"KAMPRETTT! LEPAS!!" Teriak Dipta frustasi. Rambut adalah salah satu kebanggaannya, nggak akan dia biarkan rontok di buat si jenong yang bar-barnya ngalahin monyet hamil muda.
Makin di katain, Hening makin kuat jambak rambut si Dipta, kalo bisa terangkat sama kulit kepala. Nur dan yang lainnya cuma bisa teriak-teriak nggak jelas membuat suasana semakin riuh.
Perempuan yang di panggil yayuk nepuk kuat pundak Bayu, pemuda itu sedang menonton pergumulan Hening dan Dipta dengan gaya sok bijak ala-ala pendekar jaman dulu.
Mau muntah.
"Aduhhhh ...." Bayu menatap kesal perempuan yang lima tahun lebih tua darinya itu. Kalo di urut silsilah keluarga mereka masih sodaraan.
Cuma bau-baunya aja, bukan sodara deket kaya perangko.
Heleh!
"Yuk ... sakit!" Kesalnya sambil menggosok pundaknya yang nggak gitu lebar kaya Dipta. Beda lah, Dipta olahraganya di tempat gym bukan di bawah pohon karet macam dia.
"Panggil pak de atau bude, cuma mereka yang bisa nolongin itu pemuda tampan. Kasian!"
"Biarin aja ... Hening kalo nggak puas melampiaskan amarah, dunia nggak akan aman. Bisa-bisa nanti aku yang jadi sasarannya." Tolak pemuda itu.
Mana mau dia nanggung resiko atas ketidak puasan seorang Hening Permata Hati. Nama paleng aneh sedesa raya.
Yayuk beralih ke Nur yang masih sibuk jerit sana sini macam di apain aja. Heboh nggak nentu pokoknya.
"Nur!" Panggil Yayuk.
"Aku nggak mau, hari udah mulai gelap, kalo di culik jin di jalan gimana? Kasian bapak sama ibukku, aku anak tunggal. Satu-satunya harapan kasi mereka cucu." Alasan Nur cukup kuat, emang kalo anak kampunh begitu pikirannya.
Umur pas untuk nikah langsung ijab kabul terus punya anak dan meneruskan silsilah keluarga, begitu terus sampe kiamat. Kecuali orangtua yang mau melihat anaknya sekolah tinggi, kaya otangtuanya Hening.
Ok, balik lagi ke Hening dan Dipta yang saling piting, sekarang Dipta bisa meraih pipi chubbynya Hening lalu menariknya dengan kuat. Udah pasti sakit tapi Hening enggan teriak minta tolong, pokoknya dia harus keluar jadi pemenang.
Dipta nggak habis pikir, tenaga Hening kok bisa kuat kaya cowo padahal tubuhnya mungil, nggak ada tanda-tanda atlit atau pegulat.
Sebenarnya, kepala Dipta udah sakit kali, kebas pun udah tapi gengsi minta tolong. Sebagai cowok perkasa dia harus mengalahkan si Jenong ini.
"Lepas atau gue ...."
"Apa? Jangan pikir aku takot ya! Sepuluh kaya kau pun aku sanggop lawan sekaligus!" Suara Hening melengking kuat, sekuat jambakkannya.
Dipta udah kehabisan rasa sabar, nggak perduli yang dia hadapin seorang gadis yang ukuran tubuhnya sangatlah mungil. Tingginya Dipta 180cm sedangkan Hening cuma 153, apa nggak kaya kurcaci si Hening?
Tapi ya gitu, walau kuntet kaya kurcaci, tenaganya ngalahin raksasa. Dipta yang udah nggak kuat langsung memegang pinggul Hening yang langsung di pelototin semua orang termasuk Hening yang udah teriak karena merasa di lecehkan.
Dipta nggak perduli dan langsung melumpuhkan gadis itu dengan menindihnya, kedua tangan Hening yang mirip capit kepiting di kunci di atas kepalanya.
Posisi sekarang merugikan Hening.
"Mau apa?" Tanya Hening dengan suara gemetar. Dia melirik teman-temannya yang bengong kaya patung. Nggak ada inisiatifnya nolongin dia dari si Dipta.
"Ya Tuhan, Hening bakal di hamilin anak Jin." Racau Nur yang buat bulu kuduk semua orang berdiri.
Dipta nggak perduli kalau posisinya sangat merugikan Hening. Tentu aja orang-orang akan berpikiran dia mau ena enain Hening. Sorry tu say, nggak terlintas di otaknya.
Macam nggak ada gadis lain aja.
"Yang jelas gue nggak niat perkosa lo ... rugi bandar. Enak nggak yang ada di gebukkin satu kampung." Mata Hening membelalak, tersinggung di katain nggak enak sama Dipta.
"Terus buat apa nindih aku? Nggak usah sok suci, bilang aja selera liat body aduhai macam gitar Spanyol." Angkuh gadis yang tidak punya celah untuk melarikan diri itu.
