Karin mendatangi restoran tempatnya bekerja untuk bertemu dengan Riani, Ibu dari Miranda. Sebelum ke sini, Karin memang sudah memberitahu terlebih dahulu tentang kehadirannya lewat pesan. Karin ingin menyerahkan surat pengunduran diri.
Saat membuka pintu restoran, mata Karin langsung mendapati Miranda yang tengah menerima pesanan dari pelanggan. Cewek itu sempat melihat ke arahnya, namun dengan cepat pandangan tesebut dia alihkan. Karin paham kalau Miranda masih marah dengan keputusannya.
Dari awal, Karin juga sudah tahu kalau Miranda pasti orang pertama yang tidak menyetujui keputusannya itu. Akan tetapi, Karin juga tidak bisa mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliahnya jika pilihannya adalah menelantarkan seorang anak yang belum mengerti apa pun.
"Karin, ternyata kamu sudah datang," sapa Riani.
"Iya Bu, sengaja datang lebih cepat karena setelah ini masih ada urusan."
"Ya udah kalau begitu, langsung ke ruangan Ibu aja." Riani berjalan ke arah katornya yang berada di samping restoran.
Karin mengikuti Riani melangkah, sambil memperhatikan Miranda yang sepertinya terlihat tidak peduli dengannya. Ada rasa tidak enak dalam diri Karin, karena dari dulu mereka jarang sekali mempunyai masalah. Mereka berdua seakan berteman untuk saling melengkapi. Namun kini keduanya malah membuat jarak dengan cara yang sengaja.
"Silakan duduk," kata Riani sambil menunjuk kursi yang ada di depan meja kerjanya.
"Makasih Bu." Karin pun duduk di kursi itu sambil menaruh map yang sendari tadi dia bawa.
"Hal penting apa yang mau kamu bicarakan Karin?"
Dengan berat hati, Karin menyodorkan map yang dia bawa itu ke hadapan Riani. Sudah setahun ini Karin bekerja di sini. Bisa dibilang, pendapatannya paling besar dari pekerjaan ini.
Saat bekerja di restoran ini, Riani dan Miranda cukup royal padanya. Karin boleh sarapan dan juga makan siang di restoran ini secara gratis. Kalau pun ada sisa makanan yang belum terjual, Karin boleh membawanya pulang untuk makan malam. Sayangnya, Karin tidak bisa melanjutkan untuk bekerja di sini.
"Kamu mau berenti Rin?" tanya Riani setelah dia selesai membaca isi map yang diberikan oleh Karin.
"Iya, Bu." Karin menganggukkan kepalannya.
"Ini soal anak itu ya?"
Karin melongo mendengar pertanyaan dari Riani. "Ibu tau soal itu?"
"Miranda benar-benar marah kamu enggak jadi kuliah," kata Riani.
"Apa Ibu juga kecewa sama keputusan yang Karin ambil?" tanya Karin pada Riani.
Karin sudah dekat dengan Riani dari saat dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Belajar bersama dengan Miranda membuat Karin sering bertemu dengan Riani. Sampai-sampai, Karin sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
"Ibu enggak kecewa, Ibu cuma menyayangkan kamu enggak lanjut kuliah padahal itu kan yang kamu perjuangkan selama ini?"
Ya, memang Karin ingin kuliah. Impiannya sudah berhasil dia capai. Hanya tinggal selangkah lagi dan namanya akan terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran. Namun tiba-tiba saja ada seseorang yang datang menghentikan langkahnya. Menutup jalannya untuk mengejar mimpi dari saat dia masih kecil.
Air mata Karin seketika jatuh di pipinya. Dia pun segera mengusapnya. "Maafin Karin Bu, kalau Karin sudah ngecewakan."
Riani malah tersenyum. "Ibu tau, kamu pasti sudah mikirkan keputusan ini dengan matang. Ibu yakin keputusan yang kamu ambil itu yang terbaik."
Karin tidak menjawab perkataan Riani, dia hanya menundukkan kepalanya. Kedua tangannya saling meremas karena merasa bersalah dan sedih. Kalau boleh, Karin juga tidak ingin berhenti bekerja di restoran ini karena tempat ini sudah seperti rumah kedua baginya.
