"Hening pulang!!"
"Gak usah teriak-teriak, Ning!" Jerit wanita berusia empat puluahan dari dapur yang jaraknya nggak sampe lima meter dari pintu depan.
Gadis yang teriak dan di teriaki itu Hening Permata hati, demi apa namanya aneh banget mirip sama orangnya. Niat hati si orangtua kasi nama begitu, biar anak gadis mereka bersikap kalem lemah lembut dan berbudi pekerti yang baik, tapi malah sebaliknya.
Kenyataan tak seindah harapan Ferguso.
"Biar kaya drama Korea, tiap pulang pasti bilang, aku pulang!" Sahut Hening lagi sambil melepaskan sepatu dan kaus kakinya yang udah berwarna coklat.
Hening jarang ganti kaos kaki, ntar nunggu tu kaos kaku kaya kanebo kering. Aromanya gak usah di tanya, buat mati suri.
Hening melempar asal tasnya lalu menuju dapur, "papa mana?"
Wanita yang tak lain adalah ibunya Hening langsung melotot, "papa papa! ABAH!" gadis yang di bentak langsung cemberut habis itu terkekeh pelan sambil nyengir kuda, nunjukkin giginya yang nggak putih-putih amat.
Maksudnya nggak seputih gigi veener para artis dan horang kayahhhh.
"Orang kaya manggilnya papa, masa Heni gak boleh." Sakit kepala wanita bernama Susi tersebut. Putrinya emang ratu halu sepanjang waktu.
"Cukup, Ning! Cukup! Nggaka ada hari nggak menghalu, orang yang makan biskuit sama yang makan ikan asin beda tata cara hidupnya! Begitupun dengan panggilan sehari-hari. Heni ... Heni ... jangan sok kaya, rumah ampir roboh gini manggil abah, papa!"
"Orang kaya makan biskuit emang kita gak bisa? Tinggal beli di warung, bungkus yang ada macannya," balas Hening. Biskuitnya murah, terjangkaulah untuk kantongnya yang sekarat, gak pernah sehat.
"Bukan biskuit roti tapi daging, yang makannya di potong pake garpu sama piso (pisau)." Jelas Susi, dia liat di acara kuliner. Keliatannya enak tapi lebih enak makannya pakek nasi, sambal plus lalapan.
Terus makan pakek tangan di gubuk, dengan semilir angin. Pasti enak kali, mikirin itu aja, liur Susi hampir tumpah.
Hening memutar jengah bola matanya, "steak bu, jauh amat ke biskuit!" Gerutunya.
"Masa steak? Ituloh yang mirip daging semur." Si ibu gak mau kalah.
"Oalah, itu bistik! Makanya yang di tonton drama Korea bukan sinetron, jadi wawasan tentang kehidupan orang kayanya maju, gak stuck. Udah ah ..., abah mana? Kok, belum pulang?"
"Oh ... lagi dirumah juragan Bimo, biasa ada yang mau nyewa tanah, abah di suruh ngukur."
Abahnya Hening kerja sampingannya tukang ngukur tanah, kalo pekerjaan utama mengelola tanah dan perkebunan milik juragan yang tinggalnya di kota.
Mata Hening berbinar, "kalo gitu, abah ketemu calon mantu."
Susi hanya bisa menggeleng lemah, ntah salah makan apa dia waktu hamil anak gadisnya ini. Suka sama cowo dari batita sampe sekarang masih bertahan, luar biasa. Yang lebih parahnya lagi, berani secara terang-terangan menunjukkan rasa suka.
Sampe anak juragan tanah risih bin muak sama Hening, tapi gak menyurutkan keteguhan hati hadis cantik berambut indah itu.
Hening gadis cantik, kalo gak bar bar udah pasti jadi kembang desa di tempatnya tinggal. Tapi karena sifatnya yang absurd, julukkan itu jatuh pada anak gadis gang sebelah, kalo dari wajah jauh cantik Hening kemana-mana.
Tapi kalo akhlak, dia juaranya.
Udah pantas emang tu gadis yang jadi kembang desa, kalo sampe Hening, ibunya langsung turun demo, gak setuju julukkan itu melekat dalam diri putrinya.
