Chereads / Bukan Cinta Monyet / Chapter 5 - Peran Pembantu

Chapter 5 - Peran Pembantu

Rasanya bukan Jedi namanya jika hanya mampu mengagumi seorang perempuan dalam diam. Bukan Jedi si mata keranjang andaikata dia tidak berani berkenalan dengan sosok Pungki yang belakangan mampu memenuhi separuh hati milik Jedi.

Bertepatan dengan jam kosong, entah kala itu sepertinya sedang ada rapat besar-besaran. Jedi dengan percaya dirinya datang ke kelasku. Aku yang sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan dikejutkan dengan kedatangan Jedi.

"Oiy, Li!"

"Eh buset ini anak," ujarku setengah kaget ketika dirinya tiba-tiba ada dihadapanku.

"Ayo, temenin gue ..."

"Ngapain?"

"Sudah ayo ikut saja," ucap Jedi dengan tanpa sedikit saja menaruh rasa malu.

Padahal, seisi kelas tak luput memandangnya. Tiba-tiba masuk, tanpa memberi salam atau basa-basi langsung masuk kedalam kelasku.

"Gila ya, kamu?"

"Heish, enggak usah banyak ngomong. Sekarang ayok ikut aku,"

Aku yang sebenarnya malah menanggung rasa malu atas kehadiran Jedi, langsung beranjak dari tempat duduk mengikuti Jedi yang berjalan keluar dengan gagahnya.

"Oiy! Mau kemana?" tanya Dudin yang sedari tadi juga mengamati tindakan yang dilakukan oleh Jedi.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil mengisyaratkan jari telunjuk dengan posisi miring di jidat. Dudin hanya cengengesan maklum dengan hal yang terjadi.

"Jed ... mau kemana ih, sudah gila kamu kayaknya,"

"Udah ... diem aja," ujar Jedi memintaku untuk tidak berisik.

Memang terkesan sangat gila jika boleh dikatakan. Kami berada di sekolah ini belum lebih dari satu minggu. Dan Jedi, dengan tanpa malu serta penuh percaya dirinya seolah sudah tahu persis suasana lingkungan sekolah baru ini.

Aku yang masih tidak tahu menahu dengan ajakan Jedi hanya menuruti setiap langkahnya saja. Berjalan sejajar disampingnya. Tanpa lagi bertanya apa dan mengapa tujuan dirinya tiba-tiba menjemputku di kelas.

"Nah ini," ucap Jedi berhenti disebuah kelas.

"Ngapain?"

Jedi mengintip dari luar kelas lewat jendela. Dilihatnya suasana kelas F yang memang terlihat sangat tenang. Khidmah serta khusyuk rasanya mengerjakan tugas Guru yang diberikan.

"Ini kelasnya Joko, bukan?"

"Ha ... enggak tahu aku. Ada apa'sih?"

"Hmm, cepet Li. Panggil dia ..." perintah Jedi kepadaku bak seorang raja yang memerintah kepada prajuritnya.

"Dih, ngapain coba?"

"Sudah ... cepetan. Nanti kamu juga akan tahu, enggak usah banyak tanya ini itu, cepetan!"

Aku yang masih malu enggan rasanya memanggil Joko. Apalagi, kami juga belum mengenal terlalu jauh. Hanya sebatas kenal di kantin kemarin, saat dirinya meminta izin untuk ikut duduk makan bersama.

"Hih, mau enggak?!"

"Enggak, ah ... malu aku," ucapku enggan sambil mengamati suasana kelas sekitar.

Hanya kami berdua yang ada di luar. Rasanya, memang setiap murid duduk manis didalam kelas masing-masing. Bisa jadi, karena deretan kelas kami memang notabe anak-anak baru semua. Sehingga, sudah barang tentu mungkin belum saling kenal satu sama lain mampu menjadi alasan.

Namun sungguh aneh dengan tingkah Jedi yang terlihatkan. Tanpa ada kejelasan alasan yang dirinya utarakan, tanpa ada sedikit saja rasa malu dari dirinya yang diperlihatkan. Langsung saja masuk kedalam kelas Joko untuk mengajaknya keluar.

"Ah, cupu kamu memang, Li ..." ucap Jedi lalu berlalu menuju kedalam kelas Joko.

Aku hanya menganggkat bibir bawah keatas mengakui keberanian dari sosok Jedi yang tak biasa. Aku akui, dirinya memang luar biasa. Tak ada tandingannya.

Terdengar riuh ramai murid kelas D menyoraki Jedi yang tanpa permisi masuk begitu saja kedalam kelas Joko.

