Musik berdentum nyaring, diikuti sejumlah manusia yang meliuk-liukan tubuhnya di dance floor dengan eloknya.
Asap mengepul dari rokok yang terbakar, berwarna abu-abu kepekatan seakan menambah meriahnya malam itu.
Jarum jam berdetik, terus bergerak tanpa berniat untuk berhenti. Pukul satu lewat. Namun tidak ada baik satu pun manusia yang hendak menanggalkan tempat itu.
Langit yang semakin pekat, dan udara yang siap menggerogoti tubuh siapapun tidak banyak yang menghiraukan. Bahkan justru membuat tempat itu kian ramai. Di penuhi oleh puluhan manusia di setiap jengkal sisi ruangannya.
Hiruk pikuk dunia malam, yang berdampingan dengan hewan-hewan nokturnal. Abai pada kewajiban bekerja ketika fajar menyingsing. Entah apapun itu, kesenangan malam ini tidak boleh terlewat begitu saja.
Sebotol besar vodka atau tequila yang menggiurkan, dan beberapa perempuan sewaan dengan pakaian minim siap menggoda laki-laki hidung belang berdompet tebal.
Siapapun pasti tegoda bukan?
Bulan purnama yang bersinar terangnya, atau bintang yang bergemerlap menggoda, tidak ada yang menghiraukan.
Lebih tertarik memasuki sebuah kelab malam di pinggiran jalan, ramai akan hiruk piruk manusia yang hendak mengistirahatkan diri dengan cara bersenang-senang.
Lampu berkedip berganti warna cukup menyilaukan. Di dalam tempat di mana lautan para pendosa yang bertumpah ruah, terlena akan kenikmatan duniawi. Tanpa peduli bahwa para iblis tengah tertawa terbahak-bahak melihat para manusia yang berhasil mereka sesatkan. Semuanya bersenang-senang.
Semesta yang tenggelam dalam malam, digantikan oleh bintang dan bulan yang bersinar sendu tidak lagi mendapat eksistensi berlebih dari para manusia.
Sebuah jam besar terpampang gagah di tengah ruangan, mengingatkan setiap orang jika waktu terus bergerak tanpa bisa di tunda. Mencoba memperingati agar penyesalan tidak menyelimuti diri ketika esok tiba.
Namun lagi-lagi, siapa peduli. Semuanya terhanyut dalam musik yang mengalun keras, atau bahkan tengah meracau tidak jelas karena pengaruh minuman berkadar alkohol tinggi. Beberapa diantaranya juga tengah bersenang-senang dengan mainannya malam ini.
Terlebih dengan Valie, gadis itu tampak asik meliuk liukkan tubuhnya di tengah dance floor dengan puluhan orang lainnya. Perempuan itu mengangkat tangannya memperlihatkan sebuah pistol yang ia genggam menandakan, ia sama sekali tidak ingin di dekati. Mave sendiri hanya melihat dari sudut bar. Dengan posisi duduk yang angkuh, lelaki itu menatap Valie tajam, tidak membiarkan gadisnya lepas dari pengawasannya barang sedikitpun.
"Branden sudah menunggu di casino bersama Claudia," Daniel berujar, masih sedikit gentar menghadapi Mave atas peristiwa beberapa saat yang lalu.
Mave mengangguk kecil, "Aku akan datang dalam sepuluh menit. Biarkan aku membereskan setan kecilku itu terlebih dahulu," ujarnya sebelum beranjak.
Beberapa orang segera menyingkir, sangat familiar terhadap sosok Maverick Davidson. Bar ini berada dalam wilayahnya ngomong ngomong. Dan lagi, siapa yang tidak mengenal Maverick? Pemimpin Calisto, sebuah perusahaan mega besar yang terus berjalan di bawah tanah. Juga termasuk pemimpin kartel mafia terbesar di asia. Semua orang jelas memilih mundur dibandingkan melawan Mave, laki laki itu terlalu berbahaya. Dan hanya Valerie Helen, yang benar benar menantang bahaya dengan berada di sisi Maverick.
Mave menarik lembut lengan Valie sontak membuat gadis itu menoleh, "Huh? Kau ingin menari bersamaku Mave?"
"Branden sudah menungguku di casino. Dua pilihan,"
"Aku akan memilih pilihan pertama dengan ikut denganmu," perempuan itu tersenyum lebar, segera menggandeng lengan Mave, berjalan dengan riang keluar dari kerumunan.
