Rumah itu masih sama seperti terakhir kali Valie datang. Rumah dengan jendela kaca besar di beberapa sisi dengan ukuran cukup besar dan tentu, berada di tengah hutan. Jaraknya tidak jauh dari markas Calisto.
Rumah ini tidak kosong walaupun Mave biasanya tinggal di mansionnya. Beberapa anggota Calisto tinggal di sini. Satu pasangan suami istri dan beberapa anggota lain. Sehingga walau berada di tengah hutan, rumah ini tidak pernah terlihat sepi.
Namun sekarang masih pukul dua dan tentu, seluruh penghuni rumah tengah sibuk bekerja di markas.
Mave melangkah terlebih dahulu diikuti Valie di belakangnya, keduanya sama sama diam. Menelisik isi rumah yang tampak terlihat rapih tanpa cela. Dengan udara yang sejuk, sangat menyenangkan tentunya tinggal di rumah ini.
"Sudah lama sejak terakhir kali aku datang," ujar Valie, menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah, menatap Mave mendongak, "Tempat seperti ini sangat menyenangkan,"
"Kau menyukainya?"
"Tentu," gadis itu mengangguk, lantad beranjak lagi, berjalan gontai menuju kamar miliknya, juga Mave. Kamar itu biasa mereka gunakan saat istirahat setelah latihan. Dan jarang sekali mereka menginap.
Mave mengikuti Valie di belakang, tidak banyak berujar. Memilih diam mengamati pergerakan gadisnya.
Lelaki itu teridam, terlebih dahulu mengunci pintu kamar sebelum menyusul Valie yang terlebih dahulu menjatuhkan diri diatas ranjang.
Mave duduk di samping gadis itu, mengeluarkan ponselnya sebelum mulai terfokus pada benda itu.
"Kau menyadarinya Mave?"
"Tentu," Mave mengangguk singkat, lelaki itu menatap Valie yang kini mengubah posisi menjadi terlentang dan menggunakan pahanya sebagai bantal, gadis itu tampak menggesekkan wajahnya pada perut sang kekasih membuat lelaki itu terkekeh geli, "Apa yang kau lakukan?"
"Kaca itu anti peluru. Dan aku hanya ingin memperlihatkan bagaimana kemesraan Raja dan Ratu Calisto," jawab gadis itu santai.
Mave terkekeh kecil mendengarnya, menggemaskan sekali sosok Valerie Helen kekasihnya ini, "Baik terserah apa maumu, Babe,"
"Aku ingin mendengarkan apa yang mereka bicarakan," Valie kembali mengubah posisinya, kini berganti duduk bersandar pada dada kekasihnya, "Kau masih memasang penyadap suara di sana bukan?"
Mave mengangguk angguk tanpa minat, "Apa yang ingin kau lakukan sebenarnya Valerie Davidson?"
"Hanya bersenang senang," jawab gadis itu santai, kembali menatap ponselnya yang sudah tersambung dengan alat penyadap suara yang di pasang Mave di luar sana, "Mereka tidak akan mendengar kita bukan Mave?"
"Ya, tidak,"
"Bagus," Valie mengangguk angguk, menambah volume ponselnya.
'Mereka sedang memperhatikan sesuatu di ponsel,'
Valie menaikkan sebelah alisnya mendongak menatap sang kekasih, "Okay??? Dia hanya ingin mengintai kita atau..?"
"Entah," Mave membalas dengan acuh.
'Terus perhatikan gerak gerik mereka, aku tidak ingin kau terlewat satu gerakan pun,'
"Bukankah itu pemimpin Da Zera?"
"Ya. Jangan membahasnya, aku benci lelaki itu," jawab Mave malas, "Kau ingin kita menghabiskan waktu berdua hanya untuk menguping percakapan anggota Da Zera yang sedang menguntit kita?"
Valie melengkungkan bibirnya ke bawah, menatap Mave memelas, "Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa,"
Mave mendengus mendengar jawaban Valie. Seharusnya ia sudah bisa menebak jawaban gadis itu. Valie akan terlihat begitu mudah di tebak jika tengah berdua dengan Mave. Tapi gadis itu akan berubah drastis ketika di luar sana. Valie yang mengintimidasi dan mematikan. Ah panggilan itu kadang terlalu berlebihan menurut Valie.
