"Masakan ibu emang nggak ada duanya." Puji Bayu yang lahap saat menyantap nasi liwet buatannya Susi lengkap dengan lauk pauk serta lalapannya.
Susi tersenyum bangga mendapat pujian itu dari Bayu.
Nur mengangguk malu-malu kucing saat menimpali ucapan sahabatnya. Dia harus terlihat lemah lembut di depan Dipta, sang pujaan hati.
Hening yang melihat itu mendengus kasar, "kalo kebelet kencing. Kencing dulu, Nur. Jangan di tahan, kena batu ginjal nanti."
Nur memelototinya yang jelas di abaikan olehnya. Dipta yang baru saja menerima piring berisi nasi dari Susi mengernyitkan alis karena nggak ada sendoknya.
Macam mana makan nggak pake sendok?
"Kenapa den?" Tanya Susi yang mau mulai makan tapi ngeliat Dipta diam jadi di urungkannya menyuap nasi yang udah ada sambel dan ayam goreng kampungnya.
Akibar pertanyaannya itu semua orang langsung tertuju padanya kecuali Hening. Gadis itu duduk di sebelah Banyu dan dengan lahapnya makan nasi liwet dengan porsi kuli, belum lagi lauk dan lalapan yang sangat menggugah selera, jengkol muda.
"Sendok," ucapnya singkat tapi cukup buat Susi paham.
"Tunggu aku ambilin." Nur langsung berdiri dan lari masuk kedalam gubuk Susi, dia mengambil sendok lalu membawanya keluar untuk di berikan pada Dipta.
Saat dia menyerahkannya, Dipta langsung meraihnya dengan kasar. Nggak ada ucapan terima kasih dari mulutnya. Bayu yang ngeliat itu emosi, tapi apa daya, mau belain Nur takut kena bogem mentah.
Sakit di bokongnya belum ilang lagi. Kayanya habis ini dia harus ikut kelas bela diri, kaya Hening.
Dipta dengan kesal menyuap nasi liwet yang enaknya kebangetan, belum pernah dia rasa nasi seenak ini. Di tambah lagi ayam goreng kampung dengan bumbu ungkep yang gurih, rasanya makin mantap, begitupun dengan sambelnya.
Jujur Dipta belum pernah makan senikmat ini. Apalagi setelah bekerja seharian di ladang, rasa laparnya lebih ngena gitu. Jadi, apapun yang di makan rasanya semua enak. Tapi walaupun begitu, dia nggak mau hidup selamanya kaya gini.
Sorry lah ....
"Tumben ibu masak enak, biasanya pas mau puasa sama lebaran aja." Celetuk Hening setelah menelan makanan yang sudah dikunyahnya halus. Dipta amit-amit kali liat cara makan Hening, yang nggak ada perempuannya sama sekali.
"Lalapannya, den." Tawar Susi yang di sambut gelengan kecil oleh Dipta. Pemuda itu duduk di samping Susi yang artinya di hadapan Banyu. Kalo di hadapannya Susi baru Hening.
Di sebelah Banyu sebelah kiri ada Bayu dan Nur.
"Bu, aku nanya lo ...." Protes Hening kesal karena di abaikan ibunya.
"Anggap aja masakan ini nyambut aden." Hening memutar jengah bola matanya. Saat dia ingin menyauti ibunya, abah langsung menatapnya penuh peringatan.
Maunya Banyu nggak ada pertengkaran saat makan.
Banyu mengambil keranjang nasi lalu menyentongkannya untuk Dipta tanpa pemuda itu minta. Dia tau cucu juragannya sangat lapar tapi gengsi untuk nambah.
"Saya harus memastikan perut anda kenyang setelah bekerja seharian. Kalau sampai anda sakit, saya tidak punya muka bertemu juragan," ucapnya sambil meletakkan bakul nas dan mengambilkan ayam goreng bagian sayap.
Dalam hati Dipta bersorak riang, tau aja kalo dia masih selera. Mau nambah tapi gengsi, takut di kataian sama Hening. Dan dia nggak punya bahan buat bales.
"Saya sebenarnya sudah kenyang, untuk menghargai bapak saya akan habiskan," ucapnya sok bijak.
"Ele ... bilang aja masih lapar! Pake gengsi!" Ucap Hening sambil menyuap nasi dengan tatapan tajam mengarah pada Dipta. Satu jengkol muda di masukkannya dalam mulut lalu di gigit, terdengar renyahnya.
Dipta yang malas nanggapin agak selera dengan suara jengkol muda yang Hening makan, tapi mau nyoba nggak berani. Sebab dia tau rasanya sangat tidak enak.
"Bu tambah," ucap Hening sambil menyodorkan piringnya. Dipta menatap gadis itu takjub, sebelumnya gadis ini udah ambil nasi empat centong, masih nambah?
Lambungnya terbuat dari apa coba?
Untung Susi masaknya emang banyak karena tau sekuli apa anak gadisnya makan. Susi dan yang lain udah biasa, nggak heran. Beda hal sama Dipta yang cengok ngeliat selera maka gadis bertubuh mungil itu.
Dia aja yang kerja bagai kuda sedari pagi nggak gitu kali makannya. Emang gadis ini ngapaen di sekolah? Gali sumur?
"Napa? Nggak pernah liat orang makan banyak?" Tanya Hening nggak selow. Tangannya sambil nyomot ayam goreng dua potong tapi langsung di pukul ibunya.
Dia meringis dengan bibir manyun, ibunya tau aja dia mau nilep ayam.
"Pantes ngorok lo kaya dengusan babi. Rupanya makan kaya kuli."
Bayu dan Nur hampir menyemburkan makanan yang ada dalam mulut mereka saking kagetnya dengan ucapan Dipta yang santai tapi cukup menohok untuk Hening.
Hening sendiri udah menggeram kesal karena Dipta membuka kartunya. Sedangkan Susi dan Banyu hanya bisa menjadi pendengar saja. Mau di lerai juga tidak mungkin, biarkan saja lebih bagus.
Hening melirik dua temannya yang menatapnya heran, emang nggak ada yang tau kebiasaan ngoroknya kecuali kedua orangtuanya. Sedekat-dekatnya dengan Bayu dan Nur, nggak mungkin juga dia sampe sejujur itu dengan mengatakan kebiasaan terhinanya.
"Siapa yang ngorok? Nggak usah fitnah?" Kesalnya.
"Sudah ... makan dulu," ucap Banyu. Dia seperti menghadapi dua anak yang tengah bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah. Begitupun dengan Susi.
Dalam hati dia bersyukur karena anaknya cuma satu, kalo lebih dari itu dan sifatnya macam Dipta, udah di pastikan dia mati muda.
"Kalian, lanjut aja makan," ucapnya pada Bayu dan Nur. Keduanya mengangguk, mau minta konfirmasi pekara ngorok, mereka takut karena Hening mode on marah.
"Fitnah? Kuping gue nggak budek! Pembatas selembar kertas nggak mungkin buat gue salah denger, tadinya emang gue pikir suara babi. Tapi, gitu gue denger dengan seksama, itu suara orang ngorok, mana pakek ngedumel."
Muka Hening merah pada menahan malu sedangkan Dipta santai dengan tetap menikmati makan siangnya. Nasi liwet sekarang menjadi salah satu kesukaannya.
"Bah ...." rengek Hening pada abahnya yang di tanggapi dengan senyuman.
"Den ... setelah ini kita lanjut ke kebun karet dan kopi."
Mata Dipta membelalak, "mau ngapain kesana? Yang di sini aja belum kelar!" Tolaknya tegas. Punggungnya udah pegal sedari tadi nyangkulin singkong sama nyemprot rumput.
Niatnya habis makan mau pulang, tidur seharian sampe jumpa makan malam. Dia rela beladang gini kan biar bisa makan siang, bukan untuk kerja rodi sepanjang hari.
"Anda harus tau para pekerja yang kerja di kebun milik juragan. Perlahan saya kenalkan satu persatu, karena ini akan memakan waktu yang lama."
"Nggak perlu kenal. Aku nggak minat." Ketusnya. Hening mendesah lega karena obrolan tentang ngorok ilang begitu aja ke bawa angin. Emang abah paling bisa di andelin.
"Tidak ada bantahan atau tidak ada makan malam."
Dipta kesel setengah mati, mau pergi sayang nasi liwetnya belum abis. Jadi, dalam kesal dia ngabisin makan siangnya sampe piring licin.
*
"Kamu ngorok kalo tidur?" Tanya Nur. Kedua gadis itu tengah mencuci piring sehabis makan. Sementara Susi leyeh-leyeh di dipan gubuk. Perot kenyang, udara semilir, enaknya emang tidur.
Kalo bayu tengah menjolok jambu air super manis milik Hening. Di desa ini cuma jambu air Hening yang manisnya nggak ketulungan. Kalo kata Hening manis karena yang punya manis.
"Nggak usah dengerin dia, Nur. Mustahil calon istri mas Dimas ngorok."
"Tapi, aku lebih percaya dia. Kamu itu emang banyak kurangnya, tapi kalo beneran ngorok, parah sih." Nur sengaja memanasi temannya ini.
"Aku nggak ngorok!"
"Semakin kamu marah, semakin akurat!"
Hening harus buat perhitungan dengan si anak monyet itu.