Dalam menjalin hubungan, harus ada keputusan dari kedua belah pihak. Sama-sama harus sepakat. Sementara jika putus, hanya perlu kebulatan tekad seorang saja.
"Enggak adil!" Nisa tanpa sadar mengeluarkan suara yang bisa di dengar orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Apanya yang enggak adil?" Pak Fadh yang tiba-tiba muncul menimpali kalimat Nisa.
"Pak Guru!"
Nisa yang terkejut membuat langkahnya tidak stabil dan mengarah ke badan jalan. Pak Fadh dengan sigap mengambil jalur kiri dan mengarahkan Nisa kembali ke trotoar, jalur yang seharusnya.
Nisa sedang lari pagi. Melewati rute yang sama seperti sebelumnya dan berpapasan dengan Pak Fadh yang juga baru memulai aktivitasnya dengan lari pagi. Keduanya bertemu di persimpangan tidak jauh dari tempat Nisa bekerja.
"Jadi bagaimana dengan tawaran saya?"
Keduanya berlari dengan langkah-langkah kecil yang harmonis dan kecepatan yang seirama. Napas diatur dengan baik agar selagi berlari dan berbicara, tenaga tidak terkuras dengan cepat.
"Sebenarnya bisa." Nisa telah memikirkannya berkali-kali sejak mendapat tawaran dari Pak Fadh. "Pulang sekolah latihan, malam bekerja, pagi sekolah. Jadi selama satu bulan penuh saya akan mengambil sif malam."
Pak Fadh menghela napas, tapi bukan karena kelelahan. "Kalau seperti itu lebih baik saya batalkan tawaran saya," kata Pak Fadh. "Bagaimana jadinya kalau sampai kamu jatuh sakit di hari pertandingan? Yang terjadi bukan hanya menyia-nyiakan latihanmu, tapi juga mengacaukan mental teman-teman yang lain."
Nisa tidak menjawab. Nisa tahu ia terlalu ceroboh membuat jawaban.
"Saya pikir tawaran saya setidaknya bisa membuatmu mengambil izin beberapa hari dari tempatmu bekerja. Karena ini pertandingan dalam skala yang lumayan, jika menang, piagam penghargaannya bisa digunakan untuk masuk Universitas melalui jalur prestasi," kata Pak Fadh lagi.
"Universitas, ya. Saya belum memikirkan sampai ke sana." Nisa berbicara dengan suara rendah.
"Pikirkan sekali lagi dan berikan saya jawabannya hari ini di sekolah."
Pak Fadh memberi kesempatan terakhir untuk Nisa kembali berpikir. Begitu selesai mengatakan apa yang perlu dikatakan, Pak Fadh mempercepat larinya dan meninggalkan Nisa.
Berbanding terbalik dengan Pak Fadh, langkah Nisa justru menjadi lebih pelan, semakin pelan, pelan, dan akhirnya hanya berjalan. Ia sedang berpikir. Tentang hubungannya dengan Ilyas, tentang masa depannya.
Sebenarnya Nisa tidak suka memikirkan sesuatu yang tidak bisa ia temukan jawaban pastinya. Tapi kali ini ia sedang ingin berpikir. Meski masih tidak yakin hari lain benar-benar ada, sebagai manusia yang hidup hari ini, ia harus berpikir tentang banyak hal.
Semalam penuh Nisa terjaga. Meski tanpa air mata, ia sedang berduka untuk hubungannya dengan Ilyas. Sesuatu lain dalam dirinya berkata bahwa hubungan mereka belum benar-benar berakhir. Mungkin itu firasat. Tapi, di waktu lain ketika ia berpikir lagi, ia tahu bahwa ia sekadar berharap.
Apa pun itu, kenyataannya hubungan mereka saat ini telah berakhir. Nisa tidak akan bisa lagi bertemu dengan Ilyas sesukanya. Tidak bisa terlalu sering melihat wajahnya, berbicara berdua, tertawa, dan merencanakan beberapa hal kecil bersama.
Senyum yang Nisa suka, suara yang Nisa suka, sifat manisnya, perhatian-perhatiannya, caranya bercerita, dan semua hal dalam diri Ilyas, semua itu mungkin juga akan menghilang.
Hal-hal indah memang selalu lebih cepat berakhir.
Minggu pertama mengetahui penyakitnya, ibu Nisa pernah menggila suatu kali.
Mungkin ketika itu beban di pundaknya teramat berat. Teramat mendadak menerima segala hal buruk datang sekaligus. Ibu membuang dan membakar banyak barang. Termasuk beberapa pakaian anak pertamanya. Memisahkan segala perabot dari jangkauan Nisa. Berpikir hal-hal seperti itu dapat melindungi anak terkasihnya.
"Bu, jangan seperti ini! Ibu membuatku takut." Nisa mulai terisak.
"Baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja." Seolah tidak mendengar suara Nisa yang memelas, ibu Nisa merancau seperti orang linglung. Berulang kali mengucapkan, 'baik-baik saja.'
"Bu! Ibu!!" Nisa memeluk ibunya sembari terisak.
Tiba-tiba dipeluk, ibu Nisa justru berontak. "Lepas! Jangan peluk, nanti kamu bisa tertular. Jauh, jauh-jauh! Jaga jarak!"
"Enggak, Bu. Enggak apa-apa. Enggak akan tertular. Dokter bilang enggak apa-apa." Isak tangis Nisa semakin keras dan ia memeluk ibunya semakin erat.
Nisa tahu niat ibunya baik. Tapi bukannya merasa terlindungi, Nisa justru merasa terasingkan, berbeda, dan menjadi terlalu jauh dari keluarganya sendiri. Sifat ibu menyakitinya, tapi kini Nisa mengerti.
Bahwa untuk melindungi seseorang yang disayang, bagi orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan membuat frustrasi. Meski seperti itu, akan tetap mengupayakan segala hal yang diperlukan. Tidak peduli jika harus menjadi gila.
Kadang kala orang lain tidak sadar bahwa cara melindungi orang yang disayang justru membuat orang itu tidak nyaman. Bahkan terluka. Pun yang dilakukan Nisa.
Terlalu menyukai seseorang membuat Nisa tidak ingin orang itu ikut terluka atas dukanya. Terbebani atas bebannya. Jika ada Ilyas di sisinya, ia bisa memikul semuanya sendiri. Ilyas tidak perlu tahu bagian lain dari dirinya yang kesepian. Tentang seberapa banyak ia menangis sepanjang malam. Yang perlu Ilyas tahu hanya dirinya yang kuat. Itu yang terpenting.
'Apa Nisa hanya sebatas ingin dianggap keren? Dianggap mandiri? Apa yang orang lain pikirkan jauh lebih penting?'
"Bersifat seperti itu ... apa juga salah?" Nisa kembali berpikir.
Waktu berjalan lebih cepat selagi Nisa berpikir dan merenungi sifat-sifatnya. Begitu sampai di sekolah, sesuai permintaan Pak Fadh, Nisa menemuinya untuk memberi jawaban atas kesempatan terakhirnya. Jawaban Nisa masih belum berubah.
Karena Pak Fadh memintanya memilih antara masuk tim atletik atau pekerjaan, Nisa benar-benar tidak bisa memilih. Tidak bisa merelakan pekerjaannya meski hanya satu minggu. Tidak mungkin.
Bukannya Nisa terlalu memikirkan materi atau gaji yang akan dia terima. Sebenarnya jika tidak bekerja selama sebulan pun Nisa masih bisa hidup dan makan dengan layak. Masalahnya adalah perasaan utang budi pada Pak Budiman yang sudah terlalu baik. Karenanya, Nisa segan untuk mengambil keputusan jika situasinya tidak begitu darurat.
"Maaf, Pak." Nisa merasa tidak enak karena harus berulangkali menolak niat baik Pak Fadh. "Bagaimanapun terima kasih atas tawarannya."
Masuk universitas, sebelum ini Nisa pernah memikirkan hal itu dan memutuskan untuk tidak kuliah. Tapi begitu Pak Fadh mengungkitnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah mendadak tumbuh.
Dulu, orang tuanya memang sudah mempersiapkan tabungan pendidikan sejak awal. Mereka menyisihkannya sedikit demi sedikit dari penghasilan bulanan yang diterima. Tapi kemudian, karena tidak ada pilihan lain, tabungan pendidikan akhirnya habis digunakan untuk biaya berobat.
Jika berpikir bahwa melanjutkan sekolah merupakan keinginan kedua orang tuanya, Nisa jadi ingin mewujudkannya. Nisa mulai berpikir dan menyusun rencana dalam benaknya.
Mungkin setelah lulus ia akan bekerja dan menabung lebih dulu selama satu tahun penuh. Kemudian mendaftar menjadi mahasiswa di tahun berikutnya. Atau mengejar beasiswa, kemudian bekerja sembari kuliah. Atau apa pun asal bisa ia lakukan sekaligus.
"Baiklah. Sayang sekali sebenarnya, tapi apa boleh buat kalau itu sudah jadi keputusan Nisa." Pak Fadh menerima keputusan Nisa dengan berat hati. "Oh iya, kebetulan saya beli terlalu banyak. Ini!" tambah Pak Fadh menyerahkan sesuatu dalam kantong plastik hitam. "Kamu boleh kembali ke kelas sekarang."
Begitu melihat isi dalam kantong plastik yang diterimanya, Nisa bergeming untuk beberapa saat. Begitu beranjak dari tempatnya, ia bahkan sampai lupa berterima kasih.
[]