Mave tidak berkomentar banyak, memilih mengikuti kemanapun kaki kecil Valie berayun, "A glass vodka please," seru perempuan itu pada sang bertender, "Casino room number three,"
"Okay nona. Pesananmu akan datang dalam lima belas menit,"
Valie mengangguk, "Aku tidak melihat Lucas dan Yuki malam ini,"
"Mereka kembali lima menit yang lalu. Ku dengar Yuki tidak sedang dalam kondisi yang bagus,"
"Oh? Bisakah kita menjenguknya besok?"
"Aku akan pergi ke Las Vegas besok,"
"Kita bisa menundanya,"
"Baik terserah padamu," Mave memilih mengalah, ia tidak akan pernah menang jika berdebat melawan Valie. Gadis itu begitu keras kepalanya, "Mereka sudah berada di dalam?" tanya Mave pada Daniel yang baru saja datang menghampiri mereka.
Daniel mengangguk, membuka pintu ruangan seraya membungkuk hormat kearah pasangan itu.
Valie tersenyum lebar, menyempatkan diri untuk mengerling kecil ke arah Daniel, "Kau terlihat fampan malam ini Daniel. Aku suka pakaianmu,"
"Kau ingin mati?" Mave menggertakkan giginya, membawa kepala Valie untuk kembali fokus ke depan. Gadis itu, jika di biarkan akan semakin menjadi jadi.
"Hai Branden dan Claudia," Valie menyapa saudara kembar itu, tersenyum remeh seraya memainkan bidak catur yang sudah di susun diatas meja, "Well, kalian sudah menggunakan uang uang itu untuk berjudi bahkan belum sampai satu jam aku memberikannya,"
"Valie apa yang kau lakukan di sini?!" Clau menggertakkan giginya, menatap penampilan Valie yang jauh berbeda dari biasanya. Terlihat royal dan elegan. Dan tentu saja, Clau merasa iri akan hal itu.
"Aku? Tentu saja bersenang senang," sinis Valie seraya mendudukkan diri di samping Mave, "Dan yah kuperkenalkan pada kalian, kekasihku, Maverick Davidson. Kami adalah pasangan yang selalu kalian sebut sebagai pasangan pecundang. Loser Couple. Sekarang lihat siapa di sini yang merupakan pecundangnya?"
Branden tampak menggertakkan giginya, menatap bengis ke arah Mave dan Valie bergantian, "Lelucon macam apa ini. Cepat berikan aku Si Davidson itu! Untuk apa aku bertemu dengan dua pecundang ini,"
Valie lantas tergelak, menberi kode pada Mave yang segera diangguki oleh lelaki itu, Mave segera merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kartu nama dari sana, "Maverick Davidson. Lawanmu malam ini. Aku bertaruh untuk satu juta dollar,"
"Itu terlalu sedikit di bandingkan biasanya Mave," timpal Valie.
"Aku hanya patut melihat siapa lawanku. Aku seharusnya tidak perlu repot repot turun ke kasino hanya untuk dua bedebah yang sudah menyiksa kekasihku selama nyaris dua puluh dua tahun,"
Valie terkekeh, mengangguk ringan tanpa banyak memberikan protes.
"Nona Valerie, Vodkamu,"
"Oh, thanks Brian kau bisa meletakkannya di sana. Daniel yang akan memberikan tipmu,"
"Thank you young lady,"
"My pleasure," balas Valie seraya tersenyum simpul.
"Bisakah kau hentikan itu?"
"Itu apa maksudmu?"
"Tersenyum pada orang lain,"
"Kenapa? Bukankah aku terlihat cantik jika tersenyum,"
"Senyummu hanya milikku," Mave berbisik dalam, sukses membuat Valie menyeringai. Si pencemburu itu benar benar.
"Apakah hanya senyumku?"
"Apapun yang ada dalam dirimu. Itu milikku," jawab lelaki itu dengan mutlak sebelum kembali fokus ke depan. Mave meletakkan pistol miliknya ke arah meja, Valie segera mengikuti tak lama kemudian, "Tanpa senjata. Aku benci bermain dengan senjata di dalam kasino,"
"Well, terserah apa maumu, Davidson," Brandong mendengus keras, menatap Mave dengan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat.