Hampir bel masuk kembali dibunyikan, Dudin belum juga memperlihatkan batang hidungnya barang sesaat.
"Jed ... Jed, malah ada acara pingsan sih nih anak!"
"Hadeh, repot banget sih ini!"
"Ngapain sih, Kak? Ini anak sebenarnya?" tanya Joko mulai agak risih.
"Padahal maksud saya mandi bersama saat dahulu masih anak-anak," lanjut Joko seperti tak mempunyai dosa.
Aneh juga, saat Joko mengatakan hal itu, membuat Jedi langsung terbangun.
"Beneran? Lu enggak boong lagi,'kan?"
"Hih, gini-gini juga tahu batasan larangan agama. Toh, si Pungki juga orangnya agamis, masak iya mau mandi bersama bareng aku. Hih, pikiranmu itu!" terang Joko kembali serius.
Aku dan Ifta hanya terpingkal melihat sikap syok yang tadi sempat Jedi perlihatkan. Ternyata, seperti itu rasa khawatir seorang anak mata keranjang ketika orang yang sedang dikagumi dalam diam mempunyai kedekatan dengan lelaki lain.
Karena sudah menunggu terlalu lama, aku dan Ifta memutuskan untuk kembali menuju kelas. Mengingat, urusan serta kebutuhan kami waktu istirahat sudah kami bereskan.
"Bro, aku duluan ya?"
"Yoi, aku ikut denganmu,"
"Kamu masih mau disini?"
"Ya, gue mau tahu lebih dalam tentang sosok Pungki itu, wkwkwk," Jedi terkekeh namun serius hendak tinggal beberapa saat lagi, guna menggali informasi tentang Pungki.
"Oke, serah lu dah!" ucapku sambil beranjak bersama Ifta.
"Eee ... Mas, Mas, saya ikut sekalian!" ujar Joko yang melambaikan tangan kepada kami berdua.
"Heh! Mau kemana? Urusan kita belum selesai! Masih ada waktu lima menit ini. Jangan keburu pergi! Oke?" Jedi menahan badan Joko yang hendak beranjak.
"Urusan apa lagi sih?" Joko bertanya kembali.
Aku dan Ifta berjalan menuju kelas masing-masing. Maklum, kami masih tercatat sebagai anak baru, dan kenalannya masih teman-teman sekolah lama.
Saat kami telah berpisah, sifat asliku juga terlihat. Melas, menunduk, dan agak canggung memandang orang sekitar. Seperti malu-malu kucing aku rasakan.
"Li!" panggil seorang anak kepadaku.
Aku menengok ke kanan serta kiri. Mencaru sumber suara yang memanggil namaku.
"Eh, Din? Ngapain kamu?"
"Makan! Wong ya kamu lihat lagi makai sepatu gini. Masih ditanya ngapain. Bentar-bentar tungguin gue," pinta Dudin sambil menali sepatu.
Aku cengingisan sambil menghampiri dirinya. Kulihat dirinya juga baru selesai melaksanakan sholat Dhuha.
"Dih, rajin banget dah!"
"Ya? Gimana ya? Kebiasaan yang sudah menjadi prioritas,"
"Asek,"
"Yok sudah, naik ke kelas sekarang,"
"Ayok,"
Sudah barang pasti, waktu itu menunjukan pukul setengah sepuluh. Yang mana pada umumnya siswa siswi mengisi waktu istirahat untuk pergi ke kantin. Sedangkan kami, lebih tepatnya Dudin saja, aku hanya menghampiri dia yang sedang memakai sepatu. Terlihat keluar dari arah musholla. Kalian tahu? Letak musholla juga tak jauh dari ruang kelas kakak-kakak kami. Menjadi pemandangan menarik tersendiri bagi mereka memandang kami.
"Jadi artis dadakan,'kan? Wkwkwk," Dudin berkata lirih tahu banyak murid lain yang mencuri pandangan terhadap mereka.
"Buset, kok gue jadi ikut-ikutan kena, ya? Wkwkwk,"
"Ya, gimana ya? Ya memang kayak gitu. Emang orang itu tergantung siapa yang menemani,"
Aku hanya mengangguk paham. Memang benar, baik atau buruk kita dihadapan orang lain, tergantung siapa yang menjadi teman kita. Bisa dilihat jelas dari hal demikian.
