Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 3 - 01.02 Izzatunnisa (Pagiku)

Chapter 3 - 01.02 Izzatunnisa (Pagiku)

Tidak tahu sudah berapa aku lama terlelap, reaksi pertama yang kutangkap adalah kumandang azan subuh. Perlahan, aku membuka kedua mataku dan ...

Seketika itu juga aku tersentak. Dari sudut mataku, aku seperti menangkap sosok lain di hadapanku. Jantungku berdebar aneh. Mendadak aku merasa takut entah pada apa atau siapa.

Tidak, tidak!

Aku memejamkan mataku lagi, mengucek, dan segera membukanya. Gelap, pekat. Tidak ada bedanya seperti ketika aku masih memejamkan mata. Di keadaan seperti ini, tidak mungkin mataku bisa menangkap gambar apa pun selain kegelapan.

Tadi aku pasti salah lihat. Aku pasti masih belum sepenuhnya bangun.

"Benar, tadi pasti aku bermimpi!"

Begitu terbiasa dalam gelap dan kepekatan yang sebelumnya terasa tak berujung, ternyata yang ada di depanku adalah tembok. Dan sekali lagi, tidak ada siapa pun kecuali tembok.

Aku menghela nafas. "Selamat pagi, Izzatunnisa," kataku pada diri sendiri. "Terimaksih karena telah berhasil melewati satu hari dengan baik-baik saja."

Aku segera beranjak untuk memulai ritual pagiku. Tidak memakan waktu lama, namun cukup ampuh untuk mendapatkan ketenangan yang senantiasa aku inginkan.

Sembari menggenapkan waktu hingga pukul enam, rutinitasku adalah memasak nasi dan telur orak-arik untuk sarapan. Jika masih ada cukup waktu, sedikit merapikan rumah dan bersih-bersih. Rutinitas selanjutnya sebelum berangkat ke sekolah adalah lari pagi. 

Langit memang belum banyak mendapat cukup sinar matahari. Tapi udara yang segar, jalan yang sepi, ini sempurna untuk mencari keringat. Untuk berolahraga.

Saat aku berdiam diri, aku akan memikirkan banyak hal. Tentang Ilyas Rasyid, tentang kehidupanku, ketakutanku, masa depan, dan segala hal yang tidak ingin kupikirkan. Tentang kesedihanku, dan segala hal yang akan membuatku menangis. Segala hal yang jika terus kupikirkan hanya akan membuat kepalaku terlalu penuh seolah siap meledak kapan saja.

Sebanyak apa pun aku memikirkannya, sesering apa pun aku merenungkannya, tetap tidak ada kepastian di sana. Tidak ada jawaban yang aku inginkan.

Jika aku sudah berlari seperti ini dan masih tetap terpikirkan, aku hanya perlu menambah kecepatan kakiku. Jika aku tetap merasa sedih, aku akan menambahkan kecepatanku sedikit lagi. Saat kelelahan, saat aku kesusahan mengatur napas, saat keringat deras mengalir, saat itu aku tidak perlu takut lagi untuk berpikir. Aku tidak akan merasa sedih. Otakku hanya akan fokus bekerja untuk mengatasi kelelahanku.

Begitu keluar dari lingkungan tempatku tinggal, aku melihat seseorang yang juga sedang melakukan lari pagi. Seorang pria dewasa. Pria yang sebelumnya aku yakin tidak pernah melihatnya di jam-jam seperti ini.

Bentuk tubuh orang itu mirip Ilyas, hanya saja lebih tinggi 3-5 senti. Ketika dewasa nanti Ilyas pasti bisa lebih tinggi dari pria itu. Ia mengenakan training parasut yang sesuai dengan bentuk tubuhnya, tidak sepertiku yang serba kebesaran.

"Lagi-lagi aku mengeluh," kataku dengan suara kelelahan yang hanya bisa didengar olehku.

Entah ukuran, atau pun model pakaian yang kukenakan, semuanya tidak sesuai denganku. Tidak apa-apa, toh aku sudah mulai terbiasa berpakaian seperti ini.

"Asal memiliki kepercayaan diri, pakaian kebesaran dengan model tidak sesuai pun bisa menjadi gaun sutra begitu dikenakan," aku menghibur diri sendiri.

Awalnya memang cukup membuat risi. Seluruh mata seolah memandang ke arahmu. Mereka seperti sedang berbisik-bisik dan menghitung segala keanehanmu, membicarakanmu, menatap sinis. Tapi selama tidak ada yang diganggu dan dikorbankan, hal-hal semacam itu akan berlalu dengan cepat. Cukup dengan modal muka tebal dan berpura-pura tuli.

Waktu telah berlalu selama  25 menit. Di 20 menit sisanya, aku mengambil jalan memutar untuk pulang.

Adalah wajib sarapan sebelum pergi ke sekolah. Setidaknya itu salah satu pesan ibu yang paling kuingat.

"Tiga hal wajib yang dilakukan sebelum berangkat sekolah." Suara khas ibu menggema di telingaku. "Berdandan rapi, memeriksa perlengkapan, dan sarapan."

"Jangan lupa menghitung waktu! Atau kita akan terlambat," sahut ayah sembari terburu-buru memasukkan makanan ke mulutnya.

"Salah siapa sudah tahu harus pergi rapat pagi-pagi tapi menonton bola semalaman," balas ibu mengomel.

Sarapan bersama anggota keluarga adalah hal yang paling kusukai. Tepatnya yang baru kusadari ketika anggota keluargaku telah tiada. Ketika mereka mulai pergi satu per satu. Ketika pagi hariku begitu hening tak ubahnya semua waktu yang kuhabiskan dalam rumah ini.

Aku melahap sarapanku dengan cepat. Memenuhi mulutku dengan nasi dan telur orak-arik hingga membuat pipiku menggembung besar.

Ilyas bilang cara makanku akan menjadi ciri khasku dan dia menyukainya. Ilyas tidak pernah tahu kalau aku makan seperti ini bukan karena ingin atau sedang lapar, tapi memang harus makan. Aku makan karena itu adalah salah satu cara untuk bertahan hidup.

Alasan yang menyedihkan.

Sebab itu aku tidak ingin Ilyas tahu. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di depannya. Aku tidak ingin dia malu memilikiku.

Sudah ada lebih dari setengah anak yang berada di kelas ketika aku sampai dan duduk di kursiku. Aku tahu pasti Ilyas adalah bagian yang kurang dari setengahnya karena Ilyas tidak pernah datang lebih cepat dariku. Berbeda dengan teman sebangkunya, Alvian Putra.

"Pagi!" sapa Alvian.

"Pagi!" balasku.

Alvian selalu menjadi yang paling awal tiba di kelas. Aku rasa bukan hanya di kelas melainkan di sekolah. Seandainya tidak ada penjaga yang menginap, Alvian pasti satu-satunya manusia yang berada di sekolah pagi buta.

Aku pernah iseng dan ingin menyaingi Alvian pergi ke sekolah lebih pagi. Tapi sepagi apa pun aku pergi ke sekolah keesokan harinya, dan esoknya lagi, kutemukan Alvian sudah duduk manis di bangkunya sembari melambai padaku.

Aku sempat curiga kalau-kalau Alvian sebenarnya adalah makhluk tak kasatmata yang menghuni sekolah. Yang disebut-sebut menyeramkan dan sering muncul di malam hari. Konyol sih, tapi kalau bukan lalu apa? Alvian adalah anak yang tidak punya rumah dan diam-diam tinggal di sekolah? Atau Alvian sebenarnya anak penjaga sekolah yang dirahasiakan identitasnya?

Terlalu penasarannya aku pernah bertanya sekali pada Ilyas dan laki-laki itu hanya menertawakanku.

Jadi, penyebab sebenarnya Alvian bisa datang ke sekolah begitu pagi, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Ah! Aku hampir lupa. Ilyas akan sampai di kelas lima detik lagi.

Hal lain yang kusukai di setiap pagiku adalah melihat Ilyas memasuki kelas. Sebelum menyapa siapa pun dan di langkah kakinya yang pertama ketika menginjak lantai kelas, tatapan matanya pasti akan langsung tertuju ke kursi tempatku duduk. Seolah di setiap pandangannya ia selalu mencari keberadaanku.

Paling tidak, itu yang kuharapkan terjadi. Dan, yang bisa kulakukan hanya lambaian selamat pagi dengan senyum semanis mungkin.

"Pagi!" sapaku lebih dulu.

"Pagi! Bagaimana semalam, apa memimpikanku?" tanya Ilyas menggoda.

Bel masuk kelas berbunyi tidak lama kemudian. Setiap anak masih terlihat santai karena mata pelajaran pertama adalah olahraga. Jadi, kami perlu tambahan aba-aba untuk mengambil langkah selanjutnya. Apakah hari ini jadwal turun ke lapangan atau mengkaji materi di kelas.

Seorang pria yang tidak kukenal masuk. Bukan hanya aku, aku yakin semua anak dalam kelas juga tidak mengenalnya. Pria itu membawa absen dan buku cetak tebal. Ketika berdiri di depan kelas, suara-suara yang sebelumnya riuh-rendah teredam. Semua anak menatap ke arahnya. Pria itu memulai dengan salam dan menulis namanya di papan.

Fadh Ainurahman. Guru baru.

[]