Tidak terasa, sudah tiga hari kami semua mengikuti pembekalan masa orientasi siswa. Kini, kami benar-benar resmi menjadi bagian murid Sekolah Menengas Atas yang terbilang cukup ternama di daerah kami.
"Bro, lu pada percaya enggak?"
"Apa lagi? Mimpi bertemu indah? Wkwkwk," Ifta tak henti-hentinya menahan tawa soal Indah dua hari yang sempat aku utarakan.
"Haish, lama-lama gue kepret nih anak, hmm," ujar Jedi agak gregetan dengan Ifta.
Aku hanya diam dengan sedikit senyuman menahan tawa sebenarnya. Melihat tingkah konyol yang diperlihatkan selalu saja masih diingat-ingat oleh Ifta.
"Ngapai, Jed, emang?" tanyaku terfokus dengan apa yang hendak disampaikan oleh Jedi.
"Kemarin tuh, Li, yang sempat lu tunjuk perempuan yang pakai hijab itu. Eh ternyata, dia satu kelas sama gue, bahagia banget kan gue jadinya, huhuhu," Jedi dengan mantap serta bangganya.
"Idih, cuma satu kelas aja bangga," tutur Ifta meremehkan.
"Hlo, berawal dari satu kelas. Berkenalan, tahu namanya, mendapat nomornya, diperhatiin, nyaman, terus jadian, dijadiin prioritas di masa yang akan datang. Cukup menyenangkan, bukan?" tutur Jedi sambil memperagakan tangan bergerak bak orang yang sedang membaca sebuah sajak.
Raut wajah Ifta hanya ditekuk sambil nyinyir tak karuan. Aku nikmati saja pemandangan yang memang selalu aku nanti. Mendengarkan cerita mereka, keluh kesah mereka, bukan keluh kesah sih, lebih tepatnya candaan mereka. Jedi dengan mata keranjangnya. Ifta sebagai orang yang selalu maido dalam konteks bahasa Jawanya. Serta Dudin dengan sikap religusnya.
"Makan tuh sotonya. Keburu jam masuk," ucapku mengingatkan.
Jedi masih terhanyut membayangkan indahnya sosok perempuan yang sebenarnya juga tak sengaja beberapa hari lalu aku tunjukan.
"Makan ... makan," Ifta langsung mengambil sendok lalu melahap nasi soto yang ada didepannya dengan begitu nikmat.
"Eh, ngomong-ngomong, kemana nih si Dudin? Kok belum nongol sendiri dia?"
"Lagi dhuhanan katanya,"
"Masya Alloh ..." Ifta menyela sambil mulutnya penuh dengan nasi.
Jedi menggeleng-gelengkan kepala.
"Emang gak ada obat tuh anak!" Jedi dengan mantap mengutarakan.
Kami bertiga begitu asyik saling bercengkerama satu sama lain menceritakan pengalaman pertama masuk dalam kelas baru. Jedi dengan cerita perempuan yang dia kagumi, Ifta dengan guru pelajaran yang rasanya dia nyaman sejak pandangan pertama serta perkenalan.
"Asli, gue kayak gimana gitu lihat guru satu ini. Seperti ada wibawa tersendiri dalam diri beliau,"
"Hih, emang gak tau gue selera lu, Ta. Dipilihin sekian banyak wanita, eh, malah kagumnya sama guru sendiri, bukan main," Jedi balik memberi keritikan.
"Hahaha, ada baiknya sih menurutku. Malahan dia enggak mainin perasaan perempuan kayak lu," ujarku membela Ifta.
Ifta tersenyum senang merasa menang mendapat pembelaan dariku. Dia menyenggol bahu Jedi sambil menggerakan alisnya naik turun dengan cepat.
"Permisi, Kak. Boleh ikut gabung?"
Aku yang sudah selesai makan langsung mempersilahkan dia untuk duduk diantara kami.
"Siapa si ini?" tanya Jedi berbisik di telinga Ifta.
Ifta juga hanya menggelengkan kepala tidak tahu sambil terus memakan soto yang hampir habis dilahapnya.
"Silahkan, silahkan,"
"Makasih, Kak," ujar anak yang belum kami kenal itu dengan tenang serta riang.
Tak berselang lama, dia memesan makanan seperti kami yang telah selesai makan dengan perut kenyang. Rasanya, hendak kami saat itu juga beranjak, tapi tak enak saja rasanya.
"Darimana, Kak?" tanyaku.
"Oh ini, saya dari belakang, Kak," ujarnya seperti tak mempunyai dosa.
Jedi mendengar itu sedikit agak geram. Mengetahui aku yang sebenarnya bertanya dengan keseriusan. Malah dijawab tidak karuan, meski itu juga terdengar benar.
"Lho, eh?"
"Hehehe, emang bener,'kan, Kak?"
"Kokak kakak, kokak kakak, emang Ali kakakmu apa?" ujar Jedi dengan sedikit nada tinggi sambil menggigit kerupuk dengan penuh kesal.
"Sudah, sudah ... tenang, yang sabar. Orang sabar disayang Tuhan, beneran," ujar Ifta penuh senyum.
"Betul sih, tapi maksudnya bukan itu. Maksudnya Mas ini, asalnya dari mana?"
"Oh saya? Saya berasal dari rahim Ibu saya yang begitu mencintai saya. Berani mempertaruhkan nyawa demi melahirkan saya di dunia. Dengan penuh cinta yang menyayangi diri saya apa adanya, tanpa menuntut apa-apa,"
Aku hanya mendengarkan saja ucapan demi ucapan anak itu dengan senyum senang. Rasanya, cukup unik ini orang. Pandai sekali membolak-balikan perkataan serta menjelaskan sesuatu dengan detail memberikan pembelajaran dalam sebuah kalimat yang terucapkan.
"Eh ini orang! Makin lama makin ngelunjak," Jedi semakin geram saja sebenarnya.
Ifta masih mencoba menenangkan Jedi dengan perkataan yang harus mencoba mempraktikan setiap kata yang selalu Dudin ucapkan.
"Tidak brother, sabar ... sabar. Tenang, kuasai keadaan, orang sabar disayang Tuhan,"
"Eh, Mas kok unik sih? Wkwkwk," ucapku yang kini malah tertarik dengan anak ini sambil sesekali melirik kehadapan Ifta serta Jedi.
"Ya, memang. Karena Tuhan sudah pasti memberikan keunikan pada masing-masing makhluk yang telah diciptakan. Terlebih, manusia seperti kita," ucapnya dengan penuh wibawa.
Kaca mata yang terlihat dengan minus besar terlihat menempel di wajahnya. Rambut kuncung dibagian depan laksamana Afgan terpampang dalam wajah khasnya.
"Asek, asik emang nih Masnya,"
"Jangan panggil saya, Mas,"
"Terus apa? Tante?! Atau oma?!" ucap Jedi dengan agak ngegas.
"Wkwkwk, Kak yang satu ini kok posesif banget sih?" sambik menunjuk raut wajah ke pandangan Jedi.
"Bodo amat! Gak urus, gak bayar, gak ada hubungan dengan lu!" Jedi menahan kesal.
Wajar, aku dan Ifta sama sekali tidak heran dengan sikap Jedi yang demikian. Dia memang kami kenal seperti itu orangnya, apalagi kalau melihat orang baru yang terbilang tak jelas dalam pola pandang pikirannya.
"Wkwkwk, udah, Jed. Tenang saja, anggao saja ini hiburan di waktu istirahat," ucapku yang mencoba menenangkan.
"Mari, Kak. Makan, karena pura-pura bahagia rasanya juga butuh tenaga," ucap anak itu dengan polosnya mengundang tawa bagiku serta Ifta.
"Bisa saja, Mas. Udah udah, dimakan dahulu, lanjutin nanti lagi bincang-bincangnya, wkwk,"
Aku melihat Jedi seperti memalingkan wajah untuk beberapa kali, merasakan aneh dengan sosok anak yang belum diketahui juga identitas pastinya.
"Eh, Joko? Sama siapa kamu disini?"
"Eh, Pungki, ini aku sama calon teman-temanku,"
Pungki melihat kami bertiga dengan senyum manis yang terpancar. Amboi, dia adalah perempuan yang aku tunjuk yang sedang Jedi incar. Eh, dia telah kenal dengan anak yang dianggap aneh oleh Jedi ini.
"Jed ... Jed, dia kenal sama doimu!"
Jedi tidak berkata apa-apa, dia hanya diam sambil terbengong melongo melihat perempuan yang kini diketahui bernama Pungki itu saling bertegur sapa dengan orang yang dirinya anggap aneh.
Setelah beberapa saat sesekali terdengar tawa diantara mereka. Pungki berlalu meninggalkan Joko. Sontak, langsung saja Jedi duduk mengusirku untuk mendekati Joko.
"Bro, eh, bro ..." ujar Jedi menyenggol-nyenggol lengan Joko yang hendak makan.
"Aaa ... aaa," mulut Joko menganga.
"Hih, apaan sih?" Joko berujar.
"Lu, kok kenal sama dia orang?"
"Dia siapa?"
"Ya dia? Perempuan barusan, namanya siapa?"
"Oh Pungki maksudmu?"
"Iya, itu ... maksud gue, lu kenal darimana dah?" Jedi bertanya penasaran.
"Oh itu ... dia tuh temen mandiku ..." ujar Joko dengan polos bak orang yang tak mempunyai dosa.
"What!" Jedi kaget langsung lemas lunglai dibuat oleh pengakuan Joko.