Johanes berdehem lalu kembali menatap Hening dengan senyum tulusnya, "adik cantik, jurusan itu belum tersedia. Coba nanti kakak tanya sama yang bersangkutan, bersedia atau nggak ya? Sekarang kita fokus dulu sama unversitas yang mungkin saja nanti jadi tempatmu menimba ilmu."
Sebagai mahasiswa Johanes harus pintar bertutur bahasa yang baik, termasuk menanggapi gombalan Hening pada temannya. Gadis cantik itu ternyata pemuja garis keras seorang Dimas yang juga di gandrungi banyak mahasiswi di Unvinya karena pribadinya yang santun dan ramah.
Tapi entah kenapa sama Hening bisa ketus begitu.
Mata Hening berbinar, mirip bocah di kasi permen. Kepalanya langsung mengangguk kaya mainan dashboar, dengan semangat empat lima dia menjawab, "ok kak, janji ya bicarain? Kalo dah di buka, aku mau menjadi pendaftar pertama dan terakhir."
Dimas langsung menatapnya tajam, meningatkan gadis itu untuk berhenti berulah. Ini lah yang buat dia malas masuk ke kelas Hening, pasti gadis itu unjuk gigi untuk mempertontonkan rasa sukanya dengan suka rela. Sementara dia rasanya amat sangat muak, muak dengan Hening yang selalu gentayangan di dekatnya.
Hening lebih bandel dari setan, jimat apapun nggak akan ampuh mengusirnya dari sisi Dimas. Karena itu Dimas sangat membenci seorang Hening Permata Hati.
Nama yang seharusnya mencerminkan sesuatu yang menarik bagi si empunya, tapi nyatanya nggak!
"Jangan gitu kali mas liatnya, aku malu." Hening terkikik geli karena salah menanggapi arti tatapan Dimas. Seisi kelas semakin menahan napas liat tingkahnya terutama Bayu dan Nur yang merasa kasihan bercampur marah.
Sahabat mereka berubah jadi idiot dan itu mengesalkan.
Mendengus kasar Dimas meninggalkan kelas tanpa berpamitan pada guru yang mendampinginya. Pak Slamet cuma bisa geleng-geleng kepala liat kelakuan Hening. Di tegurpun percuma, namanya juga remaja yang sedang mencari jati diri, wajar seperti itu.
Dan lagi apa yang Hening lakukan nggak kelewat batas.
"Ya … di tinggal sendiri." Johanes lagi-lagi mencoba mencairkan suasana. Dia cukup paham dengan kekesalan Dimas karena dia pun tau rasanya risih di kejar-kejar dengan cewek yang di anggap aneh karena terlalu berani menunjukkan rasa suka.
Sebagian pria senang dengan perempuan yang malu-malu kucing atau jinak-jinak merpati. Dan Hening nggak termasuk di dua kategori itu.
Johanes terpaksa mengambil alih penuh situasi, dan untungnya terkendali. Dia jadi semangat karena sepertinya banyak yang tertarik dengan universitas karena caranya mempromosi.
*
Bel pergantian jam berakhir artinya udah selesai season pengenalan universitas. Johannes permisi dengan sopan, nggak lupa dia melemparkan senyum manis pada Hening yang di sambut tak kalah manis. Kalah sari gula pokoknya.
Begitu Johanes dan pak Slamet pergi, Bayu dan Nur mulai mencecar Hening dengan omelan yang udah pasti di abaikan gadis itu.
"Nggak capek di permalukan kaya gitu? Bebal kali itu otak!" ketus Bayu. Sebagai sahabat sejati, dia nggak terima Hening di gituin, tapi mau gimana? Mau negur Dimas belum ada nyali, tunggu ototnya agak gede-an dikit lagi.
Paling nggak kalo pun adu jotos, nggak babak belur, bisa bertahan walau nggak bisa nyerang balik.
"Iya … di depan temannya lagi. Kalo unjuk gigi liat-liat, sama orang sekampung boleh!" timpal Nur dengan tangan di lipat ke dada.
Hening mengedikkan bahu acuh, "Hening Permata Hati nggak pandang bulu pas nunjukkin cintanya untuk mas Dimas. Bila perlu di pucuk menara Eiffel, aku teriak dengan kalimat, mas Dimas I love youuuuuu!!!!"
Bayu menangkup muncung Hening buat gadis itu mendelik marah dan memukul keras tangan Bayu agar melepas jepitannya yang sakit banget. Dower bibir Hening habis ini.
"Cita-cita yang bagusan sedikit. Banyak pria yang lebih bagus dari Dimas, mainnya kok sama produk lokal. Minimal orang kota!" Hening bersungut-sungut sambil mengusap bibirnya yang sakit akibat Bayu menariknya dengan kuat.
