Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 15 - 07. Keputusan

Chapter 15 - 07. Keputusan

"Sedang apa kamu di sini?!"

Alvian yang baru keluar dari kamar mandi memekik terkejut begitu melihat ada makhluk tidak diundang sudah mengambil alih kamarnya. Ekspresi terkejut yang berlebihan. Seperti seorang penjahat berdarah dingin yang baru saja menyembunyikan mayat korbannya dan takut ketahuan.

Ilyas menatap menyelidiki, kemudian menertawakan pemikiran konyolnya itu. "Mau menumpang," jawab Ilyas sekenanya.

"Menumpang?!" Alvian mengulang, seolah tidak terima dengan jawaban yang Ilyas berikan.

Ilyas tidak menanggapi. Tidak peduli Alvian suka atau tidak, toh selama ini anak itu juga melakukan hal yang sama. Jadi cukup adil.

"Dasar!" Kalau sudah seperti ini Alvian hanya bisa pasrah.

Ilyas harus kabur dari rumah untuk hari ini. Pertama, karena adiknya sudah telanjur melihat wajah memarnya. Jika Ilyas tidak ingin menghadapi interogasi orang tuanya, ia harus menghindar pulang sementara waktu.

Kedua dan yang paling penting, Ilyas tidak ingin seorang diri terkurung dalam kamarnya. Ia ingin berhenti berpikir dan berhenti membebani kepalanya. Seharian ini ia sudah menghabiskan terlalu banyak tenaga untuk berpikir. Ia merasa lelah secara mental.

Alvian duduk tegak di kursi belajar, membaca buku setebal kamus bahasa arab. Ilyas memeriksa kamar Alvian yang baru dua kali ia masuki. Menatap berkeliling.

Ilyas berdiri di depan rak buku dan memeriksa koleksi bacaan Alvian. Membaca judul dan melihat ketebalannya saja sudah membuat Ilyas pusing. Bacaan yang terlalu berat untuk anak SMA yang sama sekali tidak suka menyentuh buku seperti dirinya.

Pada titik ini akhirnya Ilyas tahu alasan Alvian selalu tampak sibuk. Tentu saja, karena Alvian harus membaca seluruh buku yang berjajar rapi dalam rak. Jika itu dirinya, mungkin akan menghabiskan waktu seumur hidup untuk bisa selesai membaca seluruhnya.

Rak buku 1x1,5 meter berada di sisi lain ranjang dan merapat pada dinding. Di rak teratas ada setumpuk komik lama dan dua novel thiller. Masih di rak paling atas, di bagian ujung, beberapa buku yang membahas kepribadian manusia terpajang rapi. Selanjutnya seluruh buku dibedakan berdasarkan tema. Buku ilmu pengetahuan, psikologi, forensik, dan beberapa buku biografi tokoh terkenal.

"Kamu mengoleksi buku-buku Ilmu Kedokteran Forensik?" komentar Ilyas ketika menemukan beberapa buku forensik berjajar dalam rak yang dipisah.

"Hm," jawab Alvian tidak mengangkat wajahnya dari buku.

"Jangan-jangan ... kamu sedang mempelajari kasus pembunuhan itu," tebak Ilyas.

"Bukan urusanmu!" jawab Alvian ketus, masih tidak ingin melepaskan fokus pada buku yang dibacanya.

Ilyas hanya berdecak kesal. Ia berbaring terlentang di atas ranjang. Dibandingkan kamarnya, kamar Alvian jauh lebih rapi dan tertata dengan baik. Tidak ada baju yang tergantung di mana-mana. Tidak ada poster tua yang ditempel asal-asalan. Juga tidak ada debu seteliti apa pun Ilyas mencari.

"Apa ada masalah?" Alvian akhirnya bertanya.

"Enggak. Aku hanya takut orang tuaku berpikir macam-macam karena memar ini." Ilyas melompat bangun. "Oh iya, kamu enggak bertanya tentang memar ini?"

"Kamu pikir aku enggak tahu." Alvian masih berlagak tidak peduli. Masih tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. "Maksud pertanyaanku, apa ada masalah dengan Nisa?"

Keberadaan Alvian dalam hubungan Ilyas dan Nisa selalu membuat Ilyas kagum. Alvian selalu bisa tahu ketika mereka memiliki masalah. Selalu bisa menebak jalan pikiran Ilyas. Mirip seorang cenayang yang serba tahu.

Sebenarnya Ilyas adalah tipe yang mudah ditebak. Sifat Ilyas selalu tampak berdasarkan moodnya. Jika memiliki masalah, ia akan menghabiskan banyak waktu untuk merenung. Jika suasana hatinya sedang baik, ia hobi mengajak orang lain berdebat. Jika sedang marah atau kesal, ia akan uring-uringan seharian. Sifat sejelas bocah Sekolah Dasar itu, siapa pun bisa menebak situasi perasaannya. Termasuk Alvian.

