Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 1 - Prolog

Di Bawah Langit yang Sama

🇮🇩NurNur
  • 246
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 29.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

"Mau aku ceritakan diari manusia paling menyedihkan sekaligus menggugah? Atau sifat manusia yang paling serakah sekaligus memuakkan? Diari yang disimpan makhluk lain yang menghuni dan berpijak di dimensi yang sama, yang juga dihuni para manusia. Mau aku beberkan kisah tentang makhluk tanpa aroma yang berwujud manusia?"

Seseorang di balik kegelapan itu sedang bermonolog. Mungkin ditujukan untuk dunia, atau siapa pun yang bisa menjamah keberadaannya.

"Akan aku lakukan, tapi tidak di sini. Tidak sekarang. Mungkin nanti, jika aku punya banyak waktu."

Tit, tit, tit, tiiiiiiiiiiiiit ...

Mesin elektrokardiografi mengeluarkan suara panjang yang memekakan. Karenanya, ruang gawat darurat menjadi semakin sibuk. Setelah seorang dokter dengan dibantu para perawatnya berulang kali mengerahkan segenap usaha terakhirnya dan tidak ada tanda-tanda perubahan, waktu kematian pun dibacakan.

Kematian, selalu menjadi pembawa berita menyedihkan paling menyakitkan. Darah yang berhenti mengalir, tubuh yang perlahan kehilangan suhunya, jasad yang ditinggal pergi sang jiwa, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa segala bentuk kesombongan dan sifat angkuh tidak lagi mampu brtahta. Dan, pekik tangis tidak terima hanya akan semakin membuat kesedihan tampak menyedihkan.

* * * * *

Seorang pria berperawakan tinggi, dengan tubuh tidak kurus tidak pula gemuk, rambut pendek tersisir rapi, kemeja abu-abu yang dimasukkan, celana khaki gelap, sepatu mengkilap, terlihat berdiri di bawah lampu jalan. Wajahnya standar, penampilannya standar, tingginya standar untuk ukuran pria, namun sorot matanya dalam. Ada kesedihan, perasaan tidak puas.

Pria itu menatap sebuah rumah tembok mungil bercat hijau. Hijau pudar termakan usia. Sebuah ambal yang berumur sama tuanya dengan usia rumah saat dibangun, digelar di halaman. Lampu-lampu dinyalakan hingga terang benderang.

Orang-orang mulai berdatangan ke rumah cat hijau itu, meski begitu, masih ada terlalu banyak ruang kosong tersisa. Bahkan di dalam rumah yang luasnya tidak seberapa.

Ada banyak orang yang hadir, melebihi hari biasanya yang dihuni 4 anggota keluarga. Seharusnya masih bisa lebih banyak orang lagi yang datang, namun kebanyakan dari mereka menahan diri. Ini bukan perhelatan suka cita karena samar-samar terdengar ayat Al-Qur'an yang dibaca bersamaan.

Pria kemeja abu-abu masih hanya berdiri di bawah lampu jalan. Entah apa yang memenuhi pikirannya. Beberapa orang yang melewatinya hanya menatap sekali, tak acuh. Tidak ada yang menegurnya, tak ada yang mengenalnya karena ia tidak tinggal di daerah itu.

Semenit kemudian, bukannya meneruskan langkahnya untuk berkunjung dan ikut mengucapkan belasungkawa bersama orang-orang yang telah lebih dulu datang, ia justru berbalik dan pergi. Kepergiannya menambah satu lagi petakan tempat duduk kosong untuk para tamu yang sudah disiapkan tuan rumah yang sedang berduka.

Tidak, tidak. Tidak ada yang akan menganggapnya meski ia datang. Lagi pula ia memang tidak perlu datang. Tidak ada gunanya. Toh, tuan rumah juga tidak mengenalnya, dan ia sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Ia hanya saksi, bukan siapa-siapa.

"Ilyas ..."

"Biarkan saja! Paling dia sama seperti orang-orang yang menolak datang karena takut tertular. Sama-sama berpikiran sempit," sunggut anak laki-laki yang dipanggil dengan nama Ilyas.

"Maksudku wajahnya asing," balas temannya, Alvian.

"Karena asing lebih enggak perlu dipikirkan!"

