"Gelas dan piring Nisa dipisah," kata Alvian.
Aku ingat Nisa sering memperhatikan piring dan memutar-mutar gelasnya sewaktu makan di kantin. Nisa memang seperti itu, menaruh perhatian lebih pada apa pun yang ada di sekitarnya. Jadi wajar jika ia menyadari ada sesuatu yang salah dengan hal-hal di sekitarnya.
Tidak lebih cepat menyadari hal-hal sensitif seperti itu dibanding Alvian, membuatku mendadak merasa tidak berguna.
Apa memang 'yang seperti itu' bisa terlihat jelas di mata orang lain? Atau Alvian pada dasarnya memang aneh, memperhatikan dengan detail setiap piring dan gelas orang lain saat makan. Mungkin tanpa kusadari, jauh sebelum ini Alvian telah melalui sebuah kejadian yang teramat mengerikan, yang membuatnya gila sampai-sampai terobsesi pada gelas dan piring makan yang orang lain gunakan. Atau jangan-jangan ...
Stop! Tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan.
"Kupikir selama ini Bu Kantin berpihak pada kita," kataku menanggapi.
Aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan tempat Nisa duduk. Kupikir kedengkian orang-orang di sekolah ini telah berakhir dan lebih bisa menerima Nisa dengan riwayat penyakit keluarganya. Membiarkannya hidup tenang. Ternyata masih ada saja satu atau dua hal yang tidak berhenti mengusiknya.
"Yang namanya bisnis tetap saja bisnis. Kalau ada anak-anak yang komplain, Ibu Kantin bisa apa." Penjelasan Alvian masuk akal.
"Ini bukan masalah. Besok aku bisa bawa bekal ke sekolah. Toh sebelumnya juga seperti itu." Nisa memperlihatkan dirinya baik-baik saja dan tidak merasa terganggu dengan diskriminasi yang diterimanya.
Selama ini Nisa pasti sudah banyak mengalami diskriminasi serupa. Di mana pun Nisa berada, orang-orang yang mengenal riwayat penyakit keluarganya akan memperlakukannya seperti virus menjijikkan. Mereka melakukan hal-hal yang tidak adil tanpa melakukan pengecekan fakta terlebih dulu. Mereka hanya ikut-ikutan, terpengaruh, bahkan ada yang sama sekali tidak peduli dengan benar dan salah.
Sebelumnya Nisa bahkan kesulitan untuk menemukan pekerjaan. Meski sering mengalami hal serupa, aku tidak yakin Nisa mampu terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Jujur saja, meski aku bukan korbannya, aku sangat terganggu. Dan lagi, selain tetap berada di sisinya aku tidak bisa melindunginya seperti keinginanku saat memulai hubungan ini.
"Ini sama sekali bukan masalah." Nisa berkata lagi. Aku tahu dia sedang meyakinkanku.
Seperti biasa, Nisa selalu bisa mengerti hal-hal yang tidak aku ucapkan. Tapi aku? Seandainya Alvian tidak mengatakan situasi yang sebenarnya, aku pasti akan tetap memaksa Nisa makan di kantin. Mengatakan alasan-alasan bodoh seperti akan jatuh sakit atau hal-hal murahan lainnya. Aku bahkan nyaris mengatakannya tadi.
"Oke, besok-besok kita bawa bekal sendiri. Tapi hari ini, mau enggak mau kita harus makan makanan kantin. Alvian, ayo!" kataku memberi titah.
"Enggak mau!" Alvian menolak titahku mentah-mentah. "Aku sibuk, punya urusan sendiri. Jadi, jangan bawa-bawa aku!"
"Alvian, Alvian ... otak pintarmu itu kamu taruh di mana?" ejekku "Mana bisa aku membawa makanan dan minuman sekaligus. Aku butuh pengawal."
Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk merasa bangga bisa mengatai Alvian setelah sebelumnya aku tertohok oleh perasaanku yang tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi sungguh, bisa menyudutkan Alvian dengan menyebutkan kelebihannya, rasanya luar biasa menyenangkan.
"Itu bukan urusanku!"
Aku mengaitkan lenganku pada leher Alvian dan tidak membiarkannya kabur. Nisa berbahak melihat kelakar kami. Begini saja sudah cukup. Bisa tetap berada di sisinya dan membuatnya tertawa seperti ini. Kurasa, arti kehadiranku sudah cukup. Karena yang terpenting adalah membuatnya tersenyum.
"Lagi pula rangkingmu enggak akan langsung terjun bebas kalau hari ini kamu mengawalku ke kantin."
