuat Karin terbangun. Ternyata karena kelelahan menangis, Karin tertidur di lantai. Dia pun segera bangun dan melihat anak Jemmi yang ada di tempat tidurnya. Anak itu sedang menangis dengan sangat kencang.

Karin bergegas melihat celananya yang tidak ada apa-apa. Kemudian dia beralih ke tas yang ditaruh Jemmi di samping bayi itu. Seperti dugaannya, isi tas itu barang-barang yang diperlukan oleh anak ini.

Kaleng susu dan botol minum Karin keluarkan dari dalam sana. Pergi ke dapur dan membuatkan minuman untuk anak itu. Setelah selesai dia kembali lagi dan anak itu segera berhenti menangis. Tangan Karin mengusap dahi anak itu dengan perlahan. Tidak ada yang bisa dipikirkan oleh Karin. Keputusan yang ingin dia pilih terasa begitu kabur.

"Kalau aku enggak terima kamu, apa nasib kamu bakalan seberuntung aku?" tanya Karin pada anak yang di pangkuannya.

Karin mengatakan dirinya beruntung karena selama ini dia berada di lingkungan yang benar. Karin diberi pelajaran oleh sukarelawan yang datang ke panti. Hingga akhirnya Karin bisa diterima di SMA Favorit dengan bantuan beasiswa dan relawan itu.

Tidak cukup keberuntungan Karin, dia juga mendapatkan teman yang baik. Miranda yang tidak memandang status sosial, Evelyn  yang membantunya dapat memahami pelajaran dan Jemmi yang membantunya soal keuangan. Akan tetapi, Karin ragu dengan keberuntungan anak ini.

Karin memeluk anak Jemmi itu makin erat dan mencium pipinya. Dengan penuh tekad dia berkata, "Aku enggak akan membuang kamu, seperti yang sudah dilakukan papa dan mama kamu."