Ilyas Rasyid dan Alvian Putra, keduanya bergegas menuju rumah tembok mungil yang berjarak kurang dari 100 km dari tempat mereka berpijak. Keduanya telah sibuk mengurus ini-itu, pergi ke sana-kemari, membantu tuan rumah yang sedang berduka sejak pagi. Tepatnya sejak pesan singkat masuk ke ponsel Ilyas.

Ilyas yang sudah beberapa kali berkunjung mulai merasa rumah mungil itu lebih hidup. Memang terdengar kasar di tengah seorang penghuni rumah yang menghadapi duka ditinggal selamanya.

Sejak dua tahun terakhir, rumah mungil itu nyaris tidak terurus sama sekali. Tepatnya saat para penghuninya sibuk keluar-masuk rumah sakit dan akhirnya satu per satu dari mereka pergi untuk selamanya-lamanya.

Rumah semakin menjadi tidak terurus lagi sejak tiga bulan belakangan. Rumah hanya difungsikan sebagai tempat mandi dan berganti pakaian. Penghuninya terlalu sibuk di luar dan bolak-balik rumah sakit.

"Wah, lihat! Enggak satu orang pun teman sekelas kita yang datang. Mereka enggak datang walau hanya sekadar berbasa-basi mengucapkan duka cita." Ilyas kembali mengomel. Padahal ia yang sebelumnya mengatakan biarkan saja.

Mau diakui atau tidak, sebenarnya Ilyas sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Hanya saja tidak tahu kenapa ia tetap merasa kecewa. Ia tetap merasa tidak senang.

Ilyas dan Alvian melewati tiga orang yang duduk di atas ambal halaman rumah untuk bisa masuk. Mereka ingin melihat tuan rumah dari dekat. Meski kehadiran mereka saat ini tidak disadari karena dukanya yang dalam, cukup mereka tahu mereka telah datang, akan selalu ada.

"Itu, 'kan sudah jelas. Lihat saja kelakuan mereka di kelas!" Alvian menimpali. Ia sama tidak sukanya. Sama seperti Ilyas, meski sudah memprediksi apa yang akan terjadi, ia tetap merasa marah.

Kesedihan terasa begitu pekat ketika memasuki rumah. Seolah luka ditinggal pergi selamanya oleh anggota keluarga juga dirasakan para tamu. Bacaan surah Yasin yang telah memasuki ayat-ayat terakhir terdengar meneduhkan.

Kesejukan, kesedihan, luka, dan kesahajaan melekat kuat dalam sudut-sudut ruangan. Membisu. Seakan telah menemukan tempat ternyamannya. Betah. Enggan dijamah, tak mau beranjak.

Ilyas mengamati seisi ruangan. Dinding ruang tamu hanya dihias jam dinding yang telah mati sejak dua tahun lalu. Berhenti pada waktu dimulainya hari-hari paling menyakitkan. Juga ada foto keluarga 10R dengan bingkai kayu berwarna cokelat. Ada ayah, ibu, kakak laki-laki, dan adik perempuan yang berusia 10 tahun.

Keluarga dalam foto terlihat bahagia dan penuh kasih sayang, berubah pecah di dua tahun lalu, dan kini hanya menyisakan anak perempuannya saja. Mereka meninggalkannya sendiri, sebatang kara. Menanggung seluruh beban hidup yang tidak mudah.

Ilyas mengalihkan pandangannya dari anak perempuan dalam pigura ke pojok ruangan. Di sana, seorang gadis menggunakan tunik gelap dan levis hitam duduk tertunduk. Sendirian. Kesepian. Seolah ditelantarkan oleh dunia dengan begitu kejam.

Ibu-ibu duduk memberi jarak. 'Meski tidak berbahaya, mereka tetap harus waspada.' Seperti itulah kira-kira situasi yang terbaca. Tidak peduli bahwa gadis di pojok itu telah dipenuhi dengan luka dan butuh sebuah rangkulan.

Gadis itu baru berusia 17 tahun namun beban yang sudah ditanggungnya, kesedihan yang terus-menerus menggelayutinya, Ilyas bahkan tidak mampu membayangkan seperti apa rasanya.

Gadis itu duduk di bangku di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri. Tinggi 155 senti, rambut ikal, kulit sawo matang. Bibir bagian atas lebih tipis, hidung mungil, dengan mata kecil namun tidak sipit. Untuk remaja seusianya, ia jauh lebih mandiri dan kini mampu lebih bertanggung jawab untuk hidupnya.

Izzatunnisa.

*****