Meski awalnya Alvian bersikeras menolak, tapi aku tahu dia akan tetap menemaniku ke kantin. Karena seperti itulah Alvian yang sok cuek, sok dingin, sok misterius. Seperti itulah persahabatan yang kami jalin selama ini. Meski Alvian sering memandang sinis orang lain, melihat dengan tatapan seperti sedang merendahkan, meski sangat-sangat-sangat menyebalkan, Alvian sebenarnya anak yang baik. Aku tahu itu.
Alvian yang diam-diam baik ini, seharusnya aku tidak meragukannya. Tidak boleh!
"Tunggu, tunggu! Aku mau ke toilet dulu." Tanpa menunggu persetujuan dari Alvian aku berbelok dan menghilang, masuk ke dalam ruangan kecil dengan samar-samar aroma pesing mengudara.
Salah satu kelegaan paling melegakan dalam hidup adalah bisa buang air kecil dengan lancar setelah harus menahannya selama beberapa saat. Benar-benar melegakan.
"Selesai. Ayo cepat, sebelum bel masuk!" Aku kembali bertitah.
"Padahal kamu sendiri yang membuang-buang waktu." Alvian memasang wajah kesal.
"Katanya mereka masih pacaran." Mendadak telingaku mereaksi suara.
"Siapa?" Suara yang lain bertanya.
"Hei, ayo!"
Suara Alvian menyadarkanku bahwa tanpa sadar aku sedang menguping. Bukan aku yang salah. Siapa suruh mereka berbicara dengan suara yang bisa kudengar dari tempatku. Mereka pasti anak-anak yang sembunyi-sembunyi merokok di belakang toilet.
"Anak pengidap AIDS itu dengan ..."
Aku sudah akan mengabaikan pembicaraan mereka, tapi mengetahui bahwa objek yang sedang dibicarakan adalah aku dan Nisa, kakiku mendadak tidak ingin beranjak. Aku tahu apa pun yang orang lain bicarakan tentang aku dan Nisa bukanlah pembahasan yang baik. Meski seperti itu aku tetap ingin mendengarnya.
"Hei ..." Alvian terlihat semakin kesal namun dengan satu instruksi dariku, dia bungkam.
"Dengan anak dari ekskul futsal itu, ya?" Suara kedua menyahut. Alvian terdiam. Aku tahu telinganya juga sedang mereaksi apa yang aku dengar. "Mungkin dia sedang uji kekebalan tubuh. Mencoba merasakan sensasi tidur dengan orang penyakitan."
Teman yang diajarkan berbicara terbahak.
"Brengsek!"
Aku bergerak melewati Alvian untuk menemukan sumber suara yang baru kudengar. Di belakang toilet, ada dua anak laki-laki dari kelas sebelah. Seperti dugaanku, sedang sibuk dengan rokok di ujung bibir mereka. Melihat kedatanganku yang tiba-tiba, keduanya tersentak bersamaan.
"Siapa yang ngomong tadi, ha!" Aku meradang, sudah siap menghajar mulut-mulut kotor mereka.
Keduanya saling bertukar pandangan. Tidak langsung mendengar jawaban, membuatku lebih ingin menghajar keduanya sekaligus. Tanganku sudah terkepal gatal dan aku hanya perlu melompat ke arah mereka untuk menjotos siapa pun lebih dulu. Tapi belum sempat niatku terlaksana, seseorang menahan bahuku.
"Jangan! Berurusan dengan mereka enggak akan ada gunanya. Laki-laki yang hobinya bergosip di belakang enggak lebih dari seorang pecundang!" Alvian mencibir.
"Sialan!" Salah seorang mengumpat tidak terima.
Alvian juga terlihat marah. Tatapannya yang setajam Elang saat mengintai mangsanya mengarah lurus pada dua orang di depan kami. Sebelah tangannya mengepal. Bibirnya mengatup rapat dan rahangnya mengeras. Alvian jelas sangat marah, tapi kenapa ...
Apa karena orang yang memiliki otak Genius juga selalu Genius dalam menahan perasaannya? Tapi aku tidak. Membayangkan perasaan Nisa jika mendengar apa yang baru saja mereka katakan membuatku benar-benar marah.
"Nisa sedang menunggu. Sebentar lagi bel masuk kelas." Alvian mencengkeram bahuku lebih kuat. Dia tahu apa yang akan aku lakukan. Dia tahu emosiku sedang meledak. Dia tidak berencana melepaskanku. "Ayo!" katanya lagi lebih memaksa. Tatapan tajamnya kini terarah padaku.
[]