Hening gelisah mirip cacing kesiram air panas, rasa malu masih menguasai dirinya. Bayangkan ketangkap basah pas lagi nunjukkin aib, demi apa mending lompat titi. Mana si cowok natapnya jijik gitu, kan Hening makin nggak enak hati.
Susi menyikut putrinya yang masih terpaku kemudian mempersilahkan tuan Bramantyo masuk ke dalam rumah dan duduk di lantai beralaskan tikar jerami yang di anyamnya sendiri.
Kehidupan Hening emang jauh dari kata sederhana, namun cukup untuk mengisi perut tiga kali sehari. Bukan orangtuanya Hening nggak bisa kasi kehidupan yang layak, mereka sengaja hidup berhemat demi mengumpulkan uang untuk sekolah gadis cantik dan manis itu.
Mereka ingin Hening bisa sekolah di tempat yang bagus dengan fasilitas yang bagus pula, nggak perlu mengandalkan beasiswa. Mereka juga tengah menyiapkan sepetak tanah dan sawah sebagai warisan yang akan mereka tinggalkan untuk Hening.
Tuan Bramantyo masuk ke dalam rumah, tak lupa melepaskan sepatu mahal yang di kenakannya, berbeda dengan pemuda yang turut serta bersamanya, enggan melepas alas kakinya. Menurutnya, luar dan dalam rumah sama kotornya.
"Dipta!" Tegur juragan Bramantyo pada cucunya dengan raut wajah penuh peringatan.
"Aku nggak akan lepas sepatu, kakek nggak liat rumahnya bedebu gini?" tanpa sungkan Dipta mengomentari rumah Hening.
Hening yang tadinya malu langsung emosi, menatap tajam Dipta sambil berkata, "lantai rumahku lebih bersih dari mulutmu. Otak di pake kalo masuk rumah orang, jangan seenaknya menghina. Nggak beradab!"
Dia menatap juragannya lalu berkata, "mungut dimana anak kaya gini?"
Juragan Bramantyo terbahak sementara Dipta yang di katain menggertakkan giginya dengan tatapan horor yang amat menakutkan. Hening santai aja, jangan usik dia, kalo nggak mau berhadapan dengan nenek rombeng yang bersemayam dalam dirinya.
Juragan Bramantyo berdehem untuk menetralkan diri, "kebetulan dia cucu saya."
Mata Hening membelalak, bukannya takjub melainkan menyayangkan, kok bisa juragan baik hati yang penuh welas asih ini punya cucu nggak berfaedah seperti cowok di depannya ini, emang sih ganteng tapi tetap aja nggak buat jantung Hening nyut-nyutan.
Cuma mas Dimas yang bisa buat jantung Hening berdebar kaya lagi lomba lari.
"Oalah … aku pikir juragan hidupnya beruntung terus, rupanya ada sialnya juga." Hening berkata sambil melipat kain panjang yang tadinya dia lilitkan di tubuh mungilnya sebagai sari india.
"Maksudmu?" tanya juragan pura-pura tidak tau kemana tujuan Hening.
Dengan dagunya dia menunjuka Dipta acuh, "nih …, sial punya cucu kaya dia."
Rahang Dipta semakin mengeras, cewek kampung di depannya ini makin lama makin melunjak.
"Ning!" tegur ibunya yang baru tiba dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi tarik. Kesukaan juragan jika sedang berada di rumah ini.
"Dia duluan bu, seenaknya menghina rumah kita." Ketus Hening.
Juragan memerintahkan cucunya untuk duduk di sampingnya sementara itu Hening masuk ke dalam kamar dengan menghentakkan kaki. Demi apapun di dunia ini, dia benci dengan cowok yang tingginya kaya galah jambu depan rumahnya itu.
Dengan sopan Susi berkata, "maafkan Hening, dia anaknya mudah marah. Tolong jangan di ambil hati, den," ucapnya pada Dipta.
"Kalau orangtua bicara itu di dengarkan, Dipta!" tegur juragan yang merasa malu dengan sikap cucu bungsunya ini. Dipta mengedikkan bahunya acuh, sedari perjalanan moodnya sudah rusak.
Tidak, bukan dari perjalanan melainkan dari putusan kakeknya yang memintanya tinggal di desa dengan alasan yang tak masuk akal.
'Membentuk pribadi yang lebih baik'
Menurutnya itu akal-akalan kakeknya yang ingin dia menjauh dari rumah utama dan seluruh orang yang ada di rumah itu.