"Setelah ini, kamu bakalan kerja di mana?"
"Kalau kerja, Karin belum tau. Setelah ini Karin bakalan cari tempat tinggal yang cocok buat Karin sama Emily," kata Karin dan kemudian dia melarat ucapannya, "sama anak itu."
"Emily?" tanya Riani. "Nama yang bagus."
"Makasih Bu," jawab Karin. "Karin yang kasih nama itu, Diambil dari nama papa dan mamanya."
"Kalau kamu sudah dapat tempat tinggal baru, jangan lupa kabarin sama Ibu ya?"
"Pasti," kata Karin. Walaupun sebenarnya dia ragu akan memberitahukan atau tidak.
Pintu ruangan terbuka, terlihat Miranda masuk tanpa mengetuk. "Bu, apa sudah selesai?"
"Ada apa?"
"Papa sudah datang," Kata Miranda tanpa mau menoleh pada Karin.
"Bu, kalau gitu Karin permisi pergi dulu ya," ucap Karin pada Riani.
"Karin," panggil Riani menghenitikan Karin yang ingin beranjak dari kursi.
"Apa masih ada lagi yang mau Ibu bicarakan?"
"Kalau kamu bingung mencari pekerjaan, kamu bisa kembali ke sini."
"Bu pelayan restoran ini sudah lebih dari cukup," sahut Miranda.
"Ibu selalu punya satu tempat kosong untuk memperkerjakan kamu," sambung Riani yang mengabaikan ucapan anaknya.
"Makasih Bu," jawab Karin seadanya. Dia kemudian kembali berdiri dari pergi dari ruangan ini. Saat melewati Miranda, cewek itu memandang Karin seperti musuhnya.
Begitulah Miranda yang dikenal Karin, akan menganggap orang lain sebagai musuhnya saat dia merasa dikecewakan. Mau tidak mau Karin harus mengambil risiko itu. Walaupun Miranda memandangnya seperti musuh, Karin tetap melihat cewek itu sebagai sehabat baiknya.
Sahabat yang tidak mungkin mengkhianatinya. Seperti Evelyn yang mengatakan akan membantunya untuk bersama dengan Jemmi tapi kenyataannya dia malah merebut orang yang dia sukai. Namun dari kejadian itu, sekarang Karin bisa kembali dekat dengan Jemmi. Bahkan lebih dekat dari sebelumnya.
Karin memasuki mobil hitam yang terparkir di depan restoran. Berada di bawah pohon yang rindang. Sehingga seseorang yang ada di dalamnya tidak kepanasan.
"Dia ada nangis?" tanya Karin pada Jemmi sambil mengambil Emily dari kursi samping pengemudi.
"Sempat bangun, tapi enggak nangis. Aku kasih dia susu dan dia tidur lagi," kata Jemmi.
"Pengunduran diri kamu sudah diterima?" tanya Jemmi.
"Tentu aja, karena Ibu sudah tau soal anak ini."
"Miranda kasih tau soal ini ke mamanya?" tanya Jemmi terkejut.
"Miranda kesal sama keputusan aku, mungkin itu yang bikin dia curhat soal ini ke mamanya."
"Kalau sampai mama aku tau gimana?" tanya Jemmi lagi yang masih dengan kegelisahan.
"Jem, kamu kenal gimana Ibu. Dia enggak mungkin kasih tau soal ini."
"Apa kamu bisa jamin?"
"Kalau ibu kasih tau soal ini ke mama kamu, kamu bisa limpahkan semua kesalahan kamu ke aku. Gimana?"
Jemmi mengembuskan napas panjang. Walaupun masih belum tenang, dia tetap mempercayai Karin. "Oke."
Sejauh yang dia kenal, Karin orang yang cukup bertanggung jawab dengan omongannya. Jauh berbeda sekali jika dibandingkan dengan dirinya. Setiap membuat kesalahan, Jemmi selalu takut kalau harus mendapatkan hukuman. Inilah yang membuatnya menjadi laki-laki tidak bertanggung jawab. Jemmi menyadari hal itu, namun tetap tidak berani untuk berubah.
"Kenapa belum jalan?" tanya Karin yang membuyarkan pikiran Jemmi. "Katanya, habis dari sini kita bakalan nyari tempat tinggal."