"Iya …, kaya mas Jin. Kalo pun di perjuangin, nggak malu-maluin. Mas Dimasmu itu walau ganteng nggak ketulungan dimatamu, tetap aja produk Suka sari, rasanya nggak jauh beda sama yang lain. Ujung-ujungnya tetap balik ke desa. Mentok-mentok jadi buk sekdes kalo nikah sama dia."
Hening berdiri lalu berkacak pinggang, "emang kenapa kalo produk lokal? Yang penting mas Dimas. Denger ya … cinta itu nggak mandang tempatnya dimana dan siapa orangnya. Selagi rasa ini di anugrahkan manusia bisa apa?"
"Mulai kumat puitisnya." Nur memutar jengah bola matanya lalu kembali ke tempat duduknya. Begitupun dengan Bayu yang milih diamin Hening.
"Bisa sadar kalau cinta itu tidak akan berhasil." Satu kelas mendesah pasrah dengan ucapan Jepri. Dua manusia halu mulai kumat.
Jepri haluin Hening, Hening haluin Dimas, gitu aja terus sampe gajah ngelahirin anak kerbo. Yang jadi penonton enek kali, sumpah.
"Andai ini sinteron, udah ganti chanel aku." Celetuk Tutik yang buat Hening naik darah. Bukan naik darah sama Tutik melainkan sama Jepri.
"Ehh … Jep! Nggak usah ikot campor urusan rumah tangga orang!" Hening berjalan ke depan, mengambil pengapus lalu melemparnya ke arah Jepri. Untung ketua kelas itu bisa ngindar.
"Eitttttt … nggak kena," ucapnya girang dengan senyum lebar yang buat Hening makin murka.
"Rumah tangga siapa yang aku ganggu? Kamu kan masih gadis, selagi janur kuning belum melengkung di depan rumahmu, aku akan terus berusaha sekuat tenaga. Seribu kaya Dimas bakal aku hadapin, walau produk lokal aku janji bakal buat kamu jadi ibu kades interlokal."
"Ha ha ha ha ha ha ha …." Satu kelas terbahak mendengar gombalan gila Jepri yang aplikasikan dengan gerakkan tangan mirip orang baca puisi.
Hening semakin murka, dia mendekati Jepri dan pemuda itu langsung lari menghindar. Tau kali dia Hening akan melakukan KDRT.
"Ibu kades interlokal nggak tu? Desa sebelah dong! Lima tahun kedepan ada yang nyarik, siapa nama bapak kades Suka Makmur?" bestienya Jepri celetuk sambil terbahak.
"Jepriiiiiiiii!" sahut temannya.
"Ibu kadesnya?" tanyanya lagi.
"Hening Permata Hatiiiiiiiii!" sahut temannya lagi. Satu kelas ngakak brutal sampe banteng-banteng meja.
"Ada perlu apa sama bapak dan ibu kades?"
"Oh … ada reunian!"
"Ha ha ha ha ha ha …."
Hening emang jago tapi kalo ngadepin satu kelas mana sanggup. Bayu dan Nur ikut ngakak sampe nangis, hari ini dia sungguh sial.
Jadi bahan ketawa teman-temannya.
"Salam ibu kades!" goda teman sebangku Bayu sambil membungkuk hormat.
Kepala Hening udah bertanduk, dengan muka merah padam, napasnya udah memburu. Terbukti dari tangannya yang mengepal kuat.
Mata Hening melihat kotak pinsil milik Ratih, si kutu buku yang sedari tadi senyum. Orang lain pada ngakak dia masih senyum, entah semana level lucu bagi si kutu buku ini.
Dengan kekuatan bulan Hening meraih kotak pinsil itu lalu melemparnya ke teman sebangku Bayu yang baru mau menegakkan tubuh.
"ADUHHHHHHHHHH!" kotak pinsil mendarat di ubun-ubunnya dengan lancar. Kebayang lah ya sakitnya, sakit kali pasti. Tapi, seisi kelas nggak sempat ngasihani, makin ngakak mereka.
"Nggak ada akar, rotan pun jadi."
Ratih menatap sedih kotak pinsil yang isinya tercerai berai. Mau marah nggak bisa, yang bisa di lakukannya nangis dan itu makin buat satu kelas ngakak.
Hening dan teman sekelasnya nggak ada yang waras.
Apalagi ketua kelas yang sekarang tengah berdiri di depan pintu. Siap-siap lari kalo ayank ngejar atau ingin ngelempar sesuatu.
"Hening!" panggilnya. Hening menatapnya tajam, kalo mata piso udah tesayat-sayat si Jepri.
Dengan pedenya si Jepri melanjutkan, "ini gambaran masa depan kita. Bahagia ya? Jadi nggak sabar pengen halalin anak kesayangan abah Banyu."
"JEPRI KAMPREEEEEEEEEEEETTTTTTT!!!" teriak Hening. Kembali semua terbahak bahkan sampe guru selanjutnya datang.