"Calon mantu, matamu! Udah, Ning! Gak usah berkhayal aja, ibu malu! Akibat hayalanmu itu, ibu keluar dari anggota wirid"
"Kalo itu bukan karena aku, emang ibu di keluarin sebab sering nunggak!"
Susi berdehem karena kartunya di bongkar sang putri.
"Ibu selalu bayar kok! Emang keluar karena kamu, gak enak hati tiap jumpa bu juragan, di ledekkin calon besan. Dia senyum-senyum kambing, ibu tau gak nyamannya dia kaya apa."
"Loh ..., harusnya ibu bangga, satu penduduk desa dukung aku biar bisa sama mas Dimas. Calon besan ibu itu senyum karena senang, jangan salah artikan senyum kembingnya, bu!" Terang Hening sok tau.
Susi memijat pangkal hidungnya yang mendadak sakit.
Dia mengibaskan tangannya sambil berkata, "sekarang pergi bersihkan kamar tamu, juragan kita datang hari ini."
Seperti biasa, kedatangannya untuk mengecek tanah dan kebun.
"Biasnya gak nginap." Celetuknya sambil meraih gelas lalu menuangkan air yang ada dalam ceret.
Desa Suka Sari sangat sejuk, gak perlu masuk kulkas air minum udah dingin.
"Hari ini datangnya sorean, udah pasti gak bisa pulang. Gak usah banyak kali cerita, Ning! Kalo orangtua suruh, di kerjakan terus!"
'Untung cuma satu yang begini' batin Susi.
"Bu." Panggil Hening.
Susi berbalik dan kembali melotot, "apa lagi? Ibu pikir kamu udah masuk kamar!"
Dengan mata penuh permohonan Hening berkata, "jangan panggil aku, Ning! Jelek, sakit telinga aku dengernya!" Ujung-ujungnya gadis itu kesal.
Dia dan ibunya selalu bermasalah dengan namanya itu. Panggilan yang gak banget baginya, tapi buat ibunya, justru sebaliknya. Kan kesal!
"Kalau kamu berhenti ngejar Den Dimas, ibu berhenti manggil kamu, Ning."
Hening menghentakkan kaki, sambi lalu berkata, "kalau itu mustahil. Dia bakal jadi mantu ibu."
"Itu lebih mustahil!" Sahut ibunya.
Terdengar pintu kamar Hening di tutup dengan kuat.
"JANGAN DI BANTING, RUMAH BISA ROBOH! UDAH TAU KAYUNYA RAPUH!" Teriak Susi dari dapur yang pasti dapat di dengar Hening yang tak hentinya menggerutu.
Selalu aja begini, ibunya gak pernah redho terhadap perjuangannya atas Dimas. Sang pujaan hati yang udah di taksirnya semenjak belum tumbuh gigi graham.
Kurang suci apalagi coba cintanya?
Ibu mana tau.
*
Selesai berganti pakaian Hening langsung membereskan kamar tamu yang gak lebih luas dari toilet sekolahnya, gak butuh waktu lama kamar dengan kasur seadanya itu telah selesai dia bersihkan.
Setelah itu, Hening langsung menyalakan DVD player dan memutar lagu kesukaannya, Bollywood yang filmnya di bintangi Saif Ali Khan. Begitu musik di mainkan, Hening menjelma jadi nona india.
Menari dengan melenggok-lenggokkan pinggulnya.
"Ha ya ya ..., pyar re hei ...."
Begitu gerakkan memutar, Hening mematung saat bertemu tatap dengan mata elang yang luar biasa menatapnya jijik.
Demi Tuhan malunya gak tau bilang, pekaranya Hening abis berputar-putar menirukan nari yang ada di dalam layar televisi yang gedenya macam kotak air mineral.
Mana narinya kaku.
'Ya Allah Gustiiii … malunya aku!' batin Hening.
"Sore Hening." Sapa suara yang cukup di kenal gadis itu. Matanya beralih menatap pria tua yang ada di samping pemuda yang memiliki mata setajam silet.
"Eh ... anu ...." Hening mendadak gagu. Otaknya gak sanggup mikir, napasnya pun tinggal satu-satu.
"Sore juragan Bramantyo." Sapa ibunya Hening yang keluar dari dapur dengan penampilan yang cukup lusuh. Sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam untuk nyambut tamu.