"Huu ..." "Huuu ..." "Huuu ..."

Suara gaduh meja juga sangat jelas terdengar dari luar. Bukan lagi sebuah kemungkinan, bahwa hal demikian memang disebabkan oleh Jedi yang main nyelonong saja masuk kedalam kelas.

Tak berselang lama, Jedi keluar dengan raut wajah merah masam, bersama Joko yang mengikuti dari belakang, persis seperti aku yang tadi juga dijemput oleh Jedi seorang.

"Udah sinting kamu, ya?" ucap Joko tak habis pikir dengan tingkah konyol yang dilakukan oleh Jedi.

"Haish, ngapain? Cuma disorakin saja sudah ciut nyalimu, laki-laki enggak?! Hah?" Jedi dengan sombongnya.

"Ini bukan masalah laki-laki atau tidak, tapi lebih menunu ke harga diri'sih, menurutku," aku menyela.

"Haish! Lu mau ikut-ikutan cupu kayak gitu?" Jedi menatapku tajam.

Aku dan Joko hanya diam saling tatap saja melihat Jedi yang seperti kalap dengan ucapan kami berdua. Memang seperti orang yang telah hilang kendali aku melihat Jedi.

"Sebenarnya ada apa sih?" tanyaku memastikan.

"Aneh emang ini orang, ada apa sebenarnya?" Joko juga turut ingin mendengar kejelasan penjelasan.

"Oke, jadi gini. Mumpung Bapak atau Ibu Guru sedang pada rapat. Gue minta dianterin ke kelas Pungki," ucap Jedi.

"Hah? Gila lu, ya?"

"Kenapa emang?!"

"Dia tuh kakak kelas kita ..." Joko berujar sambil menyenggol lenganku membisikan sesuatu.

"Nama ini anak siapa?" tanya Joko kepadaku dengan nada lirih.

"Jedi ... Marco Jed,"

"Oh ... oke,"

"Jadi gini Mas Jedi ... gue ulangin, ya, Pungki itu ... adalah kakak kelas kita Mas Jediii ... ya Mmass ..." Joko dengan sangat teramat pelan berujar demikian.

"Terus kenapa kalau dia kakak kelas kita?"

"Duh, ya malu dong. Kita aja belum ada seminggu disini. Sok-sokan mau ke kelas atas nyari anak,"

"Lhah, katanya kamu kenal dengan itu anak?"

"Ya iya, kenal. Tapi mbok ya lihat-lihat sikon gitu lho, Mas ..." Joko dengan nada gregetan tak habis pikir dengan alasan dirinya diajak keluar oleh Jedi.

"Apakah cinta membutuhkan sebuah sikon? Harus juga terbelenggu oleh sebuah tingkatan kelas?" Jedi tetap bersikukuh dengan keegoisannya.

"Astaga ... naga, buset dah emang ini anak,"

Aku hanya diam saja melihat mereka berdua saling balas membalas sebuah argumen. Aku juga melihat satu dua anak kelas D melihat dari balik jendela kelas sambil tertawa melihat drama mereka berdua.

"Yang penting aku dianter ke kelasnya sekarang," Jedi dengan mantapnya.

"Etdah, kagak ... kagak. Mau ditaruh dimana harga diri gue!" Joko menjawab tegas.

Seperti anak kecil saja yang sedang merebutkan sebuah mainan. Aku menyaksikan sambil menggaruk-nggaruk kepala yang sebenarnya juga tidak gatal.

"Maaf, aku mau menyela bentar. Terus gunanya aku disini ngapain? Asli, enggak jelas banget dah!" ucapku menyela.

"Peran pembantu!" Jedi tanpa ragu menjawab bersama Joko yang juga hanya menatapku dengan tajam karena sedang bersitegang dengan Jedi.

Aku hanya cengingisan tertambah malu mendengar tanggapan mereka berdua.

"Udah ayok anter gue cepetan,"

"Hei! Yakin ... lu sudah gile mines kuadrat enam puluh sembilan,"

"Gue ajarin jadi lelaki sejati ayok!"

"Ih, amit-amit dah!" Joko mengelak.

"Eiy!"

Semakin pusing saja aku dibuat oleh tingkah mereka berdua. Sampai-sampai aku harus berbohong bahwa ada guru yang datang dengan berteriak. Hanya agar perkumpulan tak jelas ini segera mampu dibubarkan.

"Eit! Ada Bu Guru!" ucapku sambil lari menuju ke kelas.

Membuat Joko dan Jedi juga langsung buyar dan berlari menuju kelas masing-masing.