Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 18 - 09. Menghindar

Chapter 18 - 09. Menghindar

Plastik pemberian Pak Fadh berisi roti isi sosis, roti isi ayam, dan satu lagi susu kotak 250ml rasa coklat. Nisa mengerutkan kening, memandangi satu per satu makanan dan minuman di atas meja. Ini suatu kebetulan yang baik. Nisa memang tidak sempat sarapan karena terburu-buru berangkat ke sekolah. Jangankan bekal, sarapan pun sampai tidak dipersiapkan. Ia terlalu banyak membuang waktu untuk berpikir.

Terlalu fokus merenung sampai membuatnya lupa waktu.

"Jangan-jangan Pak Fadh tahu aku belum sarapan." Nisa berbicara dengan dirinya sendiri. Kemudian menggeleng cepat. "Mana mungkin. Memangnya Pak Fadh punya mata batin? Kalaupun tahu, apa pedulinya?" tambahnya tertawa dengan suara yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

Ketika mengangkat wajah dari tiga item barang yang sedari tadi ia pelototi, Nisa bertemu pandang dengan Alvian di sudut lain. Merasa tertangkap basah telah berbicara dan tersenyum aneh seorang diri, Nisa tersenyum canggung ke arah Alvian. Kemudian mengalihkan pandangannya dengan cepat.

Mendadak permintaan putus yang Ilyas kirimkan melalui pesan singkat kembali muncul di benaknya.

"Alvian pasti sudah tahu bagaimana hubunganku dengan Ilyas berakhir, maka dari itu semalam dia datang." Nisa menghela napas.

Padahal Nisa masih mencari-cari Ilyas malam itu. Terus memandangi jalan yang kosong. Terus menoleh ke belakang meski telah berjalan. Terus berharap Ilyas datang dan akhirnya mereka kembali berbaikan. Berpikir semua kembali baik-baik saja.

Berharap seperti itu, sepertinya terlalu banyak.

"Kenapa dia belum datang, ya?" Nisa berbicara dengan suara lirih.

Nisa memandangi arah pintu masuk. Sedari tadi terus beralih dari jam di pergelangan tangan kirinya ke arah pintu. Tanpa sadar tetap menunggu kedatangan Ilyas. Seperti kebiasaannya selama ini. Dan, ketika tatapan keduanya bertemu di langkah pertama Ilyas menginjakkan kakinya di kelas, mereka akan saling tersenyum.

Ya, seperti saat ini. Senyum selamat pagi, selamat memulai hari. Senyum paling manis dari orang tersayang memang sanggup membolak-balik suasana hati. Tidak perlu ada banyak kata atau gerak tubuh untuk menggambarkan perasaan mereka. Karena saling tersenyum seperti ini saja, rasanya sudah cukup.

Tidak, seharusnya tidak seperti ini!

Seperti mendadak dibangunkan dari mimpi indah, meski enggan, keduanya tersadar. Harus sadar! Saat ini situasinya berbeda. Satu pesan yang semalam Ilyas kirimkan telah mengakhiri segalanya. Seharusnya tidak ada lagi ritual seperti ini. Seharusnya ...

Nisa dan Ilyas mengalihkan pandangan mereka ke arah lain secara bersamaan. Seperti tunduk pada satu komando. Saling menghindari tatapan satu sama lain. Keduanya berubah canggung. Ilyas bahkan sampai terkandung kakinya sendiri. Untung tidak sampai jatuh.

Satu kalimat singkat membuat Ilyas harus kehilangan sampai sebanyak ini. Ia baru menyadari hal itu.

"Kan sudah kubilang bangunkan aku kalau mau pergi ke sekolah!" Ilyas berkata pada Alvian dengan suara yang terlalu keras.

"Sudah kubangunkan," jawab Alvian sembari memukul kepala Ilyas. Telinganya jadi sakit mendengar suara Ilyas yang tiba-tiba berteriak. "Salahmu sendiri tidur seperti orang mati," tambahnya membela diri.

Nisa sendiri mengalihkan perhatiannya dengan memakan salah satu roti pemberian Pak Fadh. Mulutnya sibuk mengunyah, hatinya pun sibuk mengutuki kebodohannya.

"Tersenyum seperti itu kepada orang yang sudah memutuskanku, apa yang kuharapkan? Akan berpikir seperti apa kira-kira Ilyas, ya?"

Nisa bertekad untuk menyembunyikan wajahnya dari Ilyas. Malu. Tidak berani. Belum sanggup. Hanya melirik diam-diam, sesekali jika ia yakin aman.

Begitu bel tanda istirahat berbunyi, satu per satu setiap orang meninggalkan kelas. Seperti biasa yang tinggal paling akhir adalah Nisa, Ilyas, dan Alvian. Merasa canggung dan aneh dengan atmosfer dalam kelas, Nisa berlari ke luar tanpa menoleh ke arah Ilyas.

"Ini salahmu!" hujat Alvian. "Nisa pasti merasa canggung."

"Memang salahku." Ilyas mengaku tanpa berdebat. "Aku memang bodoh, emosional." Ilyas menjatuhkan kepalanya ke meja dan menghela nafas panjang.