Menyebalkan.
Kalau ingin mengirimnya ke suatu tempat paling nggak keluar negri dengan fasilitas memadai, bukan ke desa yang serba terbatas seperti ini. Apa yang bisa di lakukannya di tempat sederhana seperti ini? membayangkannya saja, membuat emosinya naik ke ubun-ubun.
Susi yang sudah tau ceritanya hanya tersenyum maklum, sedikit dia bisa menilai karakter cucu majikannya ini.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara pria paruh baya yang baru saja sampai. Dia Banyu, ayahnya Hening.
"Walaikumussalam." Susi bangkit dan berdiri untuk menyambut sang suami.
Banyu tersenyum sambil menunduk hormat pada juragannya lalu tersenyum hangat pada Dipta yang tak melihatnya sedari awal kedatangannya.
"Sudah lama juragan?" tanya Banyu.
"Lumayan, tidak terasa karena aku sangat menikmati kopi tarik khas desa Suka Sari." Banyu tertawa rendah. Susi pergi ke dapur, membuatkan kopi untuk suaminya lalu dia kembali dengan segelas jembung (gelas besi besar yang biasanya di gunakan petani untuk minum).
Banyu menatap Dipta, "tidak di sangka anda tumbuh dengan cepat, den."
Dipta menatap Banyu acuh, "kita pernah bertemu?"
Banyu mengangguk, "sudah sangat lama. Mungkin saat usiamu sekitar dua tahun atau kurang."
Juragan mengalihkan pembicaraan saat Dipta ingin bertanya lebih, "seperti yang sudah ku katakan, dia akan tinggal di sini sementara waktu. Ajari dia dengan baik sampai bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab, paling tidak untuk dirinya sendiri."
Dipta berdecak, "kakek membuangku, jangan harap aku bisa berubah seperti apa yang kakek inginkan. Tinggal di gubuk seperti ini, aku bisa mati perlahan."
"Kalau mati, tinggal aku sebarkan kabarnya ke seluruh kota." Sahut juragan dengan nada tajam yang kasar.
Dipta mendengus kasar, kakeknya selalu begitu, tidak pernah mau mengalah.
*
Pukul enam sore Hening keluar dari kamar, gadis itu tertidur setelah berdebat dengan Dipta tadi.
"Loh, kok masih ada dia bu?" tanya Hening dengan suara yang sengaja di buat besar, supaya orang yang di maksud tersindir.
Dipta yang tengah duduk di teras rumah nggak dengar, wong dia pakek headset.
"Ndok …, nggak boleh gitu," ucap Banyu yang tengah menutup jendela.
Hening mengedikkan bahu sambil menuju dapur, menyambar handuk dan peralatan mandi kemudian pergi menuju sungai yang ada di belakang rumahnya. Pas ngelewatin si Dipta sengaja dia bergumam dengan keras.
"Panasnya hari!!!!"
Dipta melirik sekilas gadis yang mengenakan kaus lusuh dan celana tidur selutut. Dia mengikuti arah tujuan Hening. Gadis itu berjalan dengan riang menyusuri jalan setapak yang ada di belakang rumahnya, di sungai dia akan bertemu dengan segerombolan temannya yang pasti sedang berenang.
Banyu keluar, "aden tidak mandi?"
Tau kalau pria paruh baya itu bicara dengannya, Dipta melepaskan hedset yang bergantung di telingnya. Kakeknya dengan tegas mengingatkan kalau dia harus mematuhi Banyu selama tinggal di desa terpencil ini. Demi Tuhan, rasanya dia ingin teriak.
Kalau bukan karena 'dia' sudah pasti Dipta enggan menuruti kakeknya.
"Nanti," jawabnya acuh.
"Saya sarankan pergi sekarang, ikuti Hening. Gubuk saya tidak ada kamar mandi, sungai satu-satunya sumber air."
Dipta berdiri lalu menatap Banyu dengan horor, "sungai?"
Pria paruh baya itu mengangguk, "jangan khawatir, sungainya sangat jernih. Langsung turun dari pegunungan." Tunjuk Banyu kearah gunung yang sudah tertutupi awan senja, sangat indah.
Dipta mendengus kasar lalu masuk ke dalam kamarnya yang satu dinding dengan kamarnya Hening. Jangankan ngorok, napaspun kedengaran.