Entah darimana Hening tau body gitar Spanyol.
"Oh ... lo ngarep gue perkosa?" Tanya Dipta frontal dengan suara sengaja di buat sekeras mungkin. Hening melirik teman-temannya yang cengok akibat ucapan si monyet jantan ini.
Hening melotot, "enak aja! Kalo ngomong pakek otak! Siapa yang mau di perkosa sama kamu? Kuntilanak pun nggak mau! Mulut laki-laki kok kaya perempuan!"
"Heninggggggggg!" Suara ibunya memanggil dari arah jalan menuju sungai.
Semua orang yang mendengar itu kelagapan. Bayu spontan mendekati Dipta dan menarik pemuda yang seumuran dengannya tapi terlihat lebih gagah dan pastinya tampan.
Dipta menghempas tangan Bayu, pemuda itu terjengkang ke belakang. Bokongnya terantuk batu, sakitnya minta ampun. Yang ada di situ sempat-sempatnya ketawa menyaksikan tragedi itu.
Dia mengumpat kasar.
"Anak ini ya ... kalo udah jumpa air badannya berhantu, nggak mau udah. Hari udah gelap kaya gini nggak tau pulang. Oalah naseb ... naseb punya anak yang tingkahnya kaya kera sakti." Omel Susi sepanjang jalan yang sayup-sayup dapat di dengar mereka yang ada di pinggir sungai.
Nur takut ibunya Hening salah sangka, dia mencoba bicara baik-baik dengan Dipta.
"Mas Jin, lepasin Heni dulu ya ... nanti kalau ibunya liat, kalian bisa di kawinin."
Nur sebenarnya takut, tapi demi membantu sang sahabat dari rahim, dia rela mencoba bicara dengan jin tampan yang sangat menyeramkan ini.
Yang seram tingkahnya bukan mukanya.
Hening menatapnya jengah, kayanya si Dipta ini manusia batu yang nggak akan dengerin apa kata orang. Akhirnya dengan lantang Hening berkata.
"Biar aja Nur, kali aja dia memang mau di nikahin sama aku. Bunga desa Suko Sari." Alis Nur mengernyit karena tidak setuju dengan apa yang sahabatnya katakan.
Mata Hening mendelik dengan mulut mendumal pada Nur, mengisyaratkan sahabatnya itu mengiyakan apa yang dia katakan. Nur yang polos langsung menggeleng.
"Bunga desa bukan kamu!" Tegas Nur dengan muka polosnya. Hening mendesah frustasi. Gila ya kalo orang kelewat polos, nggak bisa di ajak kerjasama.
Hening menangkap wajah Dipta yang menahan tawa, sumpah ngeselin kali.
"NING!" Jerit Susi. Dia menuruni sedikit bebatuan untuk sampai di bibir sungai yang jernih sampai warnanya kehijauan, arusnya lumayan deras namun tetap dapat di taklukan oleh penduduk.
Namanya udah menyatu dengan alam, jangankan sungai, jurangpun udah jadi sahabat. Gitu lah kira-kira.
Perempuan yang di panggil Yayuk langsung bergergas mendekati Susi, niat hati mau mengalihkan perhatian wanita yang punya hoby omelin Hening itu.
Sebenarnya mereka sibuk sendiri, kondisinya nggak sesuai kepanikkan mereka yang amat sangat berlebih.
Dipta menahan tangan Hening yang sedari tadi terus berontak, dengan senyum iblisnya dia berkata, "lo bukan kembang desa tapi kembang kol! Sadar diri lebih bagus daripada nggak tau diri."
"Eh ... monyet! Dari tadi kau cari masalah aja ya sama aku. Kalo menghina nomor satu, sekalinya di katain banci nggak mau. Laki-laki mana yang mau ngelawan perempuan kalo nggak sifatnya juga kaya perempuan."
Emosi Hening udah di ubun-ubun.
"Lo ....!"
"ASTAGA!!!!" Jerit Susi yang gagal di alihkan perempuan yang di panggil yayuk.
Hening merasa pegangan Dipta di pergelangan tangannya mengendur, dengan cepat dia menerjang pemuda itu sampe terjengkang masuk ke dalam sungai.
"Tendangan maut!!!" Jerit Hening girang. Yayuk menatap sedih Dipta yang terjebur.
Nggak ada yang dengar pemuda itu memaki Hening karena suaranya tenggelam dengan suara air yang di sebabkan tubuh gagahnya tercebur.
Bayu langsung berdiri sambil menggosok bokongnya, "bude, ini nggak seperti yang bude pikirkan."
Susi berkacak pinggang, "apa yang bude pikirkan? Jangan belain Hening aja taunya Bayu!" Bentak Susi.
Bayu cengok, jelas-jelas Hening yang di rugikan. Masa bude nggak liat!
Dan kenapa dia yang di bentak?
Sedih Bayu tu ....