Alvian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak lanjut menanggapi. Ia membereskan buku-bukunya di atas meja dan bersiap untuk keluar.

"Kamu mau ke mana?" tahan Ilyas. "Bukannya seharusnya kamu menemani teman yang patah hati? Bukannya kamu harusnya menghiburku?"

"Kenapa setiap kali kamu melakukan hal bodoh aku harus menghiburmu? Kenapa enggak gunakan saja waktu yang kamu punya untuk introspeksi diri," saran Alvian serius. Ia mengambil buku tulis dan pulpen sebelum meninggalkan mejanya.

"Alvian!" Ilyas memanggil sebelum Alvian benar-benar meninggalkan kelas. "Terima kasih telah menjemput Nisa pulang semalam."

Langkah Alvian tertahan. Ia bergeming untuk beberapa saat. Tangannya menggenggam buku dengan teramat erat hingga tepinya remuk. Ia mengatakan beberapa patah kata yang tidak terdengar jelas oleh Ilyas.

"Apa? Kamu bilang apa? Kamu memaki aku lagi, ya? Hai! Alvian!!"

Alvian tidak menghiraukan panggilan dan teriakan Ilyas. Tidak peduli. Ilyas selalu seperti itu. Selalu bertingkah bodoh dan hanya menuruti emosi sesaatnya. Sama sekali tidak belajar dari kesalahan yang sama.

Dalam peribahasa hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Ilyas bahkan lebih buruk dari keledai. Memikirkan sifat Ilyas yang seperti itu semakin membuat Alvian kesal. Bagaimana mungkin ada manusia yang tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya.

"Tebak tadi aku lihat siapa di sini?"

"Lihat siapa?"

Alvian pergi ke perpustakaan dengan harapan mendapat ketenangan yang ternyata gagal ia dapatkan. Jika tetap di kelas, kepalanya pasti akan pecah mendengar segala keluh kesah Ilyas. Kantin terlalu ramai, ia tidak suka terlalu lama di tempat itu. Pergi ke atap atau menyendiri di suatu tempat tersembunyi akan memberi kesan sebagai anak yang tidak punya teman dengan segudang masalah. Alvian tidak suka kesan suram seperti itu.

Alvian menengok ke tempat penjaga perpustakaan biasanya duduk dan tidak ada siapa pun di sana. Pantas saja perpustakaan tidak hening seperti biasanya. Kata orang, di mana ada tempat berkumpul, maka di situ akan ada yang bergosip. Dan itu benar. Alvian telah membuktikan berkali-kali.

"Aku lihat Nisa dari kelas sebelah dan dia sendirian. Wajahnya muram. Tebakanku dia lagi ada masalah sama cowoknya atau mungkin sudah putus."

Suara cekikikan terdengar.

"Alvian temannya Ilyas. Kalau sampai Nisa putus atau ada masalah sama Ilyas, bisa-bisa dia enggak punya teman lagi seperti dulu."

"Berisik!"

Seseorang menggebrak meja tapi bukan Alvian. Seorang gadis dengan potongan rambut teramat pendek untuk ukuran anak perempuan. Gayanya tomboi dengan penampilan serampangan. Alvian tidak kenal dan ia yakin mereka tidak di kelas yang sama.

Gadis itu pergi begitu saja setelah menggebrak meja. Setelah menjadi pusat perhatian orang-orang satu perpustakaan.

Alvian juga beranjak dari tempatnya. Mengetahui ada Alvian di perpustakaan, gadis-gadis yang sebelumnya bergosip menyembunyikan wajah mereka. Alvian menatap gadis yang menggebrak meja dari belakang, kemudian berjalan ke arah yang berlawanan.

Alvian pergi mencari Nisa dan menemukan gadis itu sedang makan roti di UKS.

"Sudah kuduga ada di sini," kata Alvian setelah menyingkap tirai yang menutup sekeliling ranjang istirahat. "Dan bisa-bisanya kamu makan di U-"

"Sstt! Nanti penjaga UKS tahu." Nisa meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

Tertangkap basah oleh Alvian, Nisa hanya bisa tersenyum. Mulutnya celemotan oleh remahan roti. Tiba-tiba saja tangan Alvian bergerak mendekat ke wajah Nisa. Tapi tahu-tahu berhenti begitu saja di udara. Tatapan Alvian dan Nisa bertemu. Seketika kemudian tangan Alvian beralih pada kotak tisu di meja.

"Lap mulutmu! Mengganggu sekali." Alvian berujar sembari meletakkan tisu di tangan Nisa.

"Ilyas benar. Selain kutubuku Alvian juga maniak kebersihan." Nisa tanpa sadar menyebut nama Ilyas. Padahal satu menit lalu ia telah bertekad akan menghindari Ilyas dan menghindari menyebut namanya.

Alvian tersenyum tanpa arti kemudian duduk di ranjang yang lain.

Dan, Nisa menghabiskan seluruh waktunya di sekolah untuk menghindari Ilyas.

[]