"Aku ingin segera pergi ke Nevada," Valie mendengus keras, beranjak dari tidurnya sebelum berjalan dengan resah mengelilingi ruangan, "Aku ingin segera bertemu mama,"
"Aku yang tidak ingin hal itu terjadi," Mave ikut mendengus keras, mengeluarkan pistolnya dari saku celana sebelum memainkan benda itu di sertai seringaian lebar, "Kau ingin bermain main sedikit?"
Valie menaikkan sebelah alisnya sebelum ikut mengeringai, mengeluarkan pistol kesayanganya dari balik dress yang ia kenakan lalu menatap sang kekasih dengan tatapan menantang.
Dor
Satu tembakan lepas sesaat setelah Valie menarik pelatuk pistolnya, tepat di samping perpotongan leher Mave. Peluru itu mengenai tembok di belakang Mave.
Lelaki itu terkekeh kecil, ikut menembakkan peluru miliknya. Valie dengan cepat menghindar sebelum peluru milik Mave mengenai jantungnya, "Kau benar benar gila. Aku menyukainya," gadis itu terkikik.
'Mereka saling menembak,' sebuah suara dari ponsel Valie sukses membuat seringaian keduanya melebar.
"Eyyy mereka bahkan belum melihat bagaimana aku dan kau sedang berada dalam night date yang romantis," Valie memainkan pistolnya, sang gadis melempar benda itu sembarangan lalu mengangguk angguk santai, "Kau tahu Mave? Aku sudah lama tidak bermain dengan pisau. Aku sangat merindukannya,"
"Tidak untuk hari ini," jawab lelaki itu datar, "Kau ingin mama membunuhku karena melihatmu terluka besok? Well aku lebih memilih jalur aman di bandingkan dengan mendengar omelan mama yang tidak ada habisnya,"
"Menyebalkan sekali," Valie mencebikkan bibirnya kesal, "Aku ingin makan burger,"
"Tidak untuk hari ini,"
"Bagaimana dengan pizza?"
"Tidak dengan makanan cepat saji,"
"Eyyy kau begitu menyebalkan," seru Valie seraya melotot lebar, Mave menyebalkan sekali, "Kau tahu orang orang memanggilku Ratu Lebah?"
"Kenapa demikian?"
"Entah aku hanya mengarang informasi itu," Valie mengedikkan bahunya acuh, kembali berjalan mengelilingi ruangan dengan gelisah. Well, gadis itu memang tidak pernah bisa tenang dalam waktu sebentar saja.
Mave memijat kepalanya yang berdenyut melihat tingkah sang kekasih.
Saat hendak berseru, ponsel miliknya berdering membuat lelaki itu sontak menoleh, "Diamlah Daniel menelepon,"
"Kau bisa mengangkatnya tanpa mempedulikan aku,"
"Terserahmu, Ya Daniel. Apakah sesuatu terjadi?"
"Tuan Antonio dan Nyonya Margareth bersama kedua anak mereka, Tuan Brandon dan Nona Clau berada di mansion hendak menemui anda bersama Nona Valie, Tuan," ujar Daniel.
Valie sontak menghentikan gerakannya, menatap Mave dengan tatapan sengit, "Ya. Kami akan menemui mereka. Tunggu dalam tiga puluh menit. Aku dan Mave akan kembali. Tolong sajikan perjamuan untuk mereka selagi aku dan Mave ada dalam berjalanan,"
"Tapi Tuan Mave...," suara Daniel di seberang sana terdengar ragu.
Mave mengedikkan bahunya lagi, menatap acuh ke arah ponselnya, "Cukup lakukan apa yang di perintahkan oleh Valie," lelaki itu tahu, Valerie Helen adalah gadis cerdas yang tidak mungkin menyianyiakan kesempatan ini untuk melepaskan keluarga pamannya begitu saja.
"Ingin kau apakan para bedebah itu?" tanya Mave seraya beranjak lalu membenarkan jas yang ia gunakan, "Aku tahu itu bukan untuk tujuan yang baik. Aku sangat mengenal tabiatmu itu, Nona Valerie Helen,"
"Tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka lepas begitu saja. Enak saja," Valie mendengus, menggandeng lengan Mave sebelum dengan anggun berjalan keluar ruangan, "Apakah rambutku berantakan?"
"Ya, kau membawa sisir?"
"Huum. Kau bisa membantuku?"
"Ya," Mave mengangguk, menerima sisir yang di ulurkan Valie sebelum merapikan rambut sang kekasih, "Ini terlihat lebih baik,"