"Jangan Hening aja la ya dikasi porsi besar, kami kan langganan mas Joko juga!" seru seorang anak Sd yang usianya mungkin sekitar delapan tahun. Tubuhnya kecil mungil, tapi mulutnya luar biasa cerewet. Sering kali debat sama Hening, apalagi kalo lagi rebutan siapa yang harus duluan di bikini telur gulung sama mas Joko.
Hening anaknya nggak bisa ngalah, apalagi kalo merasa dia yang lebih dulu datang.
Mas Joko tersenyum, "oh … tentu. Untuk calon anak apa yang nggak." Anak-anak yang ada di langgar termasuk Hening langsung terbahak. Sebagai informasi anak itu emaknya janda muda, dan belum nikah lagi. Salah satu incaran mas Joko.
Anak itu berkacak pinggang, "nggak mau ah … aku mau punya ayah dari kota biar bisa tinggal di kota, sekolahnya bagus."
"Ya udah nanti kita pindah ke kota, mas Joko jualan di depan sekolahmu." Goda pria berusia tiga puluhan tapi mukanya udah kaya empat puluhan. Gimana nggak, kerja kasar membuat penampilannya lebih tua dari usia.
"NGGAK MAU!" Kesal anak itu dengan wajah marah, pipi gembulnya semakin mengembung.
Hening dan yang lain semakin terbahak.
Jam di langgar menujukkan pukul jam sembilan malam, waktunya anak-anak bubar dan pulang kerumah masing-masing. Rumah Hening berada di paling ujung, jadi dari gang terakhir yang menuju rumah Bayu, dia jalan sendiri. Nggak perlu takut ada lampu jalan, pos ronda pun udah pasti ada orang jaganya sekarang.
Jadi ngelewatin pohon besar sebelum jumpa rumahnya tetap aman jaya. Kalo ada hantu pun, hantu yang lari liat Hening.
"Hati-hati," ucap Bayu sebelum masuk gang rumahnya yang sempit, tapi jalannya sangat asri. Kanan kiri rumah orang, walau gelap nggak mungkin Bayu takut.
"Hem …." Hening masih kesal.
"Masih kesal aja … udah di traktir telur gulung juga." Protes Bayu.
"Traktir sepuluh ribu baru nggak kesal lagi."
"Ooo … itu namanya cari untung. Bagus kesal aja, nggak rugi aku." Setelah itu Bayu berlari kecil masuk ke dalam gang. Sayup terdengar suara Hening mengumpatnya dengan kata-kata yang nggak kasar, kaya pelit, perhitungan, sama temen kaya gitu dan lain sebagainya.
Bayu mana perduli, mending Hening kesal daripada kantongnya seret. Udah uang jajan seminggu sekali di dapat dari nimbang karet yang untuk dapatinnya dia musti bersusah payah naik turun gunung sehabis pulang sekolah, mana mau dia hamburkan begitu saja.
Sorry lah ya ….
Hening melanjutkan perjalanannya, pas melewati pos ronda dia menyapa bapak-bapak yang tugas jaga malam. Mereka teman abahnya, ada bapaknya Nur juga.
"Hati-hati nak." Semua bapak-bapak itu mengingatkannya.
"Ok … Hening luan ya …."
Semuanya mengangguk, bapaknya Nur turun dari pos ronda sambil bawa senter. Dia menyenteri jalannya Hening saat gadis cantik itu melewati pohon besar, cahaya lampu jalan nggak nembus daun pohon yang lebat.
Begitu sampe di ujung pohon Hening berbalik lalu teriak, "makasi pak udah nerangin jalannya, Hening!" dia juga melambaikan tangan. Bapaknya Nur mengangguk lalu balik ke pos ronda, lanjut ngopi bareng teman jaganya.
Hening berbalik lalu jalan masuk ke dalam pekarang rumah, abahnya jam segini udah masuk kamar dan langsung tidur. Besok mesti bangun subuh, habis sholat langsung ke kebun dan ladang.
Hening buka pintu sepelan mungkin lalu menguncinya, gitu berbalik dia bertemu tatap dengan Dipta yang baru keluar kamar, niat pemuda itu mau kedapur buat minum.
Demi apa dia belum makan dan minum dari awal kedatangannya.
Mana emaknya Hening nggak maksa nyuruh makan. Kan gengsi makan setelah nolak dengan tegas seolah iya nggak bakalan lapar.
Udah laper gini, nyesel minta ampun.
Hening melotot sambil berkacak pinggang, tanpa suara dia berkata, "mau nyuri kan?"
Dipta tentu bisa membaca gerakkan bibir Hening, dengan suara keras dia berkata, "emang apa yang bisa di curi di rumah lo ini, hah?"