"Itu ... memang ada sedikit masalah," jawab Ilyas ragu-ragu.

Ilyas duduk bersila di atas ranjang dan mulai bercerita. Sebenarnya ia masih ragu. Apa benar Alvian adalah orang yang tepat sebagai tempat berkeluh kesah setelah menganggap kehadirannya sebagai ancaman. Awalnya pun Ilyas hanya ingin menceritakan beberapa patah kata, untuk mengurangi beban di benaknya. Tapi begitu ia mulai bercerita, semua kata mengalir dengan derasnya, tidak mau berhenti. Beberapa hal yang ingin disimpan untuk dirinya sendiri pun terkatakan.

Hanya hari ini saja, sampai seluruh ceritanya selesai ia utarakan, ia akan mengabaikan firasatnya. Ilyas akan mencoba untuk kembali percaya pada Alvian.

Ilyas bercerita dari A-Z. Lengkap tanpa kurang satu kata pun. Ia tidak menyangka kalau bercerita bisa menguras begitu banyak tenaga dan emosinya. Ceritanya telah selesai dan si pendengar tidak memperlihatkan reaksi yang berarti.

Ilyas memperhatikan wajah Alvian yang tampak dari samping, barangkali anak itu tertidur di tengah ceritanya.

Tidak,  Alvian sadar sepenuhnya. Ada garis vertikal yang muncul di antara alisnya yang tebal. Tatapan matanya tertuju lurus pada buku di depannya. Bibirnya mengatup rapat dengan rahang mengeras.

Ekspresi marah? Ilyas mengedipkan matanya. Kali ini tidak ada garis vertikal di antara alis, tidak juga rahang yang mengeras.

"Seandainya Nisa mengatakan bahwa 'aku hanya enggak ingin merepotkanmu', aku akan memakluminya." Ilyas berkata lagi, "Tapi Nisa hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca seolah memintaku untuk mengerti. Tapi bagaimana aku bisa mengerti kalau Nisa enggak bilang. Kalau ..."

Buk, mendadak buku setebal kamus yang sebelumnya Alvian baca, dihantamkannya ke kening Ilyas. Ilyas bahkan sampai terpental ke belakang.

Akhir-akhir ini Alvian menjadi sering melakukan serangan fisik secara tiba-tiba dengan buku yang dia bawa. Harusnya Ilyas sudah terbiasa dan mulai waspada. Tapi lagi-lagi Ilyas lengah.

"Alvian!!!" Ilyas berteriak kesal sembari memegangi keningnya yang kesakitan.

"Kalau kamu tahu kemungkinan Nisa melakukan itu karena enggak mau merepotkan, kenapa enggak memakluminya?! Kalau kamu melihat tatapan matanya memohon untuk dimengerti, kenapa kamu enggak mau mengerti?!"

Di luar dugaan, Alvian marah lebih dari biasanya. Jika tahu Alvian akan menanggapi dengan cara seperti ini, Ilyas tidak akan pernah mau bercerita sejak awal. Dibayar berapa pun tidak akan mau.

"Pikirmu kalau Nisa mengakui kelemahannya dan menangis tersedu-sedu di depanmu, berarti kamu laki-laki sejati? Pikirmu kamu bisa diandalkan dengan sifatmu yang seperti ini?! Dasar picik!" hardik Alvian.

Alvian meninggalkan kamarnya dengan membanting pintu. Langkahnya terdengar cepat menuruni anak tangga. Kemudian berhenti.

"Enggak, enggak ada apa-apa."

Terdengar suara Alvian berbicara dengan seseorang. Mungkin ibu Alvian yang terkejut karena mendengar kami berbicara dengan suara-suara keras.

Hening.

"Benar. Alvian benar." Ilyas berbicara dengan suara yang hanya bisa didengar olehnya. "Apa sebenarnya yang kuharapkan dengan Nisa mengakui semua kelemahan dan rasa sakitnya?"

Ilyas merenung ke dalam jiwanya sekali lagi. Kali ini mencoba lebih dalam lagi. Kali ini perenungan singkat Ilyas membuatnya menyadari sesuatu.

Perasaan yang selama ini ia agung-agungkan ternyata tidak lebih dalam dari kesedihan yang Nisa alami. Tidak lebih kuat dari perasaan rendah diri dan ketidakberdayaan yang menyerang Nisa. Perasaan yang ternyata masih begitu dangkal, membuat Ilyas terpukul. Membuatnya salah memilih prioritas antara Nisa, ataukah perasaan ingin diakui.

Ilyas membulatkan tekadnya. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat dan mengirimkannya ke kontak Nisa.

'Ayo kita putus.'

[]