Sesekali kami melempar senyum kepada siapa saja yang berlalu lalang dihadapan kami. Dengan tegap percaya diri, berharap nanti tiba-tiba ada yang meminta kenalan dengan kami.
"Ciee ... Anto ... dicari tuh,"
"Ehm, ehm,"
"Tok, cepet itu orangnya! Cantik banget dah!"
Suara ribut serta ramai dari beberapa anak kami dengar saat sampai di dalam kelas.
"Cie Anto? Itu si Drian lewat,"
Terlihat, ada Setiawan, Bima, dan beberapa teman lain yang sedang merumuni Anto yang juga terlihat hanya cengingisan mendengar kalimat cie cie itu.
Sebuah lagu lama yang dilontarkan oleh anak-anak sekolah, bahkan aku ingat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, kata cie rasanya memang sangat familiar diungkapkan ketika ada anak yang diketahui menyimpan sebuah rasa serta kekaguman pada lawan jenisnya. Meski, tak jarang juga, anak yang melontarkan kata cie cie itu, sebenarnya pula menyimpan kecemburuan yang sulit untuk diungkapkan.
Aku dan Dudin hanya ikut nimbrung sambil menyimak dengan tersenyum. Mereka dengan tawa riang serta bahagianya sesekali mendorong-dorong tubuh Anto yang terlihat cengingisan salah tingkah ketika teman-teman lain menyebut nama Drian.
"Drian tuh, To! Cie,"
"Iya tuh? Katanya suka? Wkwk, ajak kenalan lah!" tutur Setiawan yang terlihat bak kompor terus saja menyalakan api asmara yang ada pada diri Anto.
"Mana sih? Mana?" Anto memutar kepala didepan pintu kelas, seolah mencari keberadaan Drian.
Sebuah sikap percaya diri yang patut untuk ditiru dari seorang Anto. Benar, memang dia sebenarnya sedang diejek oleh teman-teman lain. Tapi, dia malah dengan percaya dirinya mengiyakan apa yang dikatakan oleh mereka semua. Seolah dirinya juga benar-benar mencari keberadaan Drian.
Awalnya, aku juga tidak terlalu tertarik mencari tahu sosok Drian seperti yang mereka tunjukan untuk Anto. Ah, mungkin hanya sekadar perempuan seperti umumnya. Yang cantiknya relatif, tergantung siapa saja yang memandang serta menaruh rasa kagum terhadap dirinya.
"Nah ini ... cie ... cie ..." ucap Bima kegirangan saat Drian berjalan pelan dihadapan mereka berdua dengan anggunnya.
Aku lihat, Anto juga hanya tertawa dengan bahagia serta samar pipinya memancarkan warna kemerahan, memberi tanda orang yang seakan sedang tersipu malu.
"Eh, Din, lu tahu siapa Drian itu?"
"Hlo, masak enggak tahu kamu?"
"Siapa emang?"
"Ya itu, anak kelas sebelah. Yang katanya, tapi ini katanya, gue juga baru paham sekilas belum seutuhnya, dia tuh anaknya manis banget, katanya tapi ini," ujar Dudin sambil sibuk mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
"Hih, sok ngawur!" ucapku sambil menggerakan tangan didepan wajah Dudin.
"Eee, dibilangin enggak percaya. Awas saja kalau nanti tiba-tiba lihat orangnya langsung. Seketika itu pula dibuat jatuh cinta olehnya, wkwkwk," ucap Dudin sambil tersenyum dengan serius memberi peringatan.
Aku tidak seutuhnya ngeh saja dengan perkataan Dudin. Hanya menganggap sosok Drian hanyalah perempuan biasa pada umumnya, yang mana dia dikaitkan dengan Anto karena Anto saja yang menyimpan rasa terhadap dirinya. Bukankah hal demikian memang terhitung wajar dalam masa sekolah seperti yang sedang aku rasakan ini?
Untuk kali ini, sebelum aku tahu sosok Drian itu seperti apa. Ada dua kemungkinan teman-teman lain mengejek Anto dengan Drian. Pertama, bisa jadi Anto saja yang menaruh rasa terhadap Drian, membuat teman-teman lain mengejek dirinya. Kedua, Drian memanglah perempuan cantik, yang mampu mebuat siapa saja jatuh hati kepada dirinya. Barangkali dari kecantikan yang dimiliki, membuat ketidakmungkinan Anto untuk memiliki, menjadi alasan teman-teman lain untuk mengejeknya.