Hening menggunakan langkah seribu untuk mendekati Dipta. Spontan Dipta mundur, takut kalau rambutnya jadi sasaran gadis gila ini. Sakit yang tadi aja belum ilang. Dia melindungi kepalanya dengan menysiri rambut dengan jari-jarinya.
Biar nggak ke baca sama cewe gila ini kalo dia takot di jambak.
"Bisa nggak usah pake suara? abah udah tidur, udah numpang itu sadar diri! kalo nggak mau nyuri mau apa? Keluar kamar di saat abah sama ibu udah tidur," ucap Hening. Suara cukup pelan tapi cukup membuat darah Dipta mendidih.
"Lo jaga mulut lo itu ya! Gue nggak numpang di sini, lo yang …."
"Udah pulang?" tanya Banyu yang keluar dari kamar. Hening langsung menoleh kearah ayahnya lalu mendekatinya dengan tatapan bersalah. Sementara Dipta berdehem, sedikit salah tingkah.
"Bapak ke ganggu ya? Makanya jangan asal kasi tumpangan sama orang gila. Besok kirim aja dia balik ke juragan Bramantyo pake truk sapi."
"Lo …." Dipta menatap Banyu yang menatapnya teduh. Pemuda itu mendengus tak suka lalu masuk kedalam kamar dengan bantingan pintu yang kuat.
"HEH ….!"
"Hening …." Tegur Banyu. Hening yang emosi langsung menatap ayahnya yang menatapnya penuh sayang.
"Kamu tidak boleh begitu sama tamu. Dia titipan juragan yang harus bapak jaga, jangan berkata seperti itu lain kali. Paham?"
"Tapi Bah, dia yang mulai. Datang kerumah orang nggak pake sopan santun, Hening kesal. Di tambah lagi kamarnya sebelahan sama Hening, males!" Kesal gadis cantik itu sambil menghentakkan kaki.
"SSsstttt … nggak boleh gitu. Sekarang kamu makan, habis itu tidur. Oh … di dalam lemari makan ada punyamu dan aden sudah di pisah ibu, aden belum makan, mungkin nanti." Hening mengangguk kecil. Setelah mengecup pipi ayahnya dia masuk ke dalam kamar untuk menyimpan mukena dan sajadah yang di bawanya.
Banyu kembali tidur, istrinya jangan tanya. Kalo udah jumpa bantal langsung terlelap, nggak ingat dunia. Banyu paham kalo istrinya sama lelahnya dengan dirinya. Ngurusin rumah, dia dan Hening sangat menyita waktu, dan sekarang di tambah cucu juragannya yang harus di tatar agar pribadinya berubah.
Sudah pasti tugas istrinya semakin bertambah, begitupun dengan dirinya. Tapi, mereka tidak boleh mengeluh. Mereka sangat berhutang budi dengan juragan, di masa lalu kalau tidak ada juragan maka mereka tidak bisa seperti sekarang.
Hening mengikat asal rambutnya lalu pergi menuju dapur. Dia membuka lemari makanan, ada ikan asin goreng, sambel terasi, sayur bayam merah lengkap dengan tahu tempenya. Susi sengaja menambah lauk supaya adennya mau makan.
Awalnya Hening mengambil bagiannya, tapi seketika otak kotornya bekerja. Dia ambil bagian Dipta juga, mana lah tau orangtuanya kalo dia yang ngabisin. Nggak mungkin anak monyet itu ngadu, pikirnya.
Malam itu Hening makan nasi cuma sikit selebihnya makan sayur dan lauk sampe habis tak bersisa. Perutnya sangat kekenyangan. Gitu mau masuk, kamar nggak lupa dia berdiri di depan kamar Dipta dan berkata tanpa suara.
"Selamat melewati makan malam tuan gila …, emang enak nahan laper semalaman? Aku sih nggak." Setelah itu Hening masuk ke dalam kamarnya.
Tengah malam Dipta nggak bisa tidur karena perutnya lapar. Dia membuka mata dan duduk, setelah itu menempelkan telinganya di dinding. Mendengar suara dari balik teriplek tipis yang jadi pembatas antara kamarnya dan Hening.
"Udah tidur kayanya tu anak setan," gumam Dipta tanpa suara.
Perlahan dia bangkit dan keluar dari kamar menuju dapur yang sangat sempit menurutnya, masih luas toilet di kamarnya lagi. Tadi dia dengar kalo ayahnya Hening bilang, lauk miliknya ada di lemari makan. Cuma ada satu lemari kayu di dapur ini.
Pas Dipta buka, kosong melompong, nggak ada apapun.
Rasanya Dipta